Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MENGEMBAN dua misi sekaligus, pertama, sebagai pelayan siaran publik untuk pekerjaan informasi, edukasi, dan informasi. Kedua, sebagai media massa penjaga pilar ke–empat demokrasi. Kedua misi ini merupakan ukuran kualitas demokrasi Indonesia yang berlaku universal. Untuk dapat memikul tanggung jawab misi bangsa dan negara itu, perlu suatu terobosan politik.
Terobosan untuk memperkokoh misi terhormat yang diamanahkan bangsa dan negara untuk mengawal misi pencerdasan bangsa, informasi dan hiburan sebagai media integrasi yang ter-integrated untuk kepentingan nasional. Seharusnya, tidak dijalankan setengah-setengah retorika semata.
Melainkan, dengan serius melalui dukungan penuh negara kepada RRI, untuk menjalankan sebagian tugas pembangunan bangsa dan negara di bidang media layanan penyiaran tanpa ada sedikitpun keraguan atau hambatan yang bersifat politik maupun komersial.
Ada alasan menjadi layanan publik Radio Republik Indonesia (RRI), karena dibiayai dari pajak rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Sudah 18 tahun menjalankan tugas sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Saatnya dievaluasi secara total keberadaannya, agar sumberdaya yang dimiliki RRI tidak mubasir, dan tidak digilas oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang kian canggih di era multiplatform berbasis internet ini.
Secara prinsip, RRI adalah LPP setelah keputusan politik sejak diterbitkan UU 32/2002 tentang penyiaran, dan PP No.12/ 2005 tentang LPP RRI. Perubahan sistem politik Negara menjadi demokrasi dan demokratisasi, lembaga public service dan civil society merupakan keniscayaan berfungsinya demokrasi substansi di negeri ini.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia sejak 1998 belum berakhir hingga kini. Meskipun, sejumlah indikator demokratisasi sudah mewujud. Namun, sejumlah persoalan lainnya masih belum menemukan solusi dan format yang ideal. Semisal, produk RRI yang hampir seluruhnya dibiayai negara melalui APBN tiap tahunnya, dan dikelola oleh ASN, jelas bertentangan dengan upaya menjalankan misi layanan penyiaran secara independen dan profesional.
Beralasan, khalayak mempunyai ingatan kolektif bahwa RRI adalah media plat merah, yang identik dengan public relations keberhasilan pemerintah, media old style, yang isi siarannya jauh dari menghibur, dan cenderung kaku khas birokrasi.
Citra RRI di mata publik seperti itu menjadi tantangan tersendiri bagi reformasi di tubuh RRI. Secara substansial, sajian dan kemasan program di RRI harus beradaptasi dengan perkembangan zaman, meskipun tak harus lepas dari aspek historis kelahirannya. Adaptasi ini bukan persoalan mudah karena terkait dengan inovasi yang kreatif.
Apabila negara memberikan dukungan penuh kepada RRI untuk mengelola LPP, maka broadcaster RRI juga butuh pemimpin, bukan sekadar menjabat untuk menakodai perubahan besar media layanan publik untuk kepentingan nasional di era multiplatform.
Untuk itu, perubahan mendasar ada pada kemampuan untuk menemukan orang-orang kunci di RRI yang tidak saja profesional memahami dunia radio, misi dan karakter sebagai LPP. Namun, juga mempunyai kemampuan manajerial untuk mengarahkan SDM di dalamnya. Sehingga, terbentuk tim kerja yang berkinerja baik kreatif dan berinovatif.
Ada sejumlah persoalan dalam membentuk tim kerja dengan kinerja yang baik. Pertama, sejak awal berdiri, RRI tidak dimaksudkan sebagai media massa elektronik yang dikelola secara modern dan profesional. Ia melekat dengan negara, tampil sebagai bagian dari aparatur negara di bawah satu departemen.
Kedua, kurun waktu 75 tahun telah menciptakan subkultur kerja tertentu, yang lagi-lagi tidak selalu adaptif dengan tuntutan kepenyiaran pada zamannya. Sebagai organisasi nonprofit, RRI tidak dituntut untung secara pendapatan uang rupiah.
Ketiga, secara nasional, belum tentu ada kesamaan ide tentang bagaimana menciptakan wajah baru RRI ke depannya. Praktik-praktik lama di RRI telah berpotensi menciptakan zona nyaman yang membuat orang merasa sayang untuk meninggalkannya, untuk kemudian menciptakan zona baru.
Di luar kelemahan-kelemahan itu, RRI menyimpan sejumlah potensi yang tidak dimiliki oleh broadcaster radio lain, bahkan radio swasta yang berjejaring nasional.
Setidaknya, ada dua potensi yang apabila dikelola secara sinergis akan mempercepat munculnya wajah baru RRI. Pertama, RRI mempunyai frekuensi publik yang melimpah secara nasional, juga di wilayah, Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T). Melimpahnya frekuensi publik ini merupakan modal kompetitif bagi RRI.
Potensi kedua ialah, di antara SDM RRI yang ada, perlu memetakan siapa saja yang bisa masuk ke tim kecil yang memikirkan, memformulasikan, dan membuat konsep wajah baru RRI. Katakanlah, di 2045, ketika Republik Indonesia dan RRI berusia 100 tahun. Untuk kepentingan nasional, RRI masih sebagai alat vital yang wajib dilindungi ketika negara dalam keadaam bahaya.
Dalam konteks Indonesia, radio masih menjadi salah satu pilihan media yang dikonsumsi publik. Khususnya, daerah yang jauh dari jaringan internet. Kuat dugaan, ini lebih karena mendengarkan radio dari perangkat apapun (radio fisik dan radio streaming melalui aplikasi Android dan iOS) bisa dilakukan sembari mengerjakan kegiatan lain.
Keunggulan karakter siaran radio ini, yang tidak dimiliki media lain, apalagi yang audio visual dan cetak. Meskipun demikian, belajar dari benchmark lembaga penyiaran di negara lain bisa menjadi opsi yang tidak bisa dihindari.
Kisah sukses radio lain bisa menjadi pembelajaran penting bagi RRI. British Broadcasting Corporation (BBC), misalnya, menyimpan kisah sukses yang layak diamati, ditiru, dan diakomodasi. Namun, memahami apa dan bagaimana ruang publik (juga ruang udara di mana frekuensi radio bekerja), menjadi tahapan penting sebelum kebijakan mendasar diputuskan.
Sesudahnya, format penyiaran yang pas, serta bagaimana memfungsikan RRI sebagai pilar yang memperkokoh kedaulatan ruang publik menjadi wacana menarik untuk selekasnya diwujudkan.
Pesan the founding fathers, adalah jangan sekali-kali melupakan sejarah. Begitu juga dengan perjalanan RRI yang berusia 75 tahun pada 11 September 2020. RRI harus dipersepsikan sebagai alat vital negara, yang patut dilindungi oleh setiap rezim pemerintahan.
Ada moto yang dianggap jadul,“sekali merdeka tetap merdeka; sekali di udara tetap di udara”, tapi menunjukan betapa kuat keterkaitan RRI dan kemerdekaan RI.
Sebagaimana moto British Broadcasting Corporation (BBC), “nations shall speak peace unto nation”. Bila diterjemahkan bebas, “berbicaralah yang baik-baik kepada bangsamu”. Bermakna kebebasan diberikan tapi tetap harus memiliki tanggung jawab, bagi RRI itulah pers Pancasila.
Komitmen BBC mencerdaskan, bukan saja pada bangsa Inggris tapi juga dunia melalui, BBC World Service. Jelas bahwa, BBC fokus utamanya pada layanan penyiaran publik, edukasi, informasi dan hiburan, yang dilaksanakan secara konsisten dan tekun sejak 1922.
Hasilnya dapat terlihat saat ini, kepercayaan publik diwujudkan melalui iuran publik yang hingga ini masih berkisar Rp58 triliun, walau mengalami penurunan hampir separuhnya ketika tidak lagi monopoli di era internet ini.
Kelembagaan dewan pengawasnya dilabelkan sebagai BBC Trust. Inilah wujud kehormatan yang berbasis moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh BBC. Full-mandate yang diberikan oleh Ratu Elisabeth, Royal Charter telah dijalankan oleh broadcaster BBC secara bertanggungjawab.
BBC memulai bisnis siaran radio pada tahun 1922 dengan call sign British Broadcasting Company (BBC), yang kemudian bertransformasi menjadi korporasi atau British Broadcasting Corporation (BBC) pada tahun 1927, misinya yang semula mencari keuntungan, kemudian bertransformasi secara kelembagaan menjadi korporasi.
Begitu juga dengan perjalanan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan NHK, dan sejumlah nama besar media penyiaran publik di dunia yang tetap komitmen dan konsisten melayani publik tanpa mengubah nama kelembagaannya sejak awal, karena alasan sejarah.
Pada 17 Agustus 1945 pukul 19.00 WIB, melalui pemancar 100 watt milik tentara Dai Nippon, Yusuf Ronodipuro dkk secara diam-diam dengan microphone cikal bakal RRI menyampaikan berita penting dan bersejarah, ”Indonesia telah merdeka”. Perasaan heroik dan menegangkan di hadapan bayonet tentara Jepang yang kejam, menjadi semangat kerja angkasawan RRI.
Kini, RRI telah memiliki lebih dari 700 pemancar (FM, MW, dan SW) berkekuatan 100 watt hingga 250 klwat, bersiaran secara nasional dan lokal di 105 stasiun penyiaran tetap untuk kepentingan bangsa dan negara. RRI terus berperan merekam, menyuarakan dan menyimpan sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa ini.
Ikrar Tri Prasetya merupakan janji setia 11 September 1945 oleh para pendiri RRI, jiwa kejuangan menyelamatkan alat siaran dari siapapun, dengan alasaan apapun dan dalam kondisi apapun untuk menghancurkan bangsa dan negara ini.
Selain itu, RRI berjanji akan mengemudikan alat siaran dengan penuh kejujuran dan kesetiaan, berdiri di atas semua kepentingan, golongan dan agama. Jiwa Tri Prasetya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan semangat “Sekali di Udara, Tetap di Udara” dan telah teruji dari masa ke masa. Terutama, saat peristiwa sejarah penjajahan yang ingin kembali menguasai negara dan bangsa.
Para angkasawan RRI bersama para pejuang, hijrah berpindah-pindah mempertahankan pemancar kecil yang bisa digendong ke mana pun bergerak agar pekik perlawanan bisa terus diteriakkan, seperti yang dilakukan studio produksi RRI Radio Rimba Raya di Bener Meriah yang meneriakkan “Dari Sini Indonesia Masih Ada.”
Radio Rimba Raya hingga saat ini masih dipertahankan mengudara sebagai Studio Produksi RRI Korwil Nusantara XVII Batas Selasar (Banda Aceh, Takengon, Singkil, Lhokseumawe, Meulaboh, Sabang, dan Rimba Raya).
Semangat sekali di udara tetap di udara memberi makna walau apapun yang terjadi RRI harus senantiasa mengudara bahkan kiamat sekalipun RRI harus tetap mengudara, kemudian segera berakhir bersama kiamat
Saatnya, RRI perlu diredefinisikan agar dapat mengakomodasi televisi dan online. Karena, faktanya RRI sudah melayani pembaca pendengar dan penonton pada waktu yang bersamaan di era konvergensi multiplatform.
LPP RRI seharusnya di persepsikan sbagai institusi militer professonal yang dipersepsikan oleh Samuel Huntington, penulis buku, The Soldier and the State : The Theory and Politics of Civil-Military Relations, 1957. Huntington meyakini profesionalisme membutuhkan institusi yang kuat dan khusus atau lex specialis, serta memiliki tanggung jawab sosial.
Dalam konteks ini, militer yang profesional membutuhkan entitas sosial politik yang profesional pula, utamanya media massa dan masyarakat sipil. Bila semua institusi kerja secara profesional, hubungan profesional pun akan terjadi. Dengan demikian,
tidak akan adanya saling curiga atau prasangka buruk karena semuanya terukur.
Pemimpin revolusi Prancis,Napoleon Bonaparte mengatakan : “press without a nation, rather than a nation without press”. Julukan Le Petit Caporal ini mengakui pena wartawan itu lebih tajam dari pedang, begitu juga seharusnya microphone RRI mampu berwibawa dimata publik-nya sendiri, maupun dunia internasional.
Semoga semangat juang angkasawan RRI kini, dan akan datang tetap sama. Tidak tergerus oleh kepentingan kekuasaan, dan ekonomi. Dirgahayu RRI ke-75. Teruslah Berjaya di Udara dan di Darat.
Radio merupakan salah satu media massa elektronik tertua yang telah menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan teknologi komunikasi dan alat komunikasi.
Legislator PDI-Perjuangan ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga pemerintah, media massa, dan masyarakat dalam mengatasi penyebaran hoaks.
RADIO Republik Indonesia (RRI) dan China Media Group (CMG) melalui Nanyang Bridge Media meluncurkan program kerja sama ‘Tiongkok dalam Layar’.
Komisioner KPU RI August Melasz menjelaskan pihaknya hanya memberi arahan kepada para panelis agar pertanyaannya tidak out of context dari bahasan.
Acara yang diadakan oleh UEU, RRI, dan Pergui bertujuan untuk merayakan semangat persatuan dan kemandirian serta memberikan peluang tak terbatas bagi penyandang disabilitas.
Menurut Zainut, PTQ RRI Nasional ke 53 sekaligus merupakan bukti komitmen LPP RRI yang terus memberikan kontribusinya dalam mengembangkan nilai-nilai moderasi beragama di Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved