Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
ADANYA RUU sebagai revisi atas UU No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional atau yang dikenal sebagai UU SKN, tentu saja menerbitkan harapan. Wacana revisi sudah bergulir sejak pertengahan Juli 2020 dan sudah ada Panja Revisi UU SKN. Bahkan, Komisi X berencana mengusulkan RUU SKN agar menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna sebelum 11 Desember 2020 sehingga pembahasan RUU bersama pemerintah bisa dilanjutkan Januari 2021.
Secara akumulatif, baik berdasar pendapat pengamat, pelaku di dunia olahraga, maupun eksekutif dan legislatif, sudah disadari ada berbagai kelemahan dalam UU SKN. Indikasinya, amat mudah dilihat dalam tiga hal: penurunan prestasi, kisruh kelembagaan dalam pengelolaan, serta karut-marut manajemen pengembangan atau pembinaan, baik untuk olahraga prestasi maupun olahraga pendidikan. Menyikapi fenomena keolahragaan ini, saya ingin menyumbangkan beberapa pokok pikiran.
Praksis-strategis
Pertama, sebagai salah satu putra bangsa yang ikut mendedikasikan diri dalam sistem keolahragaan nasional, RUU harus memuat revitalisasi visi, misi, dan tujuan keolahgaraan. Oleh karena itu, apa yang tercantum dalam konsideran 'menimbang' dalam UU No 3/2005 harus diterjemahkan praksis-strategis. Saya memilih kata 'praksis' dan bukan 'pragmatis' untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu mengenai negativitas dari 'pragmatisme'.
Poin saya kemudian, betul-betul terdapat pasal-pasal praksis-strategis yang memastikan bahwa 'negara bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa melalui penyelenggaraan keolahragaan guna menciptakan masyarakat yang sehat jasmani rohani, sportivitas, menjalin persatuan dan kesatuan, serta mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan berlandaskan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945'.
Dalam pemahaman saya, keempat tujuan di atas pada akhirnya bermuara pada soal mengangkat 'harkat dan martabat bangsa' yang terutama dibuktikan dengan prestasi demi prestasi Indonesia di tingkat internasional. Bahkan, bukti tertinggi dari terdapatnya kesehatan jasmani-rohani dan sportivitas masyarakat ialah nilai-nilai olahraga benar-benar hidup dan dipraktikkan secara massal. Maka, dari 268 juta lebih penduduk Indonesia, muncul dan berkembang manusia-manusia yang berbakat dan berprestasi.
Di sini kemudian ada persoalan strategi. Jika faktor kesehatan jasmani-rohani dan sportivitas yang menjadi titik tekan utama, meskipun itu mungkin saja benar secara normatif, olahraga Indonesia akan terus mengalami status quo atau bahkan kemunduran. Bahkan, perdebatan akan menjadi debat kusir.
Secara strategis, olahraga prestasi ialah lokomotif yang menarik gerbong panjang keolahragaan. Di satu sisi, olahraga prestasi ialah olahraga yang menghidupkan nasionalisme dan membuat Indonesia lebih dikenal di seantero dunia, diajak bersahabat, didatangi, dan diajak bekerjasama. Di sisi lain, prestasi olahraga secara kuat memengaruhi perilaku keolahragaan masyarakat. Sebagai contoh, setiap kali Indonesia berprestasi dalam bidang bulu tangkis, di mana-mana masyarakat mengalami 'demam' bulu tangkis. Seiring dengan itu, secara psikologis nasionalisme bertumbuh dan menguat.
Otonomi struktural
Jika usul penerjemahan praksis-strategis dari visi, misi, dan tujuan keolahragaan nasional disetujui, hal kedua yang wajib dilakukan melalui revisi RUU SKN ialah penguatan otonomi struktural. Termasuk dalam hal ini berbagai gagasan tentang penyederhanaan struktur keolahragaan atau destrukturisasi dan penyederhanaan birokrasi keolahragaan atau debirokratisasi.
Salah satu pokok isu dalam hal ini ialah terkait dengan kedaulatan negara dalam olahraga berhadapan dengan otonomi dari organisasi yang mengurus olahraga dan cabang olahraga. Saya sendiri setuju dengan pendapat bahwa negara bertanggung jawab dalam memberi dukungan sarana, prasarana, infrastruktur olahraga, serta bantuan pendanaan. Di sisi lain, pengelolaan olahraga mengikuti regulasi olahraga internasional, seperti dalam sola akreditasi, standardisasi, sertifikasi, arbitrase, doping, serta penyelesaian sengketa olahraga.
Pilihan ini sama sekali tidak akan mengurangi kedaulatan negara dalam arti yang sebenarnya dan tetap dalam koridor demi 'menciptakan masyarakat yang sehat jasmani rohani, sportivitas, menjalin persatuan dan kesatuan, serta mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan berlandaskan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945'.
Keterlibatan Indonesia dalam olahraga prestasi di tingkat internasional mau tidak mau harus mengikuti regulasi internasional, yang tidak bisa diintervensi negara atau pemerintahan negara mana pun. Supaya koheren, semua regulasi tersebut juga harus diadopsi dalam pengelolaan olahraga sampai ke tingkat paling bawah.
Bahkan, perlu dicatat, bahwa besaran kedaulatan negara--yang memungkinkan berbagai peluang bagi intervensi structural--beriringan dengan peluang penyalahgunaan kekuasaan secara politik, dalam pengelolaan keolahragaan. Independensi atau otonomi masyarakat olahraga akan riskan direnggut tangan-tangan politik dan berdampak pada prestasi dan rusaknya sistem kepercayaan warga negara terhadap keolahragaan. Kasus demi kasus dalam politik olahraga Tanah Air telah membuktikan hal ini.
Isu berikutnya, penyederhanaan struktural. Dualisme struktural, misalnya, dengan berbagai potensi multitafsir dan ketidakpastian kewenangan serta bidang kerja yang tumpang-tindih, tidak saja mengakibatkan inefisiensi, tetapi juga menyedot sumber daya, energi, waktu, dan pikiran dalam labirin tanpa akhir politik keolahragaan.
Dalam kemelut antara KONI dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI), sebagai contoh, prestasi olahraga menjadi sangat terganggu karena terjadinya saling berebut kewenangan dan sebaliknya saling lempar tanggung jawab.
Seperti pernah saya tulis juga sebelumnya dalam media ini, di atas kertas bisa saja dikatakan kedua organisasi olahraga ini tak bisa dikatakan saling dukung di hulu ataupun hilir. KONI bertanggung-jawab dengan sektor hulu atau pembibitan dan pembinaan atlet ketika KOI bertanggung jawab terkait keikutsertaan Indonesia dalam berbagai ajang olahraga. Akan tetapi, sebagai contoh, setiap kali akan menghadapi event olahraga, terjadi 'perebutan lapak' antara KONI dan KOI. Alhasil, persiapan maupun prestasi menjadi tidak maksimal.
Pilihan yang lebih baik ialah bagaimana dualisme ini diakhiri dan pengelolaan hulu-hilir keolahragaan dikelola di bawah satu atap. Seiring dengan penyederhanaan struktur keolahragaan, penegakan otonomi struktural juga berarti debirokratisasi.
Ketika disepakati bahwa campur tangan negara dalam keolahragaan ialah berupa dukungan sarana, prasarana, infrastruktur olahraga, serta bantuan pendanaan, birokrasi keolahragaan harus dipangkas dengan pengaturan yang jelas dan tegas dalam UU. Itu karena semakin panjang atau besar birokrasi keolahragaan akan semakin tidak efisien pengelolaannya.
Begitu pula ketika tidak ada kejelasan dan ketegasan peran yang dimainkan birokrasi, itu akan menjadi pintu masuk bagi campur tangan politik dalam olahraga.
Terakhir, otonomi struktural pengelolaan olahraga, juga berarti harus mencakup otonomi masyarakat olahraga dalam mengelola aspek pendidikan dan pembinaan olahraga. Di sini, berlaku prinsip bahwa 'kebertanggungjawaban itu hanya mungkin ketika terdapat ruang untuk bertanggung jawab'. Pengaturan yang ketat oleh negara akan berujung pada peniadaan ruang gerak, kreativitas, dan inovasi bagi masyarakat olahraga. Pengalaman saya terlibat dalam pengelolaan cabang olahraga wushu, misalnya, telah menunjukkan bahwa otonomi dalam pembinaan berbuah hasil yang membanggakan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved