Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Angka Ideal Ambang Batas Parlemen

M Nizar Kherid, Penulis Buku Evaluasi Sistem Pemilu 1955-2019 Berdasarkan Pluralisme Hukum, Alumni Magister Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro, Tenaga Ahli Anggota DPR
04/2/2021 10:40
Angka Ideal Ambang Batas Parlemen
M Nizar Kherid(Dok pribadi)

REVISI Undang-Undang Pemilu mengemuka di Komisi II DPR, seiring dibukanya masa sidang pertama di 2021. Salah satu aspek krusial dari revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Sejak 2009, Mahkamah Konstitusi sudah menguji lima kali permohonan ambang batas parlemen. Namun tidak satu pun dikabulkan (MK hanya mengabulkan ambang batas parlemen dihapus di tingkat DPRD melalui putusan No 52/PUU-X/2012). 

Perdebatan mengenai ambang batas selalu mengemuka di setiap pemilu. Perdebatan ini juga menjadi puncak kepentingan politik setiap fraksi karena menyangkut eksistensi mereka di parlemen. Hingga Pemilu 2019, argumentasi penurunan ambang batas parlemen selalu mendasarkan pada opini bahwa negara (pembuat undang-undang) menodai prinsip kedaulatan rakyat. Negara dinilai membentuk oligarki partai, negara dengan kekuasaannya mereduksi pilihan politik warga. Partai baru dihambat, demokrasi dimatikan. Begitu seterusnya.


Salah tafsir kedaulatan rakyat

Penulis beranggapan, setidaknya ada dua kesalahan tafsir kedaulatan rakyat sebagai basis argumentasi penurunan threshold, yakni; pertama, kedaulatan rakyat bukan berarti threshold turun. Prinsip kedaulatan rakyat selalu menjadi alasan pembenar agar threshold dipaksa turun. Jika angkanya naik, sama artinya dengan membuang banyak suara. Logika demikian perlu diluruskan. Penaikan threshold bukan berarti membuang suara, melainkan menguatkan konsep perwakilan sebagaimana sila keempat Pancasila. Semakin sedikit jumlah parpol, semakin efektif fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan, bukan pemasaran.

Kedua, kedaulatan rakyat tidak dikooptasi partai politik besar. Muncul anggapan semakin tinggi threshold semakin menguntungkan partai politik besar. Ini juga perlu diluruskan. Partai Demokrat contohnya. Pada Pemilu 2004 meraih 55 kursi dan menjadi pemenang Pemilu 2009 dengan meraih 150 kursi. Namun Pemilu 2014 perolehan kursinya turun menjadi 61 kursi, dan pemilu 2019 turun menjadi 54 kursi. Begitupun dengan parpol lain, Hanura di 2019 kehilangan kursi, PAN dan PPP juga merosot pada pemilu tahun lalu. Kemerosotan ini bukan karena threshold (sekalipun mereka menyetujui kenaikan threshold menjadi 4%), tetapi faktor internal. Deretan partai itu pernah terbelit korupsi para elitenya dan konflik internal berkepanjangan. Dengan demikian, semakin tinggi threshold tidak serta merta menguntungkan parpol besar.

Angka ideal 

Gagasan untuk mendukung threshold 7% dapat ditinjau dari perspektif teori pluralisme hukum. Mengapa pluralisme hukum? Karena teori ini mampu mengubah paradigma berpikir yang pragmatis dan parsial, menjadi paradigma yang pluralistik dan holistik. Begawan hukum Satjipto Rahardjo pernah berujar bahwa teori pluralisme hukum efektif menyelaraskan unsur non hukum (moral, etika, agama) agar kekuasaan negara memberikan manfaat (Penegakan Hukum Progresif, 2010). Wajar jika Prof Tjip menilai teori ini beraliran progresif. 

Berdasarkan pluralisme hukum, setidaknya ada dua pemikiran mengapa ambang batas parlemen ideal di angka 7%, yakni; pertama, argumentasi penurunan threshold berada pada pada tataran norma, bukan pada asas (prinsip). Teori pluralisme hukum 'mengugat' alasan penurunan angka threshold yang orientasinya hanya soal kepesertaan parpol di parlemen. Kepesertaan partai politik di parlemen, tak peduli berapa banyaknya, selalu menjadi alasan pembenar agar threshold diturunkan. Pluralisme hukum memandang ada yang lebih penting dari persoalan norma, yakni asas (prinsip). Salah satunya asas kemanfaatan. 

Asas kemanfaatan tidak menghendaki parlemen menjadi pasar politik dengan jumlah fraksi yang terlalu banyak. Asas ini juga tak ingin kebijakan strategis negara akan tersandera karena bergantung pada banyaknya persetujuan fraksi. Jika ambang batas diturunkan, parlemen sebagai lalu lintas anggaran negara berpotensi menjadi ladang transaksional. 

Parlemen akan selalu gaduh dan stabilitas politik sulit dikontrol. Sekali lagi, ini tidak diinginkan oleh asas kemanfaatan. Memperbanyak kepesertaan partai politik justru membuat sistem presidensial terbebani. Dalam pluralisme hukum, hukum haruslah dirancang untuk kemanfaatan.

Kedua, merancang multi partai sederhana. Dengan angka 7%, (jika mengacu pada perolehan suara pemilu 2019) parlemen akan diisi 6 atau 7 parpol. Sistem politik akan terbentuk multi partai sederhana. Saat ini dengan pemilu serentak, pesta lima tahunan itu kian efektif menjadi mahkamah elektoral. Masyarakat semakin melek politik untuk menilai parpol berdasarkan performa dan gagasannya. Demokrat, PAN, PPP dan Hanura yang kerap gaduh dengan konflik internal telah mengalami vonis berat dari masyarakat melalui pemilu sebagai mahkamah elektoral. 

Sebaliknya, PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKS, dan PKB performanya bagus dan mendapat reward. Multi partai sederhana akan membentuk parlemen sebagai poros gagasan. Parpol dengan sendirinya berlomba untuk berkinerja baik. Threshold 7% menjadi standar kinerja parpol demi tetap eksis di pemilu berikutnya.

Dengan demikian, perbaikan pemilu legislatif dengan penaikan threshold sejak 2009 (2,5%), 2014 (3,5%), dan terakhir 2019 (4%), perlu terus berlanjut. Saat ini dengan sistem serentak antara pileg dan pilpres, momentum lompatan threshold sangat tepat. Setidaknya ambang batas parlemen 7% tidak terpaut jauh dengan ambang batas presiden sebesar 20% kursi DPR. Terlebih, sistem serentak mengharuskan capres-cawapres diusung satu paket bersama gabungan parpol. Ini memerlukan ambang batas parlemen yang ideal.

Sudah saatnya perdebatan setiap pemilu bukan soal penurunan threshold, tetapi merancang parlemen agar lebih progresif dan berkualitas. Perlu diingat, meningkatkan ambang batas parlemen tidak serta-merta menutup peluang parpol ikut pemilu. Fokus ambang batas parlemen adalah menyederhanakan multi partai di parlemen, bukan di pemilu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya