Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEBELUM pandemi covid-19 muncul di awal 2020, perekonomian global dalam kondisi bagus dengan tingkat inflasi dan pengangguran yang rendah, walaupun tingkat pertumbuhannya masih stagnan. Namun, kondisi menjadi berubah total setelah pandemi tersebut menjalar ke hampir seluruh negara. Sehingga, perekonomian global mengalami kejatuhan yangluar biasa.
Salah satu dampak berantai dari kejatuhan ekonomi dunia itu ialah sektor investasi, yang sebelumnya menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi global. Pertumbuhan investasi di era globalisasi telah berhasil mendukung pembangunan dan kemakmuran ekonomi di hampir semua negara. Khususnya, di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah laju pertumbuhan investasi global akan tetap sama setelah munculnya krisis ekonomi yang disebabkan karena pandemi covid-19?
Potensi credit crunch
Salah satu aspek penting dalam investasi ialah ketersediaan dana atau modal. Namun, sayangnya setelah pandemi muncul, hampir semua negara mengalokasikan anggaran yang dimiliki untuk menangani krisis kemanusiaan.
Upaya untuk menyelamatkan nyawa manusia dari penularan virus covid-19 menjadi agenda utama dari semua negara. Sehingga, kegiatan pembangunan lainnya dan investasi bukan lagi menjadi prioritas penting. Apabila kegiatan investasi tetap harus dijalankan, perlu dicermati mengenai sumber pembiayaannya dari mana, khususnya untuk investasi yang memerlukan biaya besar.
Bank sebagai salah satu sumber dana untuk membiayai kegiatan investasi tentunya akan sangat selektif dan sangat berhati-hati sekali. Mengingat, tingginya potensi kredit macet akibat pandemi. Tidak semua bank memiliki kemampuan yang sama dalam menyalurkan pinjaman, karena sebagian mungkin harus berkonsentrasi melakukan restrukturisasi kredit, ataupun berkurangnya sumber dana masyarakat. Sehingga, membuat mereka rentan sekali dalam menyalurkan kredit baru.
Fakta di lapangan menunjukkan, dua pertiga pembiayaan investasi di Eropa masih bersumber dari bank. Namun, saat ini bank-bank tersebut lagi sibuk menghadapi potensi kredit macet dan berkurangnya likuiditas. Sehingga, kemampuan memberikan kredit baru menurun drastis. Beberapa bank di negara maju maupun di negara sedang berkembang sudah mengisyaratkan kemungkinan bail-out, sehingga bank tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya sebagai sumber utama untuk membiayai investasi.
World Bank sendiri, yang biasanya memberikan pinjaman lunak untuk berbagai kegiatan investasi pembangunan infrastruktur di negara-negara sedang berkembang, telah memfokuskan dananya untuk bantuan darurat menangani penyebaran covid-19. Kita berharap kondisi ini tidak menimbulkan credit crunch yang semakin mendalam dan mengganggu sumber pembia yaan untuk investasi.
Turunnya credit rating
Selain perbankan, pasar modal juga menjadi alternatif lain dalam pembiayaan investasi global. Sepertiga dari korporasi di Amerika Serikat masih mendapatkan sumber dana bank guna membiayai investasi mereka. Namun, dua pertiganya sudah mengandalkan pasar modal.
Peran pasar modal sebagai sumber dana untuk pembiayaan dan investasi melalui penerbitan saham dan obligasi oleh korporasi belum sepenuhnya optimal di saat selama pandemi berlangsung.
Permasalahan utama ialah belum tentu sepenuhnya terserap pasar dan faktor credit rating dari korporasi tersebut. Era kebangkrutan korporasi sudah menunggu di depan mata akibat pandemi, sehingga credit rating dari korporasi meng alami penurunan.
Lembaga rating Standard & Poor's sudah menurunkan credit rating sekitar 700 multinational corporations (MNCs) di seluruh dunia selama pandemi ini. Antara lain, raksasa mobil Ford dan Renault, Delta Air Lines, serta Kraft Heinz. Sementara itu, lembaga rating Moody's juga telah menurunkan rating dari beberapa korporasi Indonesia seperti PT Agung Podomoro Land dan PT Gajah Tunggal.
Bukan hanya korporasi, upaya berbagai negara untuk menerbitkan surat berharga juga tidaklah mudah dalam kondisi sekarang ini. Aspek investment grade bagi suatu negara sangat menentukan sekali obligasi tersebut dapat diterima investor dengan imbal hasil yang wajar.
Fitch Ratings telah menurunkan investment grade dari Afrika Selatan sampai level terbawah. Sehingga, mempersulit negara tersebut mengatasi pemulihan ekonominya. Italia juga merasakan hal yang sama, dengan investment grade BBB- menyebabkan negara ini sulit meminjam uang di pasar internasional. Standard & Poor's juga sudah menurunkan rating Indonesia dari stable menjadi negative sebagai akibat pandemi ini. Sebagian negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin juga sudah mengalami penurunan investment grade semenjak pandemi ini terjadi.
Prospek ke depan
Dengan melihat fakta-fakta di atas, upaya pemulihan ekonomi global melalui pembiayaan dari jalur investasi tampaknya sulit diwujudkan dalam waktu yang cepat. Kesulitan likuiditas global telah menghantui semua negara, tidak terkecuali negara-negara maju. Sehingga, perlu dicarikan jalan keluar atau terobosan baru.
Beberapa pakar ekonomi menyarankan agar lembaga rating untuk sementara waktu membekukan credit rating dari korporasi maupun investment grade negara-negara di dunia. Keadaan luar biasa yang melahirkan krisis multidimensi saat ini, semestinya perlu disikapi dengan pelonggaran rating oleh lembaga-lembaga rating internasional tersebut.
Upaya ini sudah mendesak sekali dan diharapkan dapat memulihkan kembali perekonomian global dalam jangka pendek dan menengah. Melemahnya pembiayaan untuk investasi global juga memiliki dampak yang luar biasa terhadap foreign direct investment (FDI). Khususnya, bagi negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Menurunnya jumlah FDI di negara-negara sedang berkembang akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi mereka, khususnya dalam mengurangi pengangguran dan pembukaan lapangan kerja baru.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved