Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
'MEMAAFKAN' selalu menjadi topik menarik ketika para ilmuwan, cendekiawan, dan pemimpin moral membicarakan 'penyakit' yang terjadi dalam relasi manusia dan bagaimana memaafkan bisa menjadi obat atasnya. Desmond Tutu, misalnya, dalam bukunya No Future Without Forgiveness (1999), menyatakan memaafkan adalah suatu hal yang sulit tapi penting untuk membersihkan dosa yang diakibatkan racial apartheid (Waldron; Kelly, 2008:4).
Dalam kajian relasi pribadi, memaafkan adalah bagian dari proses menemukenali dan mengobati/mengatasi perbuatan salah (dosa) dalam relasi antarindividu yang terjadi di tempat kerja, sekolah, keluarga, atau antarteman. Memaafkan merupakan suatu langkah penting dalam proses memperbaiki dan memelihara hubungan antarpribadi. Para ahli komunikasi meneliti aspek-aspek yang dinegosiakan dalam memaafkan (the socially negotiated aspects).
Yang lainnya mengkaji isu 'memaafkan' sebagai komponen penting dalam etika relasi, yakni mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang proses memaafkan dan penggunaan ilmu tersebut untuk memperbaiki kualitas hubungan antarpribadi (Waldron; Kelly: 2008). Mengapa 'memaafkan' penting untuk diajarkan/ditanamkan? Bagaimana mengajarkan kemampuan untuk memaafkan?
Pentingnya memaafkan
Worthington Jr (2005:7) melihat manfaat maaf dari empat aspek, yaitu kesehatan fisik, mental, relasi, dan kesehatan spiritual. Seperti halnya Worthington Jr, Waldron dan Kelly (2008) melihat manfaat 'memaafkan' dalam konteks relasi dan kesejahteraan seseorang. Menurut Waldron dan Kelly, dalam konteks relasi, manfaat memaafkan antara lain, pertama, dapat memperbaiki relasi. Praktik memaafkan dapat meningkatkan peluang meraih hasil relasi yang positif setelah perbuatan zalim/salah dilakukan. Memaafkan dapat merestorasi kedamaian di keluarga, dalam jaringan persahabatan, dan tim kerja.
Kedua, dapat merestorasi kesejahteraan individu dan hal ini menjadi alasan dari memaafkan. Ketiga, dapat menjadi ekspresi sayang terhadap orang yang menzalimi. Keempat, menunjukkan sikap damai, misalnya saat pelaku tindakan zalim meminta maaf, bertanggung jawab terhadap tindakannya, menunjukkan sikap menyesali terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya. Secara hakiki, tujuan memaafkan dalam situasi tersebut menjadi keinginan untuk merespons tindakan damai. Sikap damai ditunjukkan dengan mau bekerja sama dalam menumbuhkan pengertian dan meninggalkan perbuatan zalim (salah). Kelima, memaafkan sebagai sarana untuk membangun komitmen terhadap kerangka moral yang disepakati, yakni merestorasi keadilan dan fairness dalam relasi sebagai alasan untuk memberikan maaf (Waldron & Kelly, 2008: 131).
Memaafkan dapat memengaruhi kesehatan fisik, mental, dan spiritual seseorang. Seseorang yang tidak mau memaafkan acap kali mengalami gangguan (sindroma) jantung atau sistem kekebalan, sering marah-marah dan depresi, sehingga secara spiritual terganggu (Worthington Jr.: 2005).
Menanamkan kemampuan memaafkan
Memaafkan merupakan moral virtues atau karakter dan memaafkan orang yang berbuat aniaya (zalim) adalah transformasi moral secara inten (serius), tobat, yang dimanifestasikan dengan mewujudkan perubahan dalam diri seseorang pelaku aniaya (zalim) dan kehidupannya di masa depan. Menumbuhkan kesadaran seperti itu tidaklah mudah karena menyangkut hati. Pendekatan dan metode yang digunakan dalam pendidikan karakter mungkin dapat dimanfaatkan karena memaafkan merupakan dari nilai atau karakter yang perlu dibangun dalam seseorang. Namun, tingkat keberhasilannya perlu diteliti secara cermat.
Kajian pendidikan karakter kontemporer mengutamakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan terintegrasi/komperehensif. Pendekatan tradisional menekankan pembiasaan, peniruan, modelling, pengajaran, pemberian ganjaran dalam menanamkan karakter. Adapun pendekatan yang terintegrasi atau utuh/terpadu berbasis pada tiga dimensi, yaitu (a) berpikir (thinking) atau kognisi—apa yang harus dilakukan atau dipelajari; (b) rasa (feeling) atau afeksi—apresiasi terhadap apa yang dipelajari; dan (c) aksi atau amal—proses mengalami—yakni membawa peserta pada pelaksanaan dalam kehidupan nyata.
Semua pendekatan di atas masih harus menimbang enam prinsip dasar, yaitu pertama, pendidikan karakter seharusnya bukan sebagai bidang studi tersendiri, tetapi terintegrasi dengan setiap bidang studi yang dipelajari di sekolah dan menjadi bagian proses mengalami bagi setiap peserta didik. Kedua, pendidikan karakter merupakan 'pendidikan aksi' yang menumbuhkan komitmen di kalangan guru dan peserta didik terhadap pengamalan perilaku atau karakter baik.
Peserta didik dibawa atau dilatih atau dibiasakan melakukan sesuatu yang mencerminkan perilaku yang baik, terutama memaafkan. Ketiga, pendidikan karakter dibentuk dan dibangun dalam lingkungan sekolah—iklim dan etos positif—(budaya) yang tumbuh di sekolah. Hal ini menuntut komitmen setiap warga sekolah menciptakan lingkungan yang mendukung untuk menerapkan karakter baik sebagai budaya. Misalnya, kebiasaan untuk minta maaf dan memaafkan, mengucapkan salam, mengucapkan terima kasih, memberikan ucapan selamat secara tulus terhadap orang yang berhasil melakukan sesuatu, antre dan konsisten dengan apa yang dikatakan/ditulis dengan perilaku dan perbuatan sivitas sekolah (istikamah), termasuk memberi layanan yang baik.
Keempat, pendidikan karakter harus menjadi bagian dari misi dan kebijakan sekolah. Hal ini berkaitan dengan makna hakikat pendidikan dan mutu pendidikan. Kelima, pendidikan karakter seharusnya diajarkan oleh guru-pendidik yang berani melakukan inovasi (melawan hambatan yang diakibatkan sentralisasi kurikulum). Guru-guru yang mempunyai keberanian untuk melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah atau kelas. Adalah mutlak bahwa penyelenggaraan pendidikan karakter perlu melibatkan seluruh sivitas sekolah dan masyarakat termasuk orangtua.
Selain itu, keberhasilan guru tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip efektivitas pengajaran. Norma dan etika juga patut diperhatikan atau dipertimbangkan. Dalam bahasa sederhana, bagaimana seorang guru dapat mengajar dengan menggunakan akal, hati, dan rasa yang memungkinkan guru memahami apa yang tepat dilakukan untuk peserta didik sebagai kelompok dan individu yang memiliki keunikan dan keragaman talenta (van Manen: 1987). Keberhasilan belajar dilihat dari kemampuan peserta didik dari dimensi didik akademik, sosial, fisik, emosi, dan spiritual. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran membawa murid terlibat dalam proses sehingga hati nurani mereka tergugah dan melahirkan perilaku dan perbuatan baik.
Kemampuan memaafkan—sebagai bagian pendidikan karakter—juga dapat dikembangkan melalui beberapa metode pembelajaran; (a) pengajaran nilai-nilai dasar dan kebajikan, (b) standar atau kode perilaku yang dibangun dan didorong tumbuh, (c) cerita-cerita yang sarat nilai atau moral, (d) modelling perilaku dan nilai yang dikehendaki; (e) mengangkat contoh moral dari agama, sejarah, kesusastraan, dan mengangkat sifat-sifat atau perilaku yang baik, (f) proyek community services yang memberi peserta didik kesempatan dan pengalaman melaksanakan perilaku yang baik dan mencari nilai-nilai yang baik di masyarakat (Arhur: 2008).
Jelas bukan pekerjaan mudah menanamkan kemampuan untuk memaafkan. Namun, pendidikan karakter yang dilakukan secara serius dan konsisten berpeluang untuk menumbuhkan dan mewujudkan kemampuan memaafkan. Walallahu ’alam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved