Pemulihan Ekonomi Bersyarat

Agus Sugiarto Kepala OJK Institute
23/2/2021 05:00
Pemulihan Ekonomi Bersyarat
(MI/Seno)

TAHUN 2020 kemarin, dianggap sebagai tahun kelabu bagi hampir semua negara di dunia sebagai akibat munculnya pandemi covid-19. Akibatnya, pemerintah di hampir semua negara dipaksa harus mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk memerangi penularan covid-19, dan juga sekaligus menyusun rencana pemulihan ekonomi negara masing-masing.

Di awal 2021 ini, ternyata jumlah korban pandemi semakin meningkat, dan bahkan beberapa negara menerapkan kembali lockdown untuk mencegah angka penularan yang lebih besar. Di Indonesia sendiri angka penularan virus covid-19 sampai saat ini juga belum memperlihatkan tren penurunan secara konsisten dalam jangka panjang. Bahkan, positivity rate dari covid-19 masih di kisaran 15-30%, jauh di atas batas toleransi 5% yang dipersyaratkan WHO.

Namun sebaliknya, tren pertumbuhan ekonomi menunjukkan sinyal perbaikan yang mulai terlihat, dengan, semakin menurunnya angka kontraksi pertumbuhan ekonomi dari triwulan II-2020 (-5,32%), sampai dengan triwulan IV-2020 (-2,19%). Sehingga, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pada tahun 2020 mengalami kontraksi minus 2,07% (yoy). Sebuah pencapaian pertumbuhan yang moderat, di tengah pandemi. Pencapaian ini, mendekati ramalan dari Bank Dunia sendiri yang memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2020 sebesar minus 2,2%.

 

Pengendalian penyakit vs pemulihan ekonomi

Tidak adanya hubungan linear, antara penambahan kasus covid-19 dengan membaiknya kondisi ekonomi, sebenarnya perlu dicermati dengan baik. Yang paling ideal, dan menjadi tujuan utama dari pemerintah, ialah jumlah kasus penderita covid-19 terus menurun, dan pemulihan ekonomi menunjukkan tren perbaikan. Kalau tujuan ini tercapai, berarti pemerintah berhasil mengendalikan covid, sekaligus memulihkan ekonomi.

Tentunya, kita tidak menginginkan terjadinya skenario saat jumlah kasus covid-19 naik terus, meskipun pemulihan ekonomi menunjukkan perbaikan. Bahkan, kita pun harus mewaspadai dan menyiapkan mitigasinya, kalau seandainya skenario terburuk terjadi, dimana, jumlah kasus penularan tetap meningkat, dan pemulihan ekonomi tidak mengalami perbaikan.

Kita berharap, skenario terjelek seperti ini, tidak akan terjadi, apabila pemerintah tetap fokus terhadap penyelamatan manusia, sebagai prioritas utama. Di samping, tetap melanjutkan kebijakan pemulihan ekonomi nasional.

 

Kebijakan countercyclical pemulihan ekonomi

Kebijakan fiskal, yang dilakukan pemerintah selama 2020, telah berhasil mempertahankan daya beli masyarakat menengah ke bawah, untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Berbagai jenis stimulus fiskal, seperti insentif pajak, dan bantuan langsung tunai, mampu mengerem laju kontraksi ekonomi ke jurang yang lebih dalam.

Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang bersifat countercyclical dan forward looking, harus terus dijalankan di 2021 ini. Walaupun, dengan terpaksa, akan menambah jumlah utang pemerintah, khususnya, dalam bentuk surat berharga negara (SBN).

Adapun, respons kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menghadapi pandemi pada 2020, sudah tepat, dan mampu mendukung kebijakan fiskal yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut, antara lain, dengan semakin rendahnya suku bunga acuan, pelonggaran giro wajib minimum (GWM) bank-bank, dan ekspansi moneter yang terukur, guna mengalirkan lebih banyak likuiditas ke pasar untuk mendukung kegiatan ekonomi.

Paket kebijakan terkini, yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam bentuk penurunan suku bunga acuan menjadi 3,5%, yang diikuti dengan kebijakan pelonggaran uang muka untuk kredit kendaraan bermotor, dan properti menjadi 0%, merupakan stimulus tambahan untuk menggerakkan roda ekonomi. Kita berharap, suku bunga acuan yang sudah rendah tersebut mampu membangkitkan intermediasi keuangan, guna mendorong pemulihan ekonomi.

Dukungan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk restrukturisasi kredit, pengurangan bobot risiko kredit untuk sektor otomotif dan properti, serta, penurunan bobot risiko kredit, dan juga batas maksimum pemberian kredit, untuk sektor kesehatan, diharapkan mampu mendongkrak intermediasi ke level yang lebih tinggi.

Dengan kebijakan mikro prudensial dari OJK itu, lengkaplah sudah kebijakan pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi, melalui jalur intermediasi keuangan. Keterpaduan kebijakan fiskal, moneter, dan mikro prudensial tersebut, bukan hanya mengefektifkan kebijakan makro ekonomi yang bersifat countercyclical. Melainkan, juga memperlihatkan kekompakan dari berbagai instansi pemerintah untuk mengatasi pemulihan ekonomi secara bersama-sama.

 

Potensi gangguan

Ada dua faktor yang bisa mengganggu pemulihan ekonomi Indonesia pada 2021 ini. Sehingga, kemungkinan ramalan-ramalan pertumbuhan ekonomi yang positif di tahun 2021, berpotensi tidak akan tercapai. Pertama, kemampuan pemerintah dalam mengendalikan penyebaran, dan penularan virus covid-19, menjadi kunci utama keberhasilan pemulihan ekonomi.

Tanpa adanya pengendalian yang efektif terhadap penyebaran virus covid-19, menjadikan pemulihan ekonomi semakin sulit. Kita harus kembali fokus, seperti di saat awal pandemi terjadi, bahwa, prioritas utama pemerintah adalah menyelamatkan jiwa manusia sebanyak-banyaknya. Sehingga, upaya pemulihan ekonomi menjadi lebih mudah.

Kedua, kecepatan program vaksinasi covid-19 untuk 270 juta penduduk, menjadi faktor penentu guna mengendalikan penyebaran virus korona, dan juga, sekaligus menciptakan herd imunity. Dengan melakukan 1 juta vaksinasi setiap hari, dibutuhkan waktu hampir setahun untuk menyelesaikan program vaksinasi itu.

Masalahnya adalah, bagaimana kesanggupan dan kemampuan pemerintah secara cepat menyediakan 540 juta vaksin, untuk keperluan tersebut. Semakin cepat program vaksinasi diselesaikan, maka semakin besar peluang tercapainya pemulihan ekonomi nasional.

 

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya