Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Kita tidak Perlu Menuju Kondisi Normal Lagi

Armida Alisjahbana, Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia & Pasifik (UNESCAP),Inger Andersen, Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP)
16/6/2020 06:00
Kita tidak Perlu Menuju Kondisi Normal Lagi
Ilustrator(MI/TIYOK)

DUNIA sebelum pandemi covid-19 terlihat sangat menarik. Dengan adanya wabah, pengangguran massal, dan pembatasan jarak sosial, maka pilihan untuk kembali ke kondisi normal prapandemi menjadi menarik. Namun, kita harus ingat seperti apa sebetulnya kondisi normal itu.

Kondisi normal memiliki berbagai arti, yakni, pertama digunakannya 85% energi dari bahan bakar fosil dan 7 juta orang meninggal dunia per tahun akibat polusi udara.

Kedua, naiknya suhu global hingga lebih dari 3,5 derajat Celsius pada ­akhir abad ini, dengan negara-negara pulau terancam tenggelam.

Ketiga, adanya 1 dari 8 spesies terancam punah, alam bebas kian menyempit dan tersudut, serta maraknya perdagangan ilegal satwa liar. Kondisi normal berperan dalam menyebabkan pandemi ini.

Kita harus ingat, dampak covid-19 pada kesehatan, pekerjaan, dan ekonomi merupakan dampak parah yang sudah diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim, dan kini terjadi di mana-mana.

Jika tidak benar-benar memperjuangkan kenormalan yang terpulihkan sehingga lebih baik, kita sebenarnya hanya mengobati gejalanya, bukan penyakitnya. Kita harus lebih baik daripada sebelumnya.

Stimulus

Banyak pemerintahan mempersiapkan paket stimulus dan bantuan untuk mendukung pemulihan akibat pandemi covid-19. Triliunan dolar AS akan digelontorkan demi memulihkan kembali ekonomi di Asia dan Pasifik.

Langkah-langkah stimulus ini semestinya membantu kita mencapai kondisi normal yang lebih baik, yakni lebih hijau dan lebih adil. Mengapa? Survei terbaru pada 230 ekonom di 53 negara menunjukkan bahwa langkah-langkah stimulus yang ramah lingkungan ialah pilihan terbaik bagi pemulihan ekonomi. Hal itu karena menawarkan efek pengganda (multiplier effect) ekonomi tertinggi untuk jangka pendek dan jangka panjang.

Bahkan, sebelum pandemi, PBB menyebutkan bahwa aksi iklim dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar US$26 triliun hingga 2030, menciptakan lebih dari 65 juta pekerjaan baru, dan mencegah 700 ribu kematian dini akibat polusi udara.

Pemerintah memiliki beragam pilihan untuk mengeluarkan paket-paket stimulus hijau. Pemerintah dapat menawarkan dukungan kepada industri konstruksi untuk mengembangkan efisiensi energi dan gedung-gedung zero-energy. Hal ini merupakan sektor padat karya, dan investasi dapat dengan cepat dilaksanakan.

Memang menggiurkan untuk meningkatkan pendanaan infrastruktur, seperti untuk pembangunan jalan. Padahal, dana tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk meningkatkan sistem transportasi umum yang lebih ramah lingkung­an. Bertambahnya kapasitas transit publik akan mengurangi beban terhadap jalanan dan mengurangi polusi udara serta emisi.

Lockdown membuktikan bahwa sangatlah mungkin untuk memanfaatkan teknologi informasi (TI) untuk mendesentralisasi operasi bisnis, mengurangi kerugian waktu, dan menekan produksi karbon yang dihasilkan dalam lalu-lalang perjalanan. Pemerintah kini harus mempertimbangkan pemberian insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam solusi TI.

Banyak industri akan mencari dana talang­an untuk bangkit kembali. Saat inilah waktu paling cocok bagi pemerintah untuk memasukkan persyaratan yang mengha­ruskan perusahaan berkontribusi mencapai netralitas iklim.

Maskapai penerbangan yang didukung pemerintah harus lebih berkomitmen dan bertindak nyata untuk mengurangi emisi, yang bagaimanapun merupakan kebutuhan industri itu sendiri dalam menjamin keberlanjutan jangka panjang dan ketersedia­an lapangan kerja bagi jutaan orang.

Para pemerintah telah mencontohkan upaya positif dengan bergantung pada target efisiensi energi dan mengalihkan penerbangan jarak pendek ke kereta api.

Dana talangan industri otomotif dapat diarahkan ke investasi dalam produksi baterai dan kendaraan elektronik, serta efisiensi teknologi dan sebaiknya tidak diberikan kepada sektor berbahan bakar fosil.
 
Pengembangan negara-negara Asia menyerap hampir sepertiga dari subsidi bahan bakar fosil global. Periode pemulihan covid-19 ialah waktu yang tepat untuk mengakhiri subsidi ini, dan memastikan tidak ada investasi baru dalam batu bara.

Penghematan yang diperoleh pemerintah dapat digunakan untuk mendukung investasi di bidang kesehatan masyarakat dan energi terbarukan. Hal ini menjawab pertanyaan dari mana akan diperoleh dana stimulus tersebut.

Prioritas

Di seluruh Asia dan Pasi­fik, pemerintah memiliki keterbatasan sumber keuangan untuk melakukan langkah-langkah pemulihan sesuai skala yang dibutuhkan. Hal ini menegaskan pentingnya untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada harus digunakan bagi kebijakan-kebijakan yang memiliki efek multiflier tertinggi. Ini menyiratkan pentingnya memprioritaskan pencarian sumber pendapatan tambahan lainnya.

Menetapkan harga emisi karbon dan mereformasi subsidi untuk pertanian dan bahan bakar fosil bisa sangat efektif saat harga minyak berada di titik terendah, ketika dampak sosial dari penghapusan subsidi tak terlalu terasa.

Upaya seperti feebates--menetapkan biaya tambahan pada kendaraan berkarbon tinggi dan pemberian potongan harga untuk mobil rendah karbon--mendorong transportasi lebih ramah lingkungan, dan penggunaan energi menjadi lebih efisien memberikan lebih banyak pilihan untuk meningkatkan pendapatan.

Obligasi hijau dapat membiayai efisiensi energi dan proyek energi terbarukan. Di luar Tiongkok, Jepang, dan Republik Korea, obligasi hijau masih jarang diterapkan di Asia Pasifik. Kini waktunya ikut menerapkannya juga demi mendukung pemulihan pandemi covid-19 yang berkelanjutan.

Covid-19 adalah pesan dari alam. Begitu pun dengan krisis iklim. Kondisi normal tidak berjalan dengan baik. Kita perlu membangun kembali dengan lebih baik.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya