Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Meneropong Extrajudicial Killing

Rama Fatahillah Yulianto, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
20/4/2021 23:05
 Meneropong Extrajudicial Killing
Rama Fatahillah Yulianto(Dok pribadi)

UNGKAPAN extrajudicial killing beberapa waktu lalu mengemuka di berbagai platform media. Maksudnya ialah merupakan suatu tindakan dengan bentuk apapun, yang menyebabkan seseorang kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum dan putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Menilik dari Jurnal Supremasi Hukum karya Zainal Muhtar (2014), terdapat beberapa ciri penting extrajudicial killing, yakni melakukan tindakan yang menimbulkan kematian, dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah, pelakunya adalah aparat negara, tindakan yang menimbulkan kematian tersebut tidak dilakukan dalam keadaan membela diri atau melaksanakan perintah undang-undang. 

Contoh konkret dari extrajudicial killing adalah tindakan aparat yang menggunakan senjata api untuk melumpuhkan terduga atau tersangka dalam proses sistem peradilan pidana. Jika kita menilik salah satu komponen peradilan pidana pada tahapan post ajudikasi, khususnya bagi anak yang berkonflik dengan hukum, pasti mengusahakan upaya diversi dan menerapkan metode ultimum remedium

Penjara merupakan upaya terakhir dalam sistem peradilan pidana. Begitupun dalam tindakan penangkapan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana. Aparat hanya diperbolehkan untuk melumpuhkan dengan tindakan apapun yang sifatnya extrajudicial killing

Hal itu hanya bisa dilakukan jika tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan terduga atau tersangka tersebut, kabur misalnya. Bila tersangka berupaya kabur, itu merupakan ancaman segera terhadap jiwa aparat atau masyarakat.

Kita harus memahami betul esensi dari hukum acara pidana Indonesia mengenai hak seseorang yang masih dinyatakan sebagai tersangka atau terduga. Mereka memiliki asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan hak untuk dibawa ke persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil (fair trial). Hal itu guna membuktikan bahwa apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar. 

Dalam putusan hakim ada tiga yang akan dijatuhkan yaitu lepas, bebas, atau dinyatakan bersalah dan disandingkan dengan penjatuhan hukuman pidana. Sehingga ketika aparat melakukan extrajudicial killing atau tindakan merampas nyawa di luar putusan pengadilan, secara otomatis akan menghilangkan hak hidup dan hak tersangka jika nantinya terbukti tidak bersalah.

Selain itu dalam peradilan pidana, proses penuntutan akan gugur karena tersangka yang bersangkutan telah dihilangkan nyawanya. Oleh karena itu penggunaan tindakan ini harus benar-benar terukur, dan merupakan upaya terakhir dalam proses penangkapan pada sistem peradilan pidana.

Dilansir dari www.icjr.go.id upaya extrajuduicial killing dapat dilakukan jika memang terjadi sesuatu yang sangat membahayakan nyawa aparat dan masyarakat. Tindakan tersebut diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 khususnya Pasal 5 ayat 1 dalam memutuskan untuk melakukan tindakan seperti penembakan dengan menggunakan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan lain, misalnya perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia contohnya gas air mata. 

Setelah sejumlah teknik dilakukan, namun belum menemui jalan keluar maka aparat diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Perlu ditekankan tindakan ini merupakan upaya terakhir, artinya tidak ada alternatif lain, dan sifatnya melumpuhkan bukan mematikan.

Kondisi di lapangan sangat dipengaruhi oleh kondisi psikis dan lingkungan, hal ini sebagaimana pernyataan Albert Bandura dalam teorinya yaitu Social Learning Theory, salah satunya ada yang dinamakan proses agresi, di mana faktor lingkungan (external) seperti suhu yang panas terik, kerumunan massa, tindakan non kooperatif tersangka atau terduga, dll dapat menambah gairah emosional untuk memunculkan perilaku emosi. 

Kemudian jika telah menunjukkan indikasi emosi yang tidak bisa diatur atau dikendalikan oleh individu, terjadilah tindakan extrajudicial killing. Seakan-akan kita melupakan tersangka juga memiliki hak untuk diperiksa secara prosedur yang tertera, yakni mengikutsertakan ke dalam proses peradilan pidana. 

Terdapat ungkapan yang sangat dikenal dikatakan oleh Blackstone dalam bukunya Commentaries on The Laws of England, yaitu lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Mengapa demikian? Itulah pentingnya kita harus memegang teguh prinsip praduga tidak bersalah, karena mereka tidak bisa dinyatakan bersalah hingga nanti adanya putusan pengadilan yang memang sifatnya inkrah. 

Tindakan extrajudicial killing ini dilarang keras oleh ketentuan dalam hukum HAM Internasional maupun hukum positif, larangan tersebut termaktub dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi melalui UU RI No. 12 Tahun 2005. 

Kita harus memahami dan mengilhami kembali segala peraturan khususnya tentang HAM, selain itu juga terdapat pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pasal 1 ayat 3 mengenai negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum inilah yang menjadi batasan atau koridor dari masyarakat untuk menjalani kehidupan di negara Indonesia. 

Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pembelaan di depan hukum. Hal itu berarti bahwa semua masyarakat, terlepas dari apapun latar belakang atau kedudukannya, memiliki posisi yang sama di hadapan hukum.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik