Headline

Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.

Fokus

Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.

Memasuki 2021, Pantang Lumpuh Tetap Ampuh!

Seto Mulyadi Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
17/12/2020 05:00
Memasuki 2021, Pantang Lumpuh Tetap Ampuh!
(MI/MOHAMAD IRFAN )

TAHUN 2020 ialah tahun yang berat. Covid-19 bukan sebatas sebutan untuk musim berjangkitnya penyakit akibat virus. Anak yang terpaksa menjalani program pendidikan di rumah, anak yang boleh jadi putus sekolah ataupun mengalami malanutrisi akibat orangtua kehilangan mata pencarian, anak yang melewatkan jadwal imunisasi rutin mereka akibat terkurung di dalam rumah, anak yang menjadi korban predator seksual yang berkeliaran di media daring.

Lalu, anak yang dianiaya oleh orangtua mereka yang mengalami frustrasi akibat harus menjadi guru di rumah, dan anak yang kehilangan orangtua atau setidaknya, harus menjaga orangtua mereka yang jatuh sakit. Itulah beberapa masalah susulan, yang menerpa anak di masa pageblug ini justru tidak berhubungan sama sekali dengan bibit penyakit itu sendiri.

Kita memiliki panggilan untuk memacu optimisme, bahwa, jauh lebih banyak anak Indonesia yang lolos dari lubang jarum. Dengan kata lain, betapa pun Organisasi Kesehatan Dunia telah mengingatkan masyarakat global akan dampak psikologi, sosial, dan ekonomi dari covid-19. Namun, khalayak perlu terus memupuk keyakinan bahwa persentase yang terbesar adalah anak-anak Indonesia yang berhasil melalui masa pandemi di tahun 2020 ini.

Keberhasilan itu niscaya bukan akibat pencapaian akademik seperti yang menjadi kebanggaan orangtua, dan guru, pada waktu-waktu lampau. Kekuatan karakter anak, itulah kunci yang dimiliki oleh berjuta anak Indonesia sehingga berhasil menyentuh garis finis tahun 2020. Pada titik karakter itulah, keberlangsungan Indonesia menempuh tahun 2021 dan tahun-tahun sebelumnya akan terus bertahan.

 

Tugas 'baru'

Sekian banyak lembaga dan ilmuwan mengkhawatirkan datangnya gelombang kedua covid-19. Tanda-tanda ke arah sana, tampaknya sudah terlihat dari sekarang. Saat memasuki tahun 2021, jumlah pertambahan penderita covid-19 juga melaju. Pemerintah memang telah bersiap-siap melakukan vaksinasi massal. Namun, sulit dielakkan, kesiapan dan persiapan ke arah sana masih jauh dari memadai.

Pada kurun itulah, kekhawatiran akan gelombang kedua covid-19 tadi berpeluang menjadi kenyataan. Bila situasinya benar-benar seperti yang diramalkan, pada tahun mendatang, sangat mungkin akan ada (semakin) banyak anak Indonesia yang harus menjalankan peran tambahan, yakni sebagai perawat, atau pendamping bagi orang tua, atau sanak keluarga mereka yang sakit, maupun ditimpa kesulitan hidup lainnya.

Penelitian yang dilakukan Pakenham dan Cox (2014), misalnya, merupakan salah satu riset paling awal, yang mengkaji kondisi psikologis anak-anak, yang harus mendampingi orang tua mereka yang ditimpa kemalangan.

Dengan membandingkan anak-anak yang tinggal di dalam keluarga yang sehat dengan anak-anak yang hidup serumah dengan orangtua yang sakit kronis, misalnya, Pakenham dan Cox menyimpulkan bahwa anak-anak pada kelompok kedua memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita masalah kesehatan mental. Risiko penderitaan anak itu semakin menjadi ketika masalah kesehatan yang diderita orang tua bukanlah gangguan fisik, melainkan justru masalah mental dan adiksi.

Dari kajian-kajian yang ada, disimpulkan bahwa beban batin anak yang orangtuanya menderita kesulitan hidup bisa termanifestasikan dalam bentuk eksternalisasi ataupun internalisasi.

Disebut eksternalisasi, ketika stres itu ditampilkan anak ke dalam perilaku agresif, dan kenakalan. Meskipun tindak tanduk seperti itu mudah diamati, sering kali sekolah salah dalam memahami penyebab munculnya masalah perilaku tersebut. Akibatnya, bukannya terbantu, anak justru dihadapkan pada stigma dan hukuman yang semakin menyedot energi mereka.

Pada sisi lain, ada pula anak-anak yang mengekspresikan kegelisahan mereka dalam bentuk depresi dan menarik diri secara sosial. Kementerian pemberdayaan dan Perlindungan Anak misalnya, mencatat bahwa ada sekitar 13% anak Indonesia mengalami depresi.

Pola internalisasi ini lebih sulit untuk ditangkap oleh orang-orang di sekitar anak. Padahal, semakin lama masalah psikis tertangani, semakin negatif pula peluang untuk kesembuhannya.

Pada saat anak-anak terpaksa harus memikul tanggung jawab yang berat di rumah, tanggung jawab mereka untuk bersekolahpun tetap hadir. Kentalnya muatan akademik niscaya membuat kehidupan anak juga semakin berat. Patut disayangkan, bahwa di masa pandemik yang memaksa para siswa belajar di rumah, dapat dikatakan bahwa sebagian lembaga pendidikan masih belum cukup mafhum, akan adanya kompleksitas kehidupan keluarga anak-anak, selama menjalani program belajar dari rumah.

Sementara itu, dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 4/2020 telah ditegaskan, bahwa pembelajaran secara daring saat ini tidak perlu terlalu menekankan pada penuntasan kurikulum, untuk kenaikan kelas ataupun kelulusan. Justru yang lebih penting ialah pendidikan kecakapan hidup untuk menghadapi pandemi covid-19 ini.

Sorotan umum yang diangkat pengamat biasanya berkutat pada bagaimana kesulitan ekonomi, kesenjangan peranti teknologi komunikasi, dan--mengenaskan--sinyal yang tidak stabil, sebagai sumber gangguan terhadap stabilitas hidup anak.

Demikian pula, sebagian pengamat saat memberikan pandangan tentang wabah covid-19, justru lalai untuk memasukkan orangtua yang mengalami kesulitan sebagai salah satu masalah yang memperberat kehidupan keluarga, dan berpengaruh langsung terhadap kehidupan anak.

Seolah terjadi kealpaan kolektif bahwa isu paling pokok yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya, pada masa penuh tantangan ini, adalah bagaimana membangun kesanggupan (baca: karakter!) anak didik agar mampu melewati masa berat ini. Padahal, hemat saya, dalam situasi abnormal seperti sekarang ini, proses pembangunan karakter anak sepatutnya diselenggarakan untuk menyasar lima dimensi: etika, estetika, kesehatan, nasionalisme, dan iptek.

Tengoklah, bagaimana saya katakan etika berada di posisi paling awal dan iptek di posisi paling belakang. Iptek memang penting. Namun, bagi anak-anak saat ini, kesanggupan mereka untuk mempertahankan kualitas hidup di masa berat ini tidak tergantung pada dimensi itu.

Jelas, agar keempat dimensi lainnya dapat terbangun pada diri anak, mereka membutuhkan pendampingan istimewa dari para pendidik, baik pendidik di sekolah (guru), maupun, pendidik di rumah (orangtua). Apalagi dimensi etika, dimensi yang saya yakini sebagai intisari.

Bila tadi saya tuliskan kemungkinan semakin membludaknya pengidap covid-19, relevansi etika sebagai esensi pendidikan di musim pandemi ialah bahwa ini merupakan jawaban atas ekspektasi masyarakat. Di lingkungan primer anak (sebagai anggota keluarga), penghormatan terhadap nilai-nilai kekeluargaan, akan menjadi landasan bagi anak-anak untuk merawat orangtua mereka yang jatuh sakit, maupun tengah menghadapi kesempitan hidup lainnya.

 

Kesadaran bersama

Atas dasar itulah saya menantikan adanya kesadaran bersama bahwa betapa pun pemerintah mendorong kegiatan belajar-mengajar berbasis rumahan selama musim covid-19, namun--pertama--muatan pembelajaran siswa dan mindset guru harus dimodifikasi besar-besaran.

Kedua, pihak sekolah perlu menunjukkan empati lebih dalam terhadap problematika keluarga siswa. Terlebih, ketika orang tua siswa jatuh sakit atau ditimpa kemalangan sosial ekonomi lainnya. Terhadap siswa yang berada dalam situasi sedemikian rupa, sudah sepatutnya anak-anak diberikan keleluasaan untuk mendahulukan tanggung jawab mereka selaku anak daripada tanggung jawabnya selaku siswa.

Bertepatan dengan upaya menyongsong tahun 2021 ini, tahun ajaran sekolah telah berlangsung setengah jalan. Menjelang hadirnya tahun baru dan dimulainya paruh kedua tahun ajaran, para pemangku kepentingan sudah sepatutnya menganut dasar pemikiran, bahwa anak merupakan unsur yang tak terpisahkan dari sebuah keluarga (khususnya orangtua) yang tengah melewati situasi amat berat. Mari kita gunakan istilah a whole family approach atau young carers paradigm.

Pendekatan atau paradigma tersebut, saya terjemahkan dengan bertitik tolak dari anak selaku agen sosial yang kompeten, yakni anak bukanlah pihak yang pasif atau tak berdaya bagai sabut kelapa di tengah samodera. Dengan pendekatan atau paradigma tersebut, diharapkan berlangsung pergeseran posisi anak.

Dari yang semula sebagai individu rapuh yang rentan ikut terjerumus dalam kesengsaraan keluarga, ke anak sebagai anggota keluarga yang tidak terkucil dalam pengalaman sakit, dan kesulitan orangtua. Tujuannya ialah agar para siswa dapat menjalankan bakti pada keluarga mereka, seraya terjaga keseimbangannya, dengan hak-hak atau kepentingan mereka selaku anak-anak, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan.

A whole family approach, saya yakini, merupakan batu tumpuan yang akan mampu menaikkan kedudukan anak, ke peran potensial yang lebih hebat lagi di tahun 2021 jika dibandingkan dengan masa pra-covid-19. Bahwa anak bukan warga kelas dua dalam setiap keluarga.

Bila itu dapat terwujudkan, tatkala ayah dan bunda terkendala, untuk menjalankan fungsi mereka selaku orangtua, anak-anakpun tidak akan serta-merta lumpuh. Justru sebaliknya, anak-anak memiliki kompetensi ampuh untuk mendukung ikhtiar agar orangtua mereka kembali menjalankan peran-peran produktif mereka.

Titik mula atas itu semua adalah, sekali lagi, pembangunan karakter anak. Karakter yang menunjukkan ketangguhan mental bercirikan kekukuhan anak dalam menghayati nilai kesantunan, tata krama atau etika. Semoga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya