Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
PANDEMI covid-19 tidak main-main dan memang bukan untuk dipermainkan. Telah begitu banyak korban, bukan hanya harta, melainkan juga jiwa. Jumlah korban bukan hitungan jari, melainkan lebih dari sejuta nyawa. Pandemi ini juga mengakibatkan ekonomi lumpuh dan sekolah mandek. Oleh karena itu, anak-anak dikhawatirkan menjadi generasi gagal.
Banyak pihak yang menuding bahwa pemerintah tidak serius menangani pandemi ini. Sejak awal merebak setahun lalu, wabah ini justru awalnya menjadi guyonan. Ketika pertambahan kasusnya meledak, maka timbul kepanikan di sana-sini. Pemerintah seperti tidak siap menghadapinya, apalagi masyarakat. Persoalan semakin rumit ketika komunikasi publik yang dibangun para pejabat publik tidak sampai kepada sasarannya. Lebih banyak warga masyarakat yang tidak memahami isi penjelasan, imbauan, bahkan larangan yang diterapkan pemerintah sekaitan dengan bahaya covid-19 ini. Akibatnya, pemerintah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berulang-ulang menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dalam beberapa kesempatan berbicara dengan tim Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diketahui bahwa mereka telah melakukan berbagai kajian, termasuk kajian antropologis, untuk mengetahui musabab peningkatan korban covid-19 di Tanah Air ini. Di luar penyebab lainnya, ternyata salah satunya karena warga masyarakat memang tidak melihat wabah covid-19 sebagai bencana nonalam yang dahsyat dan perlu ekstra waspada.
Mereka abai terhadap ancaman itu karena tidak memahami wacana yang dibuat oleh para pejabat publik yang menangani urusan bencana ini. Hal tersebut diperparah oleh banyaknya lelucon dan guyonan yang muncul di seputar kejadian wabah ini, yang menambah ketidakyakinan warga masyarakat akan bahayanya.
Kondisi itu memunculkan pertanyaan apakah ketidakmampuan warga masyarakat karena pengetahuan berbahasa alias tingkat literasi mereka masih rendah? Atau, mungkinkah ketidakmengertian mereka disebabkan oleh bahasa yang dipakai pejabat publik yang menyampaikan informasi itu benar-benar terlalu 'tinggi'? Atau, jangan-jangan warga masyarakat sudah tidak terlalu memperhatikan alias acuh tak acuh terhadap warta yang disampaikan pemerintah? Yang mana pun yang benar (atau bisa juga ketiganya salah) pasti akan ada penjelasannya masing-masing.
Kalau berbicara tentang kualitas literasi (masyarakat) Indonesia, para pembicara sepertinya sudah serempak dan 'kompak' untuk menggunakan data hasil PISA (programme for international student assessment) yang diperoleh sejak Indonesia bergabung dalam program itu. Data PISA itu memang sangat memilukan. Betapa tidak. Prestasi para siswa kita dalam bidang kecakapan membaca, matematika, dan sains selalu berada pada urutan kelompok terendah bila dibandingkan dengan, bahkan, sejawatnya di negara-negara ASEAN. Namun, bagaimanapun, data PISA pasti tidak selalu bisa digunakan sebagai rujukan untuk menilai tingkat kualitas literasi masyarakat kita secara keseluruhan. PISA memang tidak mengukur kemampuan literasi dan numerasi kelompok masyarakat lainnya. Bahkan, PISA pun sebetulnya hanya mengukur para siswa dari kelompok sekolah sampel di beberapa wilayah dari begitu banyak jumlah sekolah di seluruh Indonesia.
Dugaan lebih kuat justru dialamatkan kepada ragam bahasa yang dipakai oleh para pejabat publik tatkala membuat taklimat untuk masyarakat. Begitu banyak peristilahan yang asing di telinga warga masyarakat sehingga mereka menjadi tidak hirau. Memang benar bahwa wabah covid-19 bermula di luar kawasan Indonesia dan merebak lebih banyak awalnya di negara-negara Eropa. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa banyak sekali istilah dari kawasan tersebut yang digunakan. Akibatnya, para pejabat dengan serta-merta menggunakan istilah-istilah asing itu dalam berbagai kesempatan mereka memberikan keterangan kepada masyarakat tanpa mengingat bahwa tidaklah semua warga masyarakat kita itu akan langsung memahami tujuan komunikasi mereka.
Padanan bahasa
Akan tetapi, sayangnya, para pejabat publik itu telah lupa akan keberadaan para bahasawan, baik yang ada di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), di perguruan tinggi, maupun di lembaga lainnya yang banyak mengkaji urusan bahasa. Para bahasawan tersebut sesungguhnya sangat siap diajak berembuk untuk memadankan istilah-istilah yang muncul di seputar bencana covid-19 ini. Istilah-istilah, seperti new normal, lockdown, pandemic, physical distancing, social distancing, rapid test, sangatlah asing di telinga masyarakat umumnya.
Untunglah, pada perkembangan berikutnya, muncul inisiatif agar pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi seputar covid-19 ini dapat duduk bersama. Satgas Penanganan Covid-19, Kantor Sekretariat Presiden, Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Badan Bahasa akhirnya bisa duduk bersama. Dari pertemuan ini kemudian dihasilkan kesepakatan bahwa setiap ada istilah asing baru yang muncul dan akan dikomunikasikan kepada masyarakat, Badan Bahasa akan diberi tahu dan bertugas untuk mencarikan padanannya paling lambat dalam tempo 24 jam. Sementara itu, perihal setiap istilah asing yang sudah beredar lebih dulu di tengah masyarakat, istilah itu akan dipadankan dalam waktu secepatnya. Dari kerja tersebut, dalam waktu tidak terlalu lama muncullah padanan-padanan istilah itu dan digunakan secara luas oleh masyarakat.
Upaya Satgas Penanganan Covid-19 Nasional untuk mengendalikan penyebaran virus ganas ini memang tidak pernah berhenti. Dalam sebuah kesempatan, tim satgas melakukan komunikasi informal tentang hasil kajian antropologis sebagaimana disebutkan tadi. Kemudian, tim yang membawahkan Bidang Perubahan Perilaku mengajak Badan Bahasa untuk bekerja sama dalam menerjemahkan pedoman perubahan perilaku dan kampanye 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak).
Dengan melibatkan Balai dan Kantor Bahasa di bawah Badan Bahasa, dalam waktu singkat, pedoman tersebut berhasil diterjemahkan ke dalam 78 bahasa daerah disertai dengan video kampanyenya. Penerjemahan yang melibatkan uji keterbacaan oleh para ahli bahasa daerah setempat dan penutur jati bahasa tersebut diharapkan menghasilkan karya yang benar-benar teruji dan mudah dimengerti para pembacanya. Ditulis dalam bahasa yang sangat sederhana dan mudah dibaca, pedoman tersebut sangat diharapkan dapat membantu pencegahan penyebaran virus mematikan ini.
Lagi-lagi, kalau kita meyakini bahwa masyarakat di seputar kita ternyata lebih memahami teks yang tertulis di dalam bahasa daerahnya, hal itu setidaknya menyiratkan dua hal penting. Pertama, apakah hal itu bisa dikatakan bahwa pengajaran bahasa Indonesia selama ini belum mencapai sasarannya, yaitu menjadikan masyarakat kita melek huruf dan mampu memahami teks berbahasa Indonesia? Setidaknya, bahasa yang digunakan di dalam sebuah buku pedoman untuk masyarakat ialah ragam bahasa yang sederhana strukturnya, akrab kosa katanya.
Kedua, bahasa daerah tetap memiliki peran yang sangat penting bagi umumnya masyarakat kita. Padahal, di sisi lain, telah begitu banyak pemerintah di daerah yang tidak terlalu hirau, bahkan sudah abai, terhadap kelangsungan hidup bahasa di daerahnya. Banyak pemerintah di daerah yang dengan entengnya menyerahkan urusan pelestarian dan pengembangan bahasa daerah kepada masyarakat. Padahal, sejatinya, urusan bahasa dan sastra daerah merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah di daerah.
Kekhawatiran yang lebih mendalam justru muncul andai kata meningkatnya kasus covid-19 di Tanah Air ini akibat dari abainya masyarakat terhadap penjelasan dan imbauan pemerintah. Mereka seolah-olah telah seperti kafilah dalam pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, tak acuh akan kata-kata atau wacana sakti dari pemerintah. Secara teoretis, sejatinya, bahasa dipakai oleh penguasa untuk tiga tujuan utama, yaitu (1) untuk mempertahankan kekuasaannya, (2) mempropagandakan kinerja terbaiknya dan pada saat yang sama menutupi kekurangannya, dan (3) meyakinkan agar rakyat tetap taat patuh kepada penguasa. Berkaca dari pengabaian masyarakat terhadap kampanye pencegahan penyebaran covid-19, sepertinya pemerintah telah kehilangan kendali untuk bisa menertibkan masyarakat melalui bahasa kekuasaannya itu.
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, maka langkah paling bijak tentu saja ialah tidak lantas sepenuhnya menyalahkan masyarakat. Alih-alih, siapa pun yang menyampaikan narasi tentang pencegahan dan penanganan wabah covid-19 ini hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana, yang bisa dengan mudah dipahami masyarakat. Kita pasti akan yakin dan percaya bahwa apabila masyarakat telah mengerti pesan yang ingin disampaikan pemerintah, masyarakat akan dengan mudah mengikutinya, apalagi kalau kampanye itu juga diikuti oleh praktik yang dicontohkan oleh aparat pemerintah. Pesan sebuah tindak komunikasi akan mudah diikuti apabila disampaikan dalam bahasa para penerima pesan itu, bukan di dalam bahasa yang hanya kedengaran untuk gagah-gagahan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved