Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Anak Muda dan Partai Politik

Firman Nugraha, Alumni Indef School of Political Economy  
10/11/2020 11:10
Anak Muda dan Partai Politik
Firman Nugraha(Dok pribadi)

SEBAGAI sebuah refleksi, aktualisasi peran pemuda dalam konteks dinamika sosial politik hari ini senyatanya menunjukan indikasi yang optimis. Dalam hal relasi antara generasi muda dan partai politik (parpol) misalnya. Parpol hari ini patut berprasangka positif bahwa kadersisasi politik menemukan ladang persemaiannya. Anak muda hari ini memiliki kesadaran kritis yang tidak kalah unggulnya semenjak momentum kepemudaan 92 tahun lalu. 

Hal tersebut paling tidak dapat ditinjau dari perkembangan sosial masyarakat Indonesia dewasa kini, ketika kesadaran kritis telah kian terbangun melalui pola pelibatan publik (civic engagement) yang promotif dan sistemik dalam pelbagai urusan penyelenggaraan negara.

Tak dapat disangkal, gelombang demokratisasi seiring dengan gerakan reformasi 1998 telah mengantarkan kita pada suatu elan kehidupan publik yang terbuka, egaliter, dan demokratis. Reformasi telah menghendaki adanya pola pelibatan partisipasi warga dalam kehidupan politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Hadirnya otonomi daerah yang lebih luas dan nyata, telah memberikan ruang bagi masyarakat hingga pada aras lokal untuk lebih intensif berperan, tidak hanya sebagai objek pembangunan namun juga sebagai subjek pembangunan daerah. 

Upaya demokratisasi melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat telah menyuguhkan proses politik yang dekat dan pekat di tingkat akar rumput. Melalui desentralisasi politik, partisipasi warga difasilitasi dalam upaya mendorong pembangunan yang bersifat bottom up, melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang menitikberatkan pada fungsi penting agregasi aspirasi publik. 

Pemantapan partisipasi publik di antaranya turut pula didukung oleh lahirnya UU Keterbukaan Informasi Publik, yang praktis telah memberikan jaminan lebih bagi demokratisasi. Kini diskursus kebijakan publik tidak lagi menjadi urusan eksklusif negara, melainkan telah menjadi diskurus yang terbuka, dapat diakses, dan diperbincangkan oleh setiap warga negara. 

Dalam konteks demikian, upaya-upaya sistemik pelibatan publik pascareformasi sejatinya telah mengantarkan masyarakat hari ini pada suatu kesadaran politik baru (political awarness), yaitu terciptanya internalisasi kesadaran masyarakat atas hak dan kewajiban sebagai warga negara. Antara lain kesadaran akan hak-hak politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial, dan kewajiban-kewajiban seperti dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial budaya, dan kewajiban lainnya.

Di antara penyandang kesadaran kritis tersebut tiada lain adalah kelompok muda, atau kerap disebut milenial yang merupakan populasi terbesar dalam struktur piramida penduduk di Indonesia. Mereka merupakan generasi yang lahir dan tumbuh kembang dalam nurture sosial politik yang demokratis. Mereka adalah generasi asli dari demokrasi (native democracy), yang semenjak lahir taken for granted hidup dalam ekosistem sosial-politik yang dibangun atas nilai-nilai kesetaraan dan keterbukaan. 

Ciri utama tabiat mereka adalah mempunyai kecenderungan bersikap kritis dan banyak bertanya. Mereka merasa memiliki kompetensi tinggi sehingga tak merasa ragu untuk berdebat dan berbeda secara radikal tentang suatu hal. Namun pada saat yang sama mereka mampu membangun kolaborasi dan sinergitas untuk suatu tujuan yang sama. Suatu budaya politik milenial yang berupaya menempatkan argumen di atas sentimen. 

Mentalitas sosial politik milenial yang demikian ditunjang pula oleh tingkat keterdidikan yang baik (well-educated). Keterbukaan informasi dan akses ilmu pengetahuan yang terpapar luas telah memungkinkan mereka untuk memperoleh literasi politik yang memadai. Sebagai penguasa dunia digital (native digital), mereka merupakan kelompok yang piawai meakukan elaborasi teknologi dan aplikasi digital. Dengan intensitas berselancar di sosial media  yang tinggi, milenial merupakan kelompok yang tak pernah terasing dari dinamika diskursus publik. 

Milenial kerap menjadi generasi yang mampu menciptakan gelombang wacana. Fenomena viral dan trending topic di media sosial adalah bentuk dominasi wacana yang notabene anak mudalah pencipta resonansinya. Mereka merupakan generasi yang dengan mudah terpantik isu. Gandrung melakukan pembahasan isu penting yang menyangkut dan relevan dengan dirinya dari mulai soal perubahan iklim, identitas, gender, romance hingga politik. Tak ayal kelompok milenial telah menjadi barometer diskursus publik mengingat talenta digital dan jumlah demografinya yang besar di Indonesia.

Kombinasi antara demokrasi dan digitalisasi informasi telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi pelibatan publik (civic enggagement) dan tumbuh suburnya kesadaran politik yang kritis. Yang pada gilirannya telah mengantarkan masyarakat Indonesia pada etape konsolidasi demokrasi yang matang. Bagi kelompok milenial, demokrasi bukanlah sebuah alternatif, melainkan sebagai way of life yang menjamin kebebasan bagi mereka untuk secara 'sembarang' menalar isu-isu politik. Ekosistem politik sedemikian sejatinya perlu dipandang sebagai indikasi positif bahwasannya kadersisasi politik anak muda menemukan ladang persemaiaannya yang subur (breeding ground).
 
Transformasi kesadaran politik 

Karenanya, menjadi penting bagi parpol untuk melihat perkembangan kehidupan sosial politik hari ini sebagai sebuah tantangan sekaligus peluang kaderisasi dan regenerasi. Alih-alih memendam kecurigaan dan kekhawatiran pesimistik atas sebuah mitos bahwa parpol kian ditinggalkan kaula muda.   

Sungguh naif manakala masih mengatakan bahwa partai politik mengalami kesulitan untuk melakukan kaderisasi di kalangan kelompok muda. Karena jika saja menyadari demografi dan perkembangan budaya sosial politik hari ini, realitas justru telah menunjukan peluang yang optimis bagi aktivisme politik anak muda di Indonesia. Capaian demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi landscape yang cukup memberikan harapan bagai perbaikan sumber daya manusia parpol saat ini.

Soekanto dalam Wardhani (2008:8) menyebutkan bahwa tingkat kesadaran paling tidak dapat dibagi menjadi 4 yaitu pengetahuan, pemahaman, sikap dan pola perilaku (tindakan). Kesadaran politik yang rendah dapat dilihat apabila berada pada level pengetahuan dan pemahaman, sedang pada level sikap, dan tinggi pada level pola perilaku/tindakan.

Maka dari itu, peran strategis parpol hari ini adalah tentang bagaimana mampu melakukan konversi potensi inheren pada anak muda. Artinya, yaitu dari sekadar kesadaran politik di tahap pengetahuan atau pemahaman untuk kemudian mewujud menjadi aktivisme politik (political activism), sebagai bentuk manifestasi kesadaran politik yang tinggi. 

Faktor kuncinya adalah pentingnya parpol itu sendiri untuk mampu melakukan evaluasi serius dalam menghadirkan wahana politik yang atraktif, strategis, dan kondusif dalam mengonversi kesadaran politik kelompok muda menjadi aktivisme politik. 

Jika selama ini parpol dianggap sebagai wahana yang berbahaya, penuh konflik, dan segenap citra negatif lainnya, kepentingan mendasar bagi parpol adalah meningkatkan peradaban politik itu sendiri, yakni melakukan perbaikan tidak saja sebatas citra. Namun melakukan transformasi subtansi bahwa parpol merupakan sarana kepemimpinan dan kemuliaan sebuah perjuangan. Alih-alih menjadi lumbung pertengkaran sentimen sempit dan watak-watak licik yang koruptif. Keseharian wajah politik mesti dihadirkan kembali sebagai ruang pertarungan ide, di mana silang pandangan dan kritik ditumbuh suburkan sebagai seni keindahan narasi politik (the beauty of the politics).

Lebih lanjut, selain partai politik perlu mewujud dalam tata kelolanya yang profesional, yaitu melalui standar manajemen yang mutakhir dan adaptif terhadap tantangan perubahan. Parpol diharapkan pula dapat menumbuhkembangkan ruang-ruang kreasi yang selama ini dibelenggu tradisi feodalistik, yang menyebabkan lemahnya inovasi di sektor politik. 

Hal ini menjadi mendasar, mengingat bahwa kompatibilitas antara milenial dan parpol modern menuntut adanya pembudayaan manajemen yang lebih demokratis ditubuh partai politik itu sendiri. Yakni bagaimana parpol terejawantah sebagai laboratorium demokrasi yang mampu menghadirkan kesempatan yang setara, mengutamakan meritokrasi, serta mampu menampilkan kepemimpinan parpol yang mau mendengarkan dan siap menjalin komunikasi terbuka.

Pada akhirnya, transformasi kesadaran politik menjadi aktivisme politik akan senantiasa membutuhkan transformasi parpol itu sendiri, sebagai upaya beradaptasi terhadap jiwa zaman kelompok muda saat ini. Kesadaran politik generasi muda senyatanya akan terus tumbuh. Seiring dengan demokratisasi informasi yang berkembang secara tak terbatas mendobrak sekat-sekat eksklusifitas dan hirarki pengetahuan. 

Karenanya, adalah suatu garansi bahwa sebagai generasi yang berpengetahuan (well-informed) anak muda sesungguhnya tidak akan pernah meninggalkan diskursus politik. Sebuah kesadaran politik di level pengetahuan yang sepatutnya dapat menumbuhkan optimisme masa depan bagi parpol.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya