Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KEMATIAN George Floyd telah memicu kemarahan publik di Amerika Serikat (AS), bahkan seluruh warga dunia. Sampai lebih tiga pekan seusai kematian Floyd, demonstrasi masih berlangsung baik di AS maupun di sejumlah negara lain.
Floyd kini seolah menjadi simbol gerakan global melawan rasialisme. Tak terhindarkan lagi, demonstrasi dan bentrok dengan aparat, disertai penjarahan toko-toko dan pembakaran bangunan dan kantor polisi.
Seruan dukacita dan gelombang protes antirasialisme juga terjadi di media sosial. Tagar #BlackLivesMatter digaungkan para pendemo. Upacara pemakaman Floyd (10/6) tidak saja dihadiri masyarakat kulit hitam, tetapi juga mereka dari kalangan kulit putih dan aktivis hak asasi manusia di AS karena ketidakadilan yang diterima Floyd telah melampaui batas-batas ras dan etnik, bahkan telah menjadi keprihatinan global.
Demonstrasi masif itu dipicu video kebrutalan polisi Minneapolis, AS, dalam penangkapan George Floyd, seorang satpam kulit hitam yang dilaporkan sebuah supermarket karena diduga menggunakan uang palsu saat membeli barang, ditangkap petugas polisi bernama Derek Chauvin dan teman-temannya, dan diperlakukan dengan kekerasan.
Sebelum kematian Floyd, warga kulit hitam AS lainnya, Ahamud Arbery, 25, tewas pada 23 Februari lalu setelah ditembak dua pria kulit putih ketika dirinya tengah lari pagi di lingkungan rumahnya di Brunswick, Georgia.
Beberapa pekan setelah kematian Arbery, perempuan kulit hitam bernama Breonna Taylor, teknisi tim medis darurat, tewas akibat tembakan aparat saat merazia tempat tinggalnya Maret lalu. Perempuan 26 tahun itu ditembak saat tertidur di kamar apartemennya saat polisi melakukan razia narkotika.
Kematian Floyd merupakan puncak kemarahan warga AS terhadap kepolisian yang masih saja mempraktikkan rasialisme dengan alibi menegakkan hukum. Tidak mengherankan jika di tengah situasi pandemi dengan korban meninggal akibat covid-19 sekitar 119.158 jiwa, warga AS tidak dapat menahan kemarahan dengan melanggar larangan keluar rumah. Mereka justru mengusung pamflet bertuliskan ‘Racism is Pandemic’.
Sekalipun AS mengklaim diri sebagai negara paling demokratis dan menjunjung tinggi HAM, kenyataannya orang kulit hitam dan berwarna masih saja mendapat perlakuan tidak adil dan label negatif.
Mereka kerap kali dianggap bodoh, dikaitkan dengan peredaran narkoba, akrab dengan dunia kriminal, dan sebagainya. Politik rasialisme menempatkan orang kulit putih sebagai ras lebih tinggi dan hal itu yang hingga kini masih menjadi paradigma di lembaga kepolisian AS.
Ketika paradigma rasialisme berada di tangan mereka yang memiliki kekuasaan hukum, di titik itulah akan ada potensi melahirkan diskriminasi, ketidakadilan, bahkan kekerasan.
Penegakan hukum
Kasus kematian George Floyd bukanlah semata-mata persoalan ideologi rasialisme yang masih terjadi di negara multietnik. Jika dicermati, akar masalah kasus tersebut merupakan fenomena penegakan hukum (law enforcement) yang lazim terjadi di negara mana pun, tak terkecuali di Indonesia.
Belajar dari kasus itu, setidaknya dapat diambil beberapa pelajaran berharga dalam penegakan hukum. Pertama, hukum masih potensial menjadi justifikasi dan instrumen untuk melakukan kekerasan dan mengabaikan rasa kemanusiaan.
Padahal, kekerasan itu sesuatu yang bertentangan dengan tujuan hakiki hukum, yaitu untuk melayani manusia dan bukan sebaliknya. Pada sisi lain, tujuan hukum menurut ajaran utilitarianism jurisprudence Jeremy Bentham ialah memberikan kemanfaatan dan mendatangkan kebahagiaan sebanyak mungkin bagi manusia dengan menghilangkan penderitaan. Penggunaan violence tidak boleh berlebihan, bahkan harus dihindari.
Penggunaan kekerasan kadang tidak terhindarkan dalam penegakan hukum, misalnya ketika polisi sebagai legal officer harus memaksa seseorang pelaku kejahatan menyerah dan mengikuti perintah UU. Namun, penggunaan kekerasan harus dilakukan secara terukur dan profesional, serta tidak disertai sikap arogan, apalagi sikap dan tindakan rasial dalam eksekusinya.
Ketika seorang tersangka atau pelaku kejahatan sudah dapat dikendalikan, tidak lagi berdaya, tidak melakukan perlawanan atau tidak membahayakan petugas, pada titik itulah tindakan dan penggunaan kekerasan harus dihentikan.
Seperti dalam video George Floyd, publik bisa melihat betapa dia sudah tidak berdaya dan minta ampun, tetapi dengan arogan dan brutalnya polisi masih menekan leher dengan lututnya yang mengakibatkan Floyd meregang nyawa. Tindakan brutal itu tidak lepas dari anggapan bahwa yang dihadapi ialah seorang kulit hitam yang dipandang lebih rendah daripada sang polisi yang kulit putih.
Kedua, unfairness dan tindakan diskriminatif masih menjadi patologi dalam penegakan hukum yang terjadi dan sulit ditemukan terapinya. Problematik diskriminasi hukum akibat faktor sosial sudah sejak lebih dari empat dasawarsa lalu diingatkan Donald Black.
Dalam bukunya The Behavior of Law (1976), Black menulis bahwa penegakan hukum dipengaruhi lima faktor, yaitu social stratification (perbedaan vertikal), social morphology (perbedaan horizontal), culture, organization, dan other social control.
Teori Black yang menyatakann ‘downward law is greater than upward law, law is greater toward less culture than toward more culture, law is greater in a direction toward less respectability than toward more respectability’ tak terbantahkan dalam praktik penegakan hukum.
Masyarakat ras minoritas, mereka yang tidak berdaya secara sosial ekonomi, kelompok powerless, dan orang-orang yang kurang berpendidikan sangat rentan menjadi korban diskriminasi, ketidakadilan, termasuk kekejaman aparat hukum.
Sebagaimana pernah dikatakan filsuf Yunani, Anacharsis (600 SM), “The laws is the spider web: they’re only able to capture the weak man, they will be torn into pieces or useless while they face the rich or powerful man.”
Moralitas aparat
Ketiga, ketidakadilan dan diskriminasi dalam penegakan hukum lebih dominan ditentukan faktor aparat penegak hukum. Sebaik apa pun hukum dibuat, ketika berada di tangan penegak hukum yang tidak baik, penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik. Seorang Taverne (sosiolog Belanda) pernah mengatakan, “Beri saya polisi dan jaksa yang baik maka dengan hukum yang kurang baik, saya masih bisa menegakkan hukum dengan baik.”
Kasus kekerasan dan diskriminasi oleh polisi dalam penegakan hukum masih menjadi patologi dalam berhukum di mana pun. Moralitas aparat penegak hukum menjadi kunci kualitas penegakan hukum. Ketika terdapat mentalitas arogansi karena memiliki kewenangan membatasi HAM seseorang, mentalitas rasialis karena yang dihadapi orang beda ras, mentalitas memberikan penderitaan kepada orang yang sudah tidak berdaya, kasus seperti yang dialami Floyd masih saja akan terjadi.
Lesson learned yang dapat dipetik dari kasus Floyd bagi aparat polisi di Indonesia ialah tidak boleh mengedepankan kewenangan atau kekuasaan semata dan sikap arogansi dalam melaksanakan tugas pro justitia. Penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan cara-cara mengabaikan HAM dan nilai-nilai kemanusiaan, apalagi menghilangkan nyawa seorang tersangka hanya karena etnik berbeda.
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved