Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
‘PEREKONOMIAN d u n i a akan bersiap untuk melambung secara moderat, di tengah situasi yang masih rapuh’. Itu prediksi ekonomi dunia di 2020, yang dikeluarkan Bank Dunia pada Januari tahun ini. Lembaga dunia lainnya, seperti IMF dan ADB, juga berpendapat yang sama. Tentu saja, itu jauh dari apa yang terjadi di 2020. Penyebaran virus SARS-Cov-2 dan penyakit covid-19 telah membawa perekonomian dunia ke situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat dihentikannya berbagai aktivitas ekonomi. Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari krisis ini
Shutting-down perekonomian
Menghentikan (shutting-down) aktivitas perekonomian memang penting dilakukan dalam usaha mencegah penyebaran penyakit. Sayangnya, seperti disebutkan Prof Richard Baldwin dalam salah satu terbitan awal mengenai ekonomi dan pandemi ini, menghentikan perekonomian tidak sama dengan mematikan lampu, yang langsung bisa dilakukan. Menghentikan perekonomian harus dilakukan seperti mematikan reaktor nuklir, secara perlahan, dan hatihati, dengan berbagai persiapan pencegahan yang cukup.
Salah satu yang diperlukan adalah kesiapan negara menyediakan jaring pengaman sosial-ekonomi, untuk membantu dampak dari penurunan aktivitas ekonomi. Dengan perekonomian Indonesia selama semester pertama mengalami penurunan sebesar 5,3% dari semester sebelumnya, dampak terhadap berbagai aspek sosial ekonomi sangat terasa sekali.
Di Agustus, BPS mencatat, kenaikan jumlah pengangguran terbuka sebesar 2,8 juta jika dibandingkan dengan Februari, selain penambahan angka setengah pengangguran 4,6 juta, membuat bantuan sosial menjadi sangat penting.
Produksi dan aktivitas yang harus dihentikanjuga membuat kondisi dunia usahamenjadi terpuruk. Untuk itu, diperlukanupaya pemerintah, baik dalam bentukbantuan keuangan mapun perubahan kebijakan.Sektor usaha yang terkait denganmobilitas manusia seperti transportasi danakomodasi telah mengalami kondisi yangsangat buruk, bahkan di kuartal tiga, yangrelatif lebih terbuka jika dibandingkandengan sebelumnya, masih lebih rendah16,7% dan 11,86% jika dibandingkan dengankuartal tiga 2019.
Produksi di sektor pengolahan juga terganggu dari berbagai sisi. Pertama dari dibatasinya aktivitas produksi. Kedua, dari terdisrupsinya rantai pasok komponen dan suku cadang, serta dari anjloknya permintaan. Tidak mengherankan di semester satu, industri pengolahan turun hingga 5,2% dari semester sebelumnya.
Produk-produk yang sifatnya durable dan bukan kebutuhan pokok serta tergantung dari rantai pasok mengalami penurunan yang besar. Sektor kendaraan bermotor, misalnya, sangat terpukul, dengan kinerja penjualan turun hingga 95% pada Juni ini. Kalangan usaha mikro dan kecil juga merupakan salah satu yang terdampak dalam karena sifatnya yang cenderung bergantung pada kegiatan manusia, serta keterbatasan kapasitas untuk bertahan selama masa pembatasan.
Setelah melihat kompleksnya permasalahan dalam menghentikan perekonomian, tidak mengherankan hanya sedikit negara yang berhasil melakukannya. Negara seperti T i o n g -
kok dan Selandia Baru berhasil mematikan ‘reaktor’ perekonomian mereka secara cepat dan menunda penyebaran virus lebih lanjut, tetapi dengan turunnya ekonomi hingga 6,8% dan 9,5%.
Ini tentu saja diikuti dengan tindakan yang sangat ketat dalam menjalankan pembatasan aktivitas. Namun, banyak negara lain, termasuk Indonesia, tidak dapat menghentikan aktivitas perekonomian secara baik dan akhirnya hanya mengalami penurunan ekonomi tanpa dapat mengurangi penyebaran covid-19 secara signifi kan.
Jump-start perekonomian
Tidak kalah kompleksnya dari menghentikan perekonomian ialah memulai kembali (jump-start) aktivitas perekonomian. Permasalahannya ialah bagaimana memulai kembali produksi, bagaimana meningkatkan permintaan, serta bagaimana membangun kembali konektivitas dalam dan luar negeri.
Permasalahan menjadi jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan krisis-krisis yang lainnya karena di waktu yang sama harus juga diperhatikan agar aktivitas tersebut tidak menimbulkan gelombang pandemi baru.
Indonesia masih tertatih-tatih untuk memulai aktivitas kembali. Meskipun aktivitas produksi mulai dapat dijalankan, kapasitas terpakai masih jauh dari normal. Ini terlihat dari purchasing manager index yang, meskipun membaik, masih fl uktuatif dan terkadang berada di bawah 50. Konsumsi listrik dari sektor listrik juga turun hingga hampir 8% selama tahun ini.
Kondisi produksi ini tentunya tidak terlepas dari masih lemahnya permintaan. Pembatasan aktivitas ekonomi berimbas pada turunnya daya beli yang tentu saja mengurangi pemintaan. Indeks kepercayaan konsumen yang dikumpulkan Bank Indonesia masih berada di level 60 jika dibandingkan dengan kondisi normal yang mencapai 113 pada Desember tahun lalu.
Lebih parahnya lagi, golongan masyarakat menengah atas cenderung masih menunda pengeluarannya. Survei BI yang sama juga menunjukkan golongan dengan penghasilan Rp5 juta ke atas cenderung untuk meningkatkan bagian dari penghasilan mereka untuk ditabung. Ini juga terlihat dari kenaikan dana pihak ketiga di perbankan, yang terus mengalami kenaikan hingga double-digit selama pandemi ini.
Selain turunnya daya beli, masyarakat cenderung masih membatasi kegiatan mereka karena wabah ini belum berakhir, bahkan cenderung memburuk. Ini menyebabkan masyarakat
yang masih mempunyai daya beli menjadi e n g g a n mengeluarkan pendapatan mereka karena khawatir akan adanya pembatasan kembali ataupun untuk berjaga-jaga jika situasi makin memburuk, terutama kelompok menengah atas. Padahal dari data Susenas BPS, terlihat bahwa 10% kelompok dengan penghasilan tertinggi menyumbang 48% dari total
pengeluaran di Indonesia.
Alternatif kebijakan pembatasan
Terus meningkatnya penyebaran covid-19, setelah ekonomi mulai dilonggarkan, menimbulkan pertanyaan apakah memang aktivitas ekonomi perlu dihentikan lagi agar dapat mengurangi penyebaran wabah. Bank Pembangunan Asia dalam publikasinya, Asian Development Outlook 2020 Update, menjabarkan berbagai alternatif tindakan pencegahan yang cenderung bersifat spektrum.
Ada banyak tindakan pencegahan yang dapat diambil tanpa harus membawa kerugian yang besar seperti penghentian ekonomi.
Pada prinsipnya, untuk mengurangi penyebaran wabah dapat dilakukan dengan cara dua hal. Yang pertama ialah memisahkan satu orang dengan orang lainnya karena semua orang dianggap dapat menjadi penyebar virus tersebut. Alternatif lainnya ialah memisahkan orang yang terinfeksi dengan orang sehat sehingga yang sakit dapat diobati, sementara yang sehat masih dapat menjalankan aktivitas. Ini dapat dilakukan dengan cara melakukan testing, tracing, treatment, and isolation (TTTI) secara menyeluruh.
Banyak negara yang melakukan kombinasi kedua cara tersebut. Pembatasan diperlukan terutama untuk secara secepatnya melakukan penanggulangan. Namun, pada saat yang bersamaan ada persiapan untuk TTTI dengan baik sehingga ketika ekonomi mulai dilonggarkan, pihak yang sakit dapat dipisahkan dari masyarakat yang sehat. Negara-negara Asia Timur dan Tenggara, mulai Korea Selatan, Tiongkok, hingga Thailand dan Vietnam, relatif sukses melakukan tindakan tersebut sehingga proses pemulihan ekonomi dapat berjalan
dengan lebih baik.
Sayangnya Indonesia gagal menggunakanperiode pembatasan selama tiga bulan untukpersiapan TTTI yang lebih masif. Kapasitastesting Indonesia masih jauh di bawahlevel yang diperlukan, terlihat dari tingkatpositif yang masih di atas 12%. Sementaraitu, di negara-negara tersebut berada di bawah3%. Tindakan pelacakan (tracing) jugamasih belum intensif. Akibatnya, otoritaskesehatan mengalami kegagalan untukmengidentifkasi dan memisahkan orangyang telah tertular.
Prospek ke depan
Dengan situasi yang masih tidak menentu di tingkat nasional dan global, kita akan segera memasuki 2021. Beberapa faktor dapat menjadi pendorong kondisi ekonomi yang lebih baik. Penggunaan vaksin tentunya menjadi faktor paling penting dalam penanggulangan masalah kesehatan, yang tentunya berdampak positif atas pemulihan ekonomi.Namun, masalah kesehatan hanyalah satu hal yang perlu diperhatikan dalam membuat mesin perekonomian berjalan kembali dengan baik.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan di tahun ini. Pertama ialah periode pemulihan, terutama setelah vaksin dapat diberikan dan wabah dapat dikontrol dengan lebih baik. Di periode ini, peran pemerintah masih sangat diperlukan. Dukungan pemerintah dapat digunakan untuk memberikan sumber daya baru kepada dunia usaha. Untuk itu penting bagi pemerintah melibatkan seluruh dunia usaha, baik itu kecil dan menengah maupun besar.
Saat ini ada kecenderungan pemerintah mengandalkan BUMN untuk menjalankan aktivitas yang diperlukan, seperti penyaluran bantuan dan restrukturisasi pinjaman. Penyediaan vaksin bahkan dimonopoli BUMN dan tidak melibatkan pihak swasta. Meskipun ini mungkin dijalankan untuk mempermudah proses implementasi, dapat membuat berbagai program tersebut tidak dapat memberikan dampak yang optimal.
Bantuan sosial juga masih perlu dilakukan. Namun, perlu perubahan mendasar dalam program bantuan sosial dengan memilih cara-cara yang lebih terarah. Bantuan dalam bentuk natura sebaiknya digantikan dengan bantuan tunai langsung, yang dapat memberikan kebebasan bagi penerima serta berpotensi meningkatkan permintaan.
Apalagi sudah terlihat bahwa penyaluran bantuan rentan terhadap penyalahgunaan. Teknologi digital juga dapat dipergunakan secara lebih masif. Pengalaman dari penyaluran bantuan kartu prakerja menunjukkan penerima lebih senang mendapatkan bantuan melalui platform digital selain perbankan.
Kedua ialah melihat apa yang perlu dilakukan ketika perekonomian telah mulai pulih. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana exit-strategy dari ketergantungan terhadap fi skal yang begitu besar. Dukungan fi skal harus mulai dikurangi secara bertahap. Perlu pula diperhatikan kondisi ekonomi global.
Jangan sampai, ketika banyak negara dunia tidak lagi bergantung pada dukungan fi skal dan bank sentral, Indonesia masih terus mengandalkan itu.
Periode ini juga membutuhkan penanganan dalam membayar ‘tagihan’ yang muncul selama menanggulangi wabah. Dengan defi sit diperkirakan sekitar 6,3% dari PDB 2020 dan dianggarkan 5,7% pada 2021, utang Indonesia akan berpotensi membengkak. Diperlukan berbagai kebijakan makroekonomi dan kebijakan struktural yang tepat agar masa ‘pembayaran’ ini tidak mengganggu stabilitas makroekonomi.
Ketiga ialah melanjutkan reformasi struktural yang belum sempat dijalankan. Berbagai estimasi memperlihatkan bahwa dalam jangka panjang potensi pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah daripada seharusnya. Dalam jangka waktu lima tahun setelah krisis, PDB Indonesia dapat menjadi lebih rendah 5%-7% jika dibandingkan dengan tidak adanya krisis.
Butuh reformasi struktural ekonomi untuk mendorong perekonomian kembali ke potensi semula. Berbagai kebijakan reformasi yang dijalankan saat ini, seperti UU Cipta Kerja dan reformasi regulasi lainnya, diharapkan dapat mendorong kembali pemulihan di masa pascakrisis. Krisis ini dapat diubah menjadi momentum untuk terbentuknya perekonomian Indonesia yang lebih produktif, kuat dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved