Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
“YAKUB, engkau mencuri rumahku.”
“Bukan. Jika aku tidak mencurinya sekarang, akan ada orang lain yang akan mengambilnya nanti.”
Dialog di atas merupakan dialog antara perempuan Palestina dan seorang pria Yahudi di kawasan Sheikh Jarrah.
Sheikh Jarrah memang sedang menjadi bahan pembicaraan dalam dua bulan terakhir. Sebabnya ialah putusan pengadilan Israel yang menganulir permohonan 30 keluarga Palestina atas tanah yang mereka huni. Putusan pengadilan pada Februari silam lantas diikuti pengambilan secara paksa oleh organisasi Nahalat Simon dengan pengawalan aparat. Nahalat Simon merupakan ormas garis keras Israel yang memiliki misi mengusir warga Arab-Palestina dari Jerusalem Timur (Middleeastmonitor, 11/5).
Aksi kekerasan dan paksaan di Sheikh Jarrah terdengar di kalangan warga Palestina. Social media bergemuruh perihal kawasan itu. Puncaknya ialah aksi turun ke jalan ribuan orang pada akhir Ramadan di Gate Damascuss di kawasan Masjid Al-Aqsa. Warga Palestina menunjukkan solidaritas terhadap mereka yang dipaksa meninggalkan tanah yang telah dihuni sejak 1948, dan mendapat jaminan dari pemerintah Yordania dan PBB pada 1959.
Demonstrasi ialah satu-satunya alat yang tersisa bagi warga Palestina untuk melawan hegemoni Israel. Israel telah menjelma menjadi negara apartheid yang menciptakan pemisahan yang tegas antara etnik Yahudi/Israel dan Arab/Palestina.
Pengusiran warga Palestina dari Sheikh Jarrah dan pembangunan hunian baru ialah salah satu bentuk pembersihan oleh Israel yang kerap dikritik komunitas internasional, termasuk oleh Presiden AS Barack Obama ketika masih menjabat. Belum lagi bicara tentang temuan Aby Martin, jurnalis dokumenter Empire Files, yang menguraikan mentalitas pemuda Israel yang menganggap Arab ialah musuh yang tidak bisa dipercaya.
Aksi protes di pengujung Ramadan itu kemudian direspons secara keras. Tentara Israel merangsek ke dalam Masjid Al-Aqsa secara membabi buta. Menembakkan gas air mata dan peluru karet tanpa ampun. Situasi itulah yang menjadi pemicu jual beli serangan roket antara Israel dan Hamas.
Belakangan, Israel semakin tidak terkontrol, kecaman dunia tidak membuat Benjamin Netanyahu berubah. Serangan udara Israel bahkan mengebom apartemen yang merupakan hunian warga serta kantor perwakilan media-media asing termasuk Aljazeera dan Associated Press di Gaza. Eskalasi sejak Senin silam telah mengakibatkan 192 meninggal dunia serta 58 di antaranya anak-anak (Aljazeera, 17/5).
Reaksi internasional
Kekerasan yang dilakukan Israel hari-hari ini boleh jadi merupakan tindakan paling agresif dalam beberapa tahun terakhir. Israel seolah merasa bebas melakukan serangan dengan dalih membela diri.
Presiden AS Joe Biden, meskipun tidak memberikan peringatan keras terhadap Israel, mengingatkan Isarel agar tidak bertindak eksesif dengan menyasar target-target yang dilindungi seperti wanita dan anak-anak. Narasi yang disampaikan Joe Biden menunjukkan posisi AS yang tidak berubah sedikit pun terhadap Israel. Sedikit harapan yang bisa didapatkan Palestina ialah adanya komitmen Washington untuk mengucurkan kembali bantuan internasional kepada Palestina melalui PBB yang sebelumnya sempat dihentikan selama periode Donald Trump (New York Times, 16/5).
Bagi Palestina, periode Donald Trump ialah periode paling menyedihkan. Trump memangkas dana bantuan untuk Palestina, menginisiasi normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel, melihat konflik Israel-Palestina hanya dari sudut pandang ekonomi, serta lebih dari itu Palestina tidak pernah diajak berdialog untuk membicarakan masa depan mereka. Sederhananya, the Deal of Century ala Trump membuat Palestina terabaikan serta ditinggalkan negara-negara Arab. Sebuah situasi yang sulit untuk diterima negara lemah seperti Palestina.
Peristiwa yang terjadi belakangan ini kembali membuka tabir tentang aspek-aspek yang perlu dikoreksi PBB untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Para menlu dari negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) termasuk Indonesia, Minggu (16/5), telah melakukan pertemuan, yang menghasilkan kecaman atas tindakan barbar Israel serta mendorong pertemuan mendadak DK PBB. PBB akan melakukan pertemuan dalam beberapa hari ke depan.
Israel telah melanggar hukum internasional. Komisi HAM PBB telah mengingatkan Israel akan pelanggaran yang telah dilakukan. Dunia tidak boleh membiarkan Israel menikmati kekejaman mereka terhadap warga sipil Palestina, tanpa pengadilan dan sanksi dari dunia. Jejak kejahatan Israel telah banyak tercatat dalam database Komisi HAM PBB. Dunia terlalu lama menyaksikan kekejaman terhadap kemanusiaan yang dilakukan Israel sebagai sesuatu yang bisa diterima.
Indonesia dan negara-negara OKI perlu menyampaikan pandangan mereka kepada DK PBB untuk menghentikan kekerasan secepatnya sekaligus perlu menjadi bagian dari mediator untuk menjembatani perbedaan antara faksi Hamas dan Fatah, yang kontraproduktif bagi perjuangan bangsa Palestina. Mempersiapkan kemerdekaan dengan persepsi yang sama akan membuat pekerjaan di masa depan jauh lebih mudah.
Akhirnya, ini kesempatan bagi dunia dan semua pihak untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan di masa lalu dan memberikan rakyat Palestina harapan untuk kemerdekaan mereka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved