Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
PADA 2021-2022 diperkirakan pola pembelajaran belum akan banyak berubah seiring dengan merebaknya varian baru covid-19. Situasi yang menurut para ahli masih cukup mengkhawatirkan bagi keselamatan jiwa masyarakat. Sekalipun demikian, pemerintah beberapa waktu lalu sudah memberi sinyal dimulainya pembelajaran tatap muka (in-person) pada tahun ajaran 2021/2022.
Sementara itu, kurikulum dan pembelajaran yang akan diterapkan tampaknya masih akan mempertimbangkan kondisi dan kesiapan setiap daerah dan sekolah. Artinya, kurikulum dan pembelajaran yang dilakukan masih akan beragam sesuai dengan kondisi dan kesiapan daerah/sekolah.
Dalam satu tahun terakhir ini sekolah mengadopsi berbagai macam model kurikulum; baik yang dikembangkan secara mandiri dan disusun dalam bentuk modul pembelajaran (dengan menggunakan kurikulum 2013 sebagai acuan), maupun menggunakan kurikulum darurat yang dikembangkan pemerintah (Kemdikbudristek), khususnya pada sekolah-sekolah di daerah 3T. Selain itu, masih banyak juga sekolah-sekolah yang tetap menggunakan kurikulum 2013, namun kompetensi dasar (KD) dan topik bahasan sudah lebih disederhanakan sesuai dengan kondisi kedaruratan, daya dukung (sumber daya dan teknologi), dan alokasi waktu pembelajaran yang tersedia.
Pada tahun ajaran 2021/2022 ini, kabarnya pemerintah akan meluncurkan Program Sekolah Penggerak. Sekolah-sekolah yang masuk kategori sekolah penggerak ini konon akan menggunakan kurikulum tersendiri. Jadi pada tahun ajaran 2021/2022 nanti diperkirakan akan ada tiga macam kurikulum yang digunakan sekolah, yang terdiri dari kurikulum 2013, kurikulum masa darurat (sebagaimana dijelaskan di atas), dan kurikulum sekolah penggerak—yang hanya akan digunakan sekolah-sekolah penggerak yang ditunjuk/ditetapkan sebelumnya.
Deeper learning dan kurikulum darurat
Pembelajaran bermakna dan mendalam (deeper learning) semakin penting pada saat ini daripada sebelumnya. Hal ini tidak hanya disebabkan keterbatasan waktu interaksi guru/siswa yang tersedia dalam pembelajaran formal selama pandemi covid-19. Kita juga diperlihatkan bahwa ciri mendasar dari dunia modern adalah fakta bahwa basis pengetahuan kolektif kita terus meningkat dengan cepat, dengan perkiraan waktu berlipat ganda yang dinyatakan dalam beberapa bulan, bukan beberapa dekade.
Pengetahuan berkembang lebih cepat daripada yang bisa kita serap, dan tidak cukup waktu di sekolah untuk mengajarkan semuanya atau untuk menguasainya bahkan dalam persentase kecil sekalipun. Selain itu, fakta bahwa orang awam sekarang dapat mengakses banyak informasi dunia melalui gawai yang dimiliki, sehingga kesuksesan di sekolah atau kehidupan tidak lagi membutuhkan hafalan dari semua informasi terkait.
Oleh karena itu, guru saat ini dalam mengajar harus dapat mengidentifikasi pengetahuan dan konsep yang layak dipahami secara mendalam dan merancang pembelajaran yang menekankan pada pemahaman mendalam semacam itu. Tujuannya ialah untuk membantu siswa mengembangkan dasar pengetahuan konseptual yang kuat yang dapat mereka deskripsikan dan bangun di masa depan. Dari kemajuan teknologi (seperti otomatisasi dan kecerdasan buatan) hingga transformasi politik dan ekonomi, pergeseran pola migrasi global, perubahan iklim, dan pandemi yang dapat menghentikan dunia, dapat dikatakan bahwa kita tidak lagi mendidik siswa untuk dunia yang stabil dan dapat diprediksi (McTighe & Silver: 2020).
Masa depan sebagaimana dikemukakan para ahli, akan banyak ditentukan pada fleksibilitas siswa dan kemampuan mereka dalam beradaptasi dan mentransformasikan hasil pembelajaran yang dimiliki pada situasi baru dan berbeda. Masa depan membutuhkan pembelajaran yang bermakna dan mendalam (deeper learning).
Dibukanya peluang bagi sekolah/guru untuk mengembangkan kurikulum darurat selama pandemi ini merupakan momentum bagi pemangku pendidikan (stakeholders) untuk menata ulang kurikulum dan pembelajaran sehingga mampu menyiapkan siswa menyongsong masa depan yang penuh ketidakpastian ini. Kurikulum darurat bukan berarti kurikulum seadanya, nirtujuan, dan tidak bermakna.
Meskipun kompetensi dasar dan topik bahasan/tema yang dapat diakomodasi jumlahnya terbatas, kurikulum darurat harus rigor (rigorous curriculum). Meskipun dengan materi dan kompetensi dasar (KD) selektif, pembelajaran harus mampu membimbing siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, analitik, dan pemecahan masalah.
Pembelajaran membutuhkan proses membangun pemahaman dari dalam diri siswa. Menurut terminologi perubahan konseptual, belajar bukan hanya proses untuk memperoleh fakta tanpa perubahan mendasar dalam struktur pengetahuan. (Prita: 2009) mengemukakan bahwa belajar merupakan hasil dari konstruksi mental proses, ketika informasi baru ditambahkan ke dalam pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan. Pemahaman ini akan mendorong guru untuk menjadikan proses pembelajaran bukan hanya sekadar transfer informasi dari guru yang memiliki ilmu kepada siswa yang tidak memiliki ilmu, melainkan membimbing siswa untuk menguji pemahaman yang sudah mereka miliki (Meldawati: 2017).
Pendekatan pembelajaran
Berbagai metode dan pendekatan dapat digunakan guna mendukung pencapaian tujuan kurikulum ini, antara lain, dengan model pembelajaran kontekstual (CTL). Dasar pembelajaran kontekstual adalah konstruktivisme, artinya siswa membangun pemahaman dari pemahaman mereka saat itu dan pengalaman sebelumnya. Pembelajaran kontekstual adalah proses pembelajaran yang berusaha menghubungkan antara konsep dan pengalaman sehari-hari siswa. Lynch, R. L., Padilla, M. J., Harnish, D., & DiStephano, C. (2001), Meldawati (2017) menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran kontekstual adalah guru harus mengasosiasikan bahan ajar dengan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari dan membantu siswa dalam mengaplikasikannya.
Pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi siswa untuk melatih kemampuan berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah. Menurut (Sears: 2003), siswa cenderung mencapai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi jika dalam proses pembelajaran mengandung hubungan antara pelajaran dan kehidupan sehari-hari. Menurut Lynch & Harnish (2002) sebagaimana dikutip Meldawati (2017), ada tujuh strategi dalam pembelajaran kontekstual, yaitu; pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kerja, pembelajaran layanan, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis inkuiri, dan penilaian otentik.
Penguasaan atas ketujuh strategi ini semestinya memberi peluang lebih besar pada munculnya para pembelajar yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan keterampilan dalam memecahkan masalah; dua kualitas yang jelas diperlukan di masa depan. Wallahu a’lam bishawab
.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved