Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Salah Jurusan, Salah Sekolah

Khairil Azhar Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma dan Alumnus Program Pendidikan Guru Universitas Tampere, Finlandia
14/6/2021 05:00
Salah Jurusan, Salah Sekolah
Khairil Azhar Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma dan Alumnus Program Pendidikan Guru Universitas Tampere, Finlandia(Dok. Pribadi)

BULAN Juni dan Juli dalam kalender pendidikan Indonesia merupakan saat-saat melelahkan dan bisa membuat stres para murid ataupun guru. Bahkan sejak April sebenarnya. Kenapa demikian?

Bagi para murid, ada ujian-ujian, seperti ujian semester atau ujian kenaikan kelas. Sering kali juga ada tugas-tugas akhir istimewa bagi murid kelas VI, IX, dan XII. Bahkan kini, karena pembelajaran dilaksanakan dengan modus daring, jumlah tugas-tugas bisa lebih banyak lagi. Sebab, penugasan—meskipun belum tentu sesuai kaidah-kaidah pendidikan—adalah salah satu cara paling mudah dan disuka guru.

Bagi para guru, inilah waktu ‘mengolah nilai’ dan kalau perlu ‘merekayasa nilai’ supaya rekam prestasi murid-murid mereka bisa maksimal, terutama dengan melihat hasil ujian. Tugas-tugas para murid harus diperiksa saksama supaya juga bisa dinilai. Meskipun, dalam praktiknya, banyak juga tugas yang sudah dikerjakan dengan upaya dan biaya lumayan tersebut ditelantarkan begitu saja.

Adapun bagi sebagian orangtua murid—terutama yang memiliki anak kelas VI, IX dan XII—ini adalah bulan-bulan mengeluarkan 'kesaktian'. Salah satu sebab utama ialah bahwa anak mereka harus dapat sekolah yang sesuai dengan hati mereka—bisa jadi belum tentu sesuai dengan hati anak—terutama terkait dengan arus awam tentang 'jurusan, sekolah atau kampus favorit'. Untuk itu, tak jarang berbagai daya-upaya, mulai dari yang sah sampai dengan yang tidak sah, ditempuh. Bahkan kalau perlu tabungan pun terpaksa dikuras.

Tulisan ini secara khusus membatasi diri terkait favoritisme, satu fenomena salah kaprah dalam pendidikan. Bukan hanya orangtua yang terjebak, tetapi ini juga menjebak guru-guru dan pengambil kebijakan pendidikan serta menjadi langgeng karena mereka memandang bahwa favoritisme ini sebagai 'kebenaran'.

 

Favoritisme

Jika diperhatikan saksama, rangkaian kesibukan para murid, guru, dan orangtua di atas adalah buah dari strukturasi pendidikan yang berproses dan berlangsung bertahun-tahun. Rutinitas tersebut telah menjadi struktur yang menjajah pikiran, sikap, dan perilaku. Ia telah menjadi perspektif dominan, suatu mainstream, sehingga jika ada pikiran berbeda akan dipandang aneh atau bahkan salah dan disalahkan.

Nilai yang tinggi berdasarkan hasil ujian dan nilai tugas-tugas menjadi tujuan murid-murid. Untuk mencapainya, guru-guru berusaha membantu dengan segala macam cara karena ini terkait harkat-martabat diri mereka dan sekolah. Adapun orang tua—baik karena keyakinan akan kebenaran cara pandang ini, keawaman, atau bahkan mungkin saja ketidakpedulian mereka akan hakikat pendidikan—mendukung pula dengan segenap daya dan cara.

Makna dan praktik pertama dari favoritisme ialah sudut pandang bahwa murid yang (lebih) baik adalah mereka yang memiliki nilai yang tinggi. Mereka menjadi favorit karena dilihat berprestasi secara kuantitatif, sedangkan murid dengan nilai yang lebih rendah dengan sendirinya dipandang 'kurang favorit'.

Praktik ini pada gilirannya akan membawa atau menyebabkan terciptanya pemberian perlakuan pilih-kasih yang tak adil. Ini dilakukan baik terhadap satu murid tertentu maupun kelompok murid tertentu. Karena bersifat pilih-kasih dan tak adil, ada yang diuntungkan dan ada yang menjadi korban. Murid favorit menjadi diuntungkan dan murid tidak favorit dirugikan.

Kedua, dalam persekolahan, favoritisme merambah ke berbagai ranah lain. Di samping terjadi reifikasi—yakni kesalahan pemakaian konsep sehingga ia seolah-olah nyata adanya—konsep favoritisme mengalami perluasan pemakaian. Selain murid favorit, ada juga guru favorit, mata pelajaran favorit, jurusan favorit, dan seterusnya. Dalam konteks yang lebih luas, ada sekolah favorit, kampus favorit, dan sebagainya.

Pikiran, sikap, dan laku sebagian kita, dengan demikian menjadi terjajah oleh favoritisme. Kita menjadi tak nyaman atau tak terima jika bukan mendapatkan yang favorit atau tidak berposisi sebagai yang favorti. Bahkan sebagai orangtua dan guru tak jarang kita berlaku tak adil ketika mengarahkan atau bahkan memaksa anak-anak kita menjalankan atau bahkan juga menganut favoritisme.

 

Salah jurusan

Dalam bulan-bulan ini, di saat jurusan pendidikan atau sekolah lanjutan harus dipilih, favoritisme semakin menghantui. Jika tidak lolos pada jurusan favorit, ada rasa malu atau rendah diri. Kalau tidak berhasil duduk di kursi sekolah favorit atau kampus favorit, seolah-olah itu menjadi kegagalan besar.

Terkait dengan jurusan, di sekolah menengah atas umum (SMA atau sederajat) biasanya jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) menjadi favorit ketika jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS) dipersepsi kurang favorit. Dengan begitu, jika diterima, belajar, atau lulus dari jurusan IPA, seseorang dinilai lebih bergengsi atau bermartabat ketimbang yang berjurusan IPS.

Salah satu asumsi yang mendasari ini ialah bahwa mereka yang masuk jurusan IPA dipandang 'lebih cerdas' ketimbang yang masuk IPS. Ukurannya ialah nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran eksakta seperti matematika, fisika, biologi, kimia, dan sebagainya. Di samping itu, ada juga sudut pandang sesat bahwa alumni IPA lebih berpeluang bekerja ketimbang alumni IPS.

Tentu saja akan beruntung sekali jika mereka yang masuk jurusan IPA memang memiliki bakat, minat, dan potensi yang sesuai. Namun, alangkah malangnya jika keadaan diri mereka ternyata tak sesuai. Mereka jadi tidak berkembang, mengalami kesulitan belajar atau bahkan pada akhirnya dicap atau mengecap diri gagal karena dianggap tidak berprestasi.

Pada akhirnya, kita tahu, tak pernah ada data atau fakta, misalnya, yang menunjukkan bahwa alumni jurusan IPA lebih bahagia hidupnya ketimbang alumni jurusan IPS. Sebagaimana juga tak ada data bahwa alumni jurusan IPS lebih susah dalam hidup ketimbang mereka yang alumni jurusan IPA. Sebab hidup pada hakikatnya adalah soal menjadi diri sendiri, bukan menjadi seperti yang dibayangkan atau dipaksakan oleh orang lain.

 

Salah sekolah

Selanjutnya, jika seorang anak berhasil masuk sekolah favorit, apalagi jika karena jalur prestasi, harkat-martabatnya dinilai lebih tinggi. Secara umum, sekolah-sekolah negeri dipandang lebih favorit ketimbang sekolah swasta. Di antara sekolah negeri juga terdapat semacam peringkat favoritisme, yang sering kali tanpa dasar kecuali tersebab berita dari mulut ke mulut. Demikian pula halnya dengan sekolah-sekolah swasta.

Alhasil, dalam pandangan awam, mereka yang bersekolah di 'sekolah favorit' seolah-olah adalah calon manusia yang lebih beruntung, hebat, bermasa depan lebih cerah, dan seterusnya. Sebaliknya, mereka yang 'terlempar' ke sekolah-sekolah nonfavorit dipandang atau bahkan mempersepsi diri sebagai lebih rendah, berpeluang lebih kecil untuk maju atau bersiap-siap untuk hidup lebih susah dari mereka yang belajar di sekolah favorit.

Demikian pula ada pemaksaan pemilihan sekolah-sekolah berbasis agama versus nonagama. Dengan memaksa anak-anak masuk pesantren, misalnya, orangtua atau masyarakat awam berpikir bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Bahkan juga terdapat semacam keyakinan bahwa pilihan itu juga baik secara keluarga maupun sosial.

Padahal, baik sekolah favorit maupun pesantren, pada kenyataannya bukanlah pabrik yang 100% bisa memproduksi produk yang sama persis sesuai dengan yang diinginkan. Anak-anak yang 'dipaksa' masuk sekolah tertentu bukanlah tanah lempung yang bisa dibentuk sekehendak hati seorang seniman patung. Ketika sekolah atau pesantren pada hakikatnya hanyalah fasilitas, hal terbaik secara psikologis maupun sosial bagi anak-anak pada akhirnya ialah bagaimana mereka bisa menjadi diri mereka sendiri.

Akan tetapi, tak semua orangtua atau bahkan guru menyadari hal ini. Bahkan betapapun banyak yang pernah membaca, mendengar, atau bahkan mempelajari konsep eksistensialisme pendidikan ini, hegemoni budaya favoritisme mengalahkan ilmu dan melumpuhkan akal sehat mereka. Karena itu, dalam bulan-bulan ini tak akan sedikit anak yang bakal kembali jadi korban favoritisme, terpaksa bersekolah di sekolah yang belum tentu sesuai dengan bakat, minat, atau potensi mereka.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik