Merumuskan Ulang Identitas Guru

Satia Zen Direktur Kerja Sama Antarlembaga Yayasan Sukma
02/8/2021 05:00
Merumuskan Ulang Identitas Guru
Satia Zen Direktur Kerja Sama Antarlembaga Yayasan Sukma(Dok. Pribadi)

RENCANA pemerintah untuk menyediakan sarana belajar jarak jauh melalui program Laptop Merah Putih patut mendapatkan apresiasi. Terlebih pada aspek kolaborasi lintas jenjang untuk pengadaan laptop tersebut, yaitu kerja sama dengan perguruan tinggi dan SMK yang dapat mengurangi ketergantungan pada impor (Media Indonesia, 26/7). Namun, yang perlu menjadi perhatian kita bersama, khususnya pemerintah, ialah pengadaan perangkat keras perlu dibarengi dengan perubahan mendasar akan 'perangkat lunak' dari pihak-pihak yang akan memanfaatkan perangkat keras ini.

Perangkat lunak di sini bisa dimulai dari mengubah pemahaman guru, pengelola sekolah, juga orangtua dan siswa akan esensi dari belajar dengan mediasi teknologi. McLuhan mengungkapkan bahwa the medium is the message. Artinya teknologi yang digunakan sebagai medium dari proses belajar ialah bagian integral dari proses pendidikan itu sendiri. Teknologi bukanlah alat yang netral, teknologi akan mengubah bagaimana siswa dan guru mengalami proses belajar.

Integrasi teknologi ke dalam proses belajar-mengajar sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Sejak 1980-an saat teknologi komputer dan aplikasi permainan/game berkembang pesat, dunia pendidikan mengalami perubahan besar. Teknologi menjadi bagian pendidikan. Pada masa pandemi seperti saat ini, implementasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) memanfaatkan berbagai platform dan aplikasi mulai teknologi konferensi video hingga media sosial.

 

Imajinasi dan reka ulang

Ada dua asumsi yang perlu dicermati mengenai integrasi teknologi pada masa pandemi. Pertama, lokus integrasi teknologi berubah, dari sebelumnya di sekolah secara fisik berpindah ke rumah dan lingkungan di sekitar rumah, termasuk di dalamnya perangkat dan daya dukung yang ada di lokasi tersebut. Kedua, aktor yang melakukan integrasi teknologi terpusat kepada guru dan siswa yang berada di ruangan kelas. Ketika pandemi, ada pihak-pihak lain seperti orangtua yang terlibat dari proses pembelajaran melalui teknologi ini.

Pelibatan orangtua tidak hanya terkait dengan keterlibatan aktif saat belajar, tetapi juga dukungan ekonomi dan psikososial agar siswa dapat tetap belajar dengan maksimal. Hal ini tentu saja menimbulkan keragaman akses dan pengalaman dalam pelaksanaannya. Latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya orangtua ikut menentukan. Untuk mengatasi kesenjangan akses, program Laptop Merah Putih bisa menjadi salah satu langkah, ditambah dengan program-program lain yang membantu siswa mendapatkan akses terhadap pendidikan saat PJJ. Namun, dengan mempertimbangkan lokus selain sekolah serta melibatkan juga pihak lain seperti orangtua, harus diupayakan agar pengalaman belajar yang berlangsung saat PJJ dapat sedemikian rupa terintegrasi dengan teknologi.

Hal ini memerlukan imajinasi dan reka ulang proses belajar-mengajar. Semua pihak yang terlibat perlu terbuka dan berani melakukan eksplorasi dan eksperimen, serta praktik yang selama ini menjadi bagian integral dari sebuah proses yang kita sebut 'pendidikan di sekolah'. Integrasi teknologi tidak berhenti hanya memindahkan proses tersebut secara virtual, tetapi diperlukan pemaknaan kembali kegiatan dan praktik yang selama ini identik dengan 'pendidikan di sekolah' tersebut.

Komunitas sekolah dan rumah, termasuk di dalamnya guru, pengelola sekolah, orangtua, dan siswa, perlu secara jernih melihat dan bertanya; bagaimana anak-anak dapat terus belajar untuk dirinya dan komunitas mereka pada saat ini, demi masa depan nanti? Jika hal ini tidak dilakukan, memberikan perangkat laptop mungkin akan membantu siswa untuk mendapatkan akses terhadap 'sekolah', tetapi, jangan-jangan, pengalaman belajar yang didapat hanyalah simulakra. Realitas semu, seolah-olah anak mendapatkan 'pendidikan di sekolah' tanpa adanya perubahan yang berarti secara kualitas.

Mau tidak mau, pihak yang harus berubah dengan cepat ialah guru. Guru perlu merumuskan kembali apa dan bagaimana belajar, mengajar, ujian, dan asesmen akan dilakukan dalam konteks PJJ, bahkan setelah pandemi berlalu. Guru perlu merumuskan kembali bagaimana relasi dan komunikasi dengan siswa dilakukan melalui platform teknologi yang ada untuk membantu siswa mengatasi kecemasan dan kekhawatirannya. Untuk itu, guru perlu melakukan proses refleksi kembali fungsi dan peran mereka sebagai guru, termasuk di dalamnya kepercayaan, nilai, dan kekuatan mereka sebagai seorang pendidik. Dengan kata lain, guru perlu merumuskan kembali identitas mereka (Curwood, 2014).

 

Beberapa perubahan

Solusi untuk hal ini tidak ada yang instan, mudah, dan sederhana. Darling-Hammond dan Hyler (2020) menjabarkan beberapa langkah yang dapat dilakukan pembuat kebijakan, sekolah, dan komunitas guru yang melibatkan solusi jangka panjang, menengah, dan pendek. Untuk jangka panjang, Darling-Hammond & Hyler (2020) menyarankan program persiapan guru yang berkualitas dengan visi dan standar yang jelas, termasuk di dalamnya kegiatan praktik mengajar yang dikelola secara efektif. Praktik mengajar membantu calon guru mengintegrasikan pengalaman critical dan melakukan asesmen terhadap praktik mereka sendiri.

Selain itu, kurikulum persiapan guru perlu direvisi untuk mengintegrasikan model-model pembelajaran secara langsung, hibrida, dan jarak jauh. Termasuk di dalamnya pedagogi yang digunakan untuk menunjang proses pembelajaran yang bermakna dan autentik. Untuk jangka pendek dan menengah, Darling-Hammond & Hyler (2020) menggambarkan perlunya sekolah mengakui dan mengakomodasi keragaman peran guru, termasuk keragaman keahlian. Selama PJJ berlangsung, mungkin ada peran-peran lain yang muncul karena perubahan proses belajar.

Untuk itu, diperlukan proses mentoring untuk keterampilan yang relevan dengan kondisi PJJ. Guru senior mungkin memiliki keahlian pedagogi mengajar secara tatap muka untuk mata pelajaran dan jenjang kelas tertentu. Guru yang lebih muda mungkin memiliki keahlian teknis untuk menggunakan platform dan aplikasi pembelajaran tertentu. Memberikan kesempatan bagi sesama guru dengan keragaman pengalaman dan keahlian di sekolah untuk berperan sebagai pamong bagi guru yang lain bisa menjadi solusi sementara. Dalam hal ini pengelola sekolah juga perlu mengakui adanya peran-peran tersebut dan menjadikan keragaman peran ini sebagai bagian dari proses melakukan reka ulang akan ’pendidikan di sekolah’.

Darling-Hammond & Hyler (2020) menyarankan kolaborasi sesama guru dengan lebih intensif selama PJJ. Untuk itu, alokasi waktu khusus untuk kolaborasi perlu menjadi kebijakan sekolah. Secara konkret perlu ada reka ulang jadwal sekolah dan jadwal kerja guru untuk mengakomodasi hal ini, di samping kebijakan untuk memperluas akses pembelajaran daring melalui pengadaan perangkat. Perubahan mendasar proses belajar-mengajar perlu menjadi basis dari kebijakan selama PJJ. Harapannya, akan terjadi perubahan kualitatif terhadap pengalaman belajar yang didukung integrasi teknologi yang berakar pada komunitas guru di sekolah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya