Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Diaspora NU dan Upaya Mengekspor Model Keberislaman

A Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
17/4/2021 06:00
Diaspora NU dan Upaya Mengekspor Model Keberislaman
Ilustrasi(MI/DUTA)

SAAT ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 270 juta jiwa lebih. Dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan tersebut, jumlah pemeluk agama Islam saat ini mencapai lebih dari 229 juta jiwa. Angka yang sangat luar biasa. Angka itu menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang laik dijadikan bahan renungan bersama: andaikan Candi Borobudur ini dibangun di negara-negara Teluk, apakah candi peninggalan agama Hindu tersebut akan bisa terus lestari sebagaimana yang bisa kita jumpai di Indonesia saat ini?

Tidak ada jaminan. Menjaga Candi Borobudur--meminjam Franz Magnis Suseno (2008)--membutuhkan kelapangan psikologis dan teologis serta toleransi yang tinggi. Menjaga Candi Borobudur bukan hanya membutuhkan toleransi. Yang utama justru sikap menghargai warisan-warisan kebudayaan peninggalan para pendahulu meskipun itu dibuat dan diwariskan mereka yang berbeda keyakinan.

Ini bukti bahwa dakwah Islam di Indonesia ialah dakwah yang mengedepankan kompromi terhadap budaya dan kearifan lokal. Corak keislam an di Indonesia ialah corak keislaman yang mengedepankan tole ransi dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Karena itu, miris dan sangat patut disayangkan sekali jika dengan nonmuslim yang berbeda agama dan keyakinan saja, kita utamanya di Indonesia, bisa saling hidup rukun berdampingan dan saling membantu, mengapa justru dengan sesama muslim yang hanya berbeda mazhab, berbeda pandangan, justru kita perangi?

Menjadi contoh

Sudah saatnya kita mengakhiri era Islam yang dipenuhi dengan citra pertempuran, permusuhan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Teluk sampai saat ini. Ulama-ulama harus bekerja keras menjalankan--meminjam analisis KH Said Aqil Siroj (2016)—fungsi mereka. Pertama, ulama harus menjadi penyebar ilmu dan kepahaman (yatafaqqahu fi ddin). Fungsi pertama ini harus dijalankan secara serius dan lebih nyata. Ulama harus memberikan pencerahan kepada umat. Ulama harus memberikan pemahaman yang komprehensif kepada umat.

Kedua, ulama harus ‘memberikan arahan’ (yunzira qoumahum) kepada umat. Fungsi kedua ini, pada kenyataannya, kurang mendapatkan porsi dan perhatian, utamanya di negara-negara yang hingga saat ini masih terus berkonflik.

Indonesia, sekali lagi, bisa menjadi contoh. Ulama-ulama Indonesia ialah ulama-ulama yang selalu berusaha untuk memerankan dua peran itu. Ulama-ulama Indonesia tidak sebatas memberikan pemahaman kepada umat, tetapi di luar itu, mereka juga memberikan contoh langsung. Mereka menjadi suri teladan bagi umat.

Karena itu, tidak mengherankan banyak konfl ik di Indonesia bisa segera teratasi dan berhenti menjadi sebatas konflik lokal. Apa sebabnya? Karena kiai, ulama, dan pemuka agama turun tangan untuk berperan langsung melerai dan meredam konfl ik tersebut. NU selama ini sudah membuktikan komitmen untuk menyebarkan Islam yang ramah, Islam yang damai, dan Islam to leran. Laporan banyak lembaga penelitian menyebutkan peran terbesar NU dalam bingkai berbangsa bernegara ialah mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran di Indonesia.

Sayangnya, jika kita menyimak kondisi terkini, agaknya kita harus jujur dan terbuka mengatakan rasa aman--utamanya dalam konteks global--semakin hari kian terkena erosi. Padahal, jika kita pelajari lebih dalam, ada lima kebutuhan atau hajat hidup manusia yang harus terjamin: pertama, nyawanya. Kedua, hartanya. Ketiga, akalnya.

Keempat, keturunananya dan, kelima, martabatnya. Lima hal tersebut dalam terminologi ushul fiqh disebut dengan kulliyatul khams. Rumusan itu bukan lahir dari ruang kosong. Ia didasari filosofi pemikiran dan juga perdebatan akademik yang sangat matang dan komprehensif sehingga kemudian hari terbakukan menjadi lima kebutuhan dasar manusia yang harus terjamin dalam kehidupan ini.

Pekerjaan rumah

Berangkat dari kerangka berpikir kulliyatul khams tersebut, saya ingin menarik dalam konteks kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara baik dalam skala nasional maupun internasional yang sedang kita alami sekarang. Hal ini, saya rasa, sangat diperlukan guna mengurai apa yang sejatinya saat ini mesti kita lakukan untuk memperbaiki keadaan, terutama dalam soal keamanan dan stabilitas internasional.

Pada hemat saya, ada tiga hajat hidup utama yang negara harus hadir memberikan jaminan kepada rakyatnya.

Pertama, nyawa, kedua, harta, dan, ketiga, martabat. Tiga hal tersebut menurut saya ialah tanggungan dan kewajiban negara yang harus ditunaikan kepada setiap rakyatnya.

Keamanan ialah kata kunci utama yang mau tidak mau harus hadir dan dirasakan seluruh rakyat. Negara harus memberikan rasa aman nyawa dari segala ancaman dan teror yang kian hari kian merebak dan meresahkan. Terorisme hari ini bisa terjadi kapan, di mana, oleh, dan kepada siapa saja. Teror yang kembali merebak akhir-akhir ini ialah pekerjaan rumah besar bagi kita bersama--dan terutama bagi negara--untuk lebih intens sekaligus serius dalam usaha deradikalisasi atau usaha peredaman teror lainnya. Tanpa usaha itu, berarti negara sudah ‘tidak hadir’ di kehidupan rakyatnya.

Ini persoalan serius. Keamanan ialah hal yang sangat prinsip. Soal betapa pentingnya keamanan ini, saya teringat John Lennon dalam tembangnya, Imagine. Dalam lagu tersebut, terdapat sebuah lirik yang sangat dalam dan laik untuk kita renungkan kembali, ‘Imagine there’s no countries/It isn’t hard to do/Nothing to kill or die for’. Lennon dengan tajam mengatakan tak akan ada alasan untuk membunuh dan terbunuh.

Dibunuh-membunuh hari ini ialah peradaban kita. Teror-meneror ialah wajah kehidupan kita. Tak ada lagi rasa aman dan tenteram dalam menjalani kehidupan. Semua serbadiancam, semua serbame rasa terancam.

Kita tahu bahwa dalam menunaikan tugas mewujudkan rasa aman kepada rakyat, negara tidak harus berjuang sendirian. Negara boleh bekerja sama dengan pihak mana pun. Termasuk, yang paling strategis, menurut hemat saya, ialah bekerja sama dengan organisasi masyarakat (ormas).

Salah satu ormas yang konsen dalam memerangi radikalisme dan juga terorisme ialah Nahdlatul Ulama (NU). NU dalam beberapa dekade terakhir sangat serius menggalakkan pelbagai macam program kontraradikalisme dan deradikalisasi bagi masyarakat. Hal ini bisa dipahami. NU ialah ormas pemegang teguh ajaran Islam ahlussunnah waljamaah yang memiliki empat prinsip utama, yakni tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), ‘adalah (adil). Empat prinsip itu ialah alas pijak dasar gerakan dakwah NU.

Oleh karenanya, wajar sekali jika NU menolak keras paham-paham yang bercorak ekstrem. Baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Baik yang tekstualis konservatif maupun yang liberal. NU sangat menjunjung tinggi cara-cara dakwah santun, dakwah yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, dan keluhuran. NU selalu menggunakan cara-cara kelembutan dalam berdakwah. Tidak menggunakan paksaan, apalagi ancaman.

Hal itu, menurut hemat saya, karena didasari pemahaman yang paripurna dari para ulama NU, bahwa sikap lembut ialah sebaikbaiknya sikap dalam berdakwah. Bukankah bunyi kalimat paling tengah dalam kitab suci Alquran berbunyi walyatalaththaf yang artinya ‘berlemah lembutlah’. Kelembutan ialah salah satu prinsip mendasar dalam dakwah, yang dipegang NU, selain prinsip lain seperti prinsip tadarruj atau gradual dan bertahap.

Pada perkembangan mutakhir, saya sangat bersyukur, bahwa NU kini sudah menyebar di hampir seluruh benua: Asia, Afrika, Amerika, dan juga Eropa. Melalui PCINU (Pengurus Cabang Istimewa NU) yang berada tidak kurang di 33 negara seluruh dunia, NU memiliki peluang dan modal yang sangat besar dalam mengawal perdamaian dan harmoni kehidupan.

Hal itu bukan kesimpulan yang berlebihan atau bukan panggang yang jauh dari api. Gerakan dakwah yang ditawarkan NU ialah gerakan Islam ramah yang bisa merangkul siapa saja tanpa bermaksud melukai atau bahkan memusuhi. NU dapat ngemong tanpa berperilaku melukai atau bahkan memusuhi.

Mesin penggerak

Di banyak tempat, sebut saja misalnya Maroko (Afrika), Amerika, Jerman (Eropa), Jepang (Asia), anak-anak muda NU yang aktif berkiprah di PCINU menjelma menjadi agen-agen serta engine (mesin) penggerak ajaran Islam yang santun lagi menyejukkan. Kiprah mereka bukan sebatas melakukan kajian akademis dengan macam-macam spektrum disiplin keilmuan, melainkan juga lebih dari itu, aksi nyata untuk membantu perdamaian kehidupan dunia agar penduduk dunia terhindar dari rasa waswas dan syak wasangka yang begitu mengerikan.

Saya meyakini bahwa diaspora NU ini memberi kontribusi yang semakin hari semakin baik dan nyata untuk mewujudkan gerakangerakan dakwah, yang tidak menempatkan mereka yang berbeda dengan kita adalah ‘liyan’. Diaspora NU ini bisa dimaknai sebagai diplomasi lunak yang tentu saja memiliki keunggulan tersendiri sebagai modal untuk melakukan kerja-kerja diplomasi. Walhasil, NU via diaspora ini akan terus berkomitmen untuk menjaga keamanan dunia dari pelbagai macam bentuk terorisme dan radikalisme. Apalagi, diaspora NU ini punya modal diversifikasi keilmuan yang sudah sangat luas.

Disiplin keilmuan anak-anak NU yang mengambil studi di pelbagai belahan dunia saat ini tidak homogen berkisar pada bidang sosial humaniora dan Islamic studies semata, tetapi juga lebih dari itu. Sudah banyak yang mengambil konsentrasi di bidang saintek, robotika, aerodinamika, nanoteknologi, dan lain sebagainya. Ini modal sosial yang sangat luar biasa bagi NU, salah satunya dalam rangka mengemban dakwah Islam yang ramah di kancah dunia. Wallahu a’lam bishshowab.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya