Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Adakah Kita di Balik Keraton Agung Sejagat?

Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
18/1/2020 06:10
Adakah Kita di Balik Keraton Agung Sejagat?
(MI/SUSANTO )

KERATON Agung Sejagat. Andaikan mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, sebetulnya ada keunikan yang mereka tampilkan. Bagaimana mereka membangun jati diri, menetapkan cita-cita besar, kemudian merekrut sekian banyak pengikut, sejatinya bisa dijumpai di banyak tempat. Dinas pemerintahan dan aparat penegak hukum pun kiranya tidak dirisaukan pemunculan kelompok semacam itu, andaikan sekali lagi tidak berbuat sesuatu yang melanggar hukum.

Namun, seperti juga berlangsung di tempat-tempat lain, pemunculan kelompok-kelompok dengan penampilan begitu ‘wah’ dan ‘nyentrik’ itu ternyata diam-diam mengandung unsur pidana. Ketika sudah sampai di titik itu, apa boleh buat, saya yang semula memandangnya sebagai ekspresi budaya pun bergeser menjadi perkara hukum yang perlu ditangani dengan tegas aparat penegak hukum. Namun, saya tidak sedang membahas itu.

Menyimak pemberitaan tentang Keraton Agung Sejagat, seketika saya teringat pada tingkah polah dua orang cucu ke­sayangan saya. Sebagaimana anak-anak sebaya mereka lainnya, kedua cucu saya itu sering bermain peran. Banyak lakon yang mereka peragakan. Kadang sebagai pahlawan super semacam Gatotkaca, lain waktu sebagai artis penyanyi. Kadang-kadang sebagai tentara, lalu sesekali menjadi ratu dan raja.

Yang paling seru, menurut saya, ialah saat cucu-cucu kesayang­an itu meniru kakeknya sendiri ketika menghibur anak-anak lain. Impresionis yang menggemaskan.

Bermain peran ialah refleksi daya imajinasi manusia. Memainkan ‘topeng-topeng’ sedemikian rupa merupakan pertanda kreativitas dan  kesehatan jiwa, yakni kemampuan untuk belajar menyelami kehidupan orang lain dan kemudian menjadikannya sebagai salah satu elemen pembentuk kepribadian diri mereka sendiri. Dari situ dapat dipahami bahwa di balik permainan peran, tumbuh semacam kesiapan berempati sekaligus mengidentifikasi diri anak-anak terhadap sosok lain yang mengesankan bagi mereka.

Empati dan identifikasi diri ternyata merupakan salah satu kehebatan spesies manusia. Kemampuan masuk ke kehidupan orang lain, menangkap suasana hati lawan bicara, saya ketahui dari film Walking with Cavemen, dimiliki Homo Ergaster. Ini ialah salah satu spesies manusia purba. Berarti, memerlukan waktu tak sebentar bagi otak manusia agar bisa berkembang sedemikian kompleks supaya muncul keterampilan psikologis semacam demikian itu.

Dengan bermain peran pula, anak-anak memperoleh sebagian acuan moral. Batasan tentang baik dan buruk, boleh dan terlarang, dan sejenisnya secara praktis diadopsi anak-anak.

Namun, sebagaimana kurva normal, bermain peran pun memiliki ambang batas. Melewati ambang itu, berperan sebagai figur lain tak lagi bisa disebut sebagai sehat. Bukan lagi indikasi penyesuaian diri yang baik. Bahkan, menenggelamkan diri dalam peran lain sehingga kehilangan otentisitas pribadi oleh Victor Frankl disebut sebagai masalah eksistensial.

Victor Frankl ialah tokoh psikologi yang mengembangkan logoterapi. Sempat mendekam di dalam kamp konsentrasi Nazi, Frank menyaksikan sendiri dan mempelajari bagaimana manusia-manusia mati dini saat tubuh mereka sejatinya masih bernyawa. Kematian dini itu disebabkan tanggalnya identitas diri sejati (otentisitas) akibat perlakuan Nazi yang kejam dan mendehumanisasi para tawan­annya.

Kembali ke dunia anak-anak. Saya sering bertanya: Hari ini, siapa atau apa peran apa yang sering dimainkan anak-anak kita? Alangkah banyaknya figur-figur yang mereka dapat tiru. Namun, salah satu potret yang cukup mengganggu ialah temuan studi bahwa anak-anak ‘zaman now’ sudah mempraktikkan makian sejak usia dini. Berarti, sejak usia yang masih sangat belia, anak-anak sudah berkesempat­an bermain peran sebagai sosok negatif, seperti pemarah, mudah gusar, 'ceplas-ceplos seenaknya’, dan semacamnya.

Saat masuk sekolah dasar, perbendaharaan caci maki mereka sudah mencapai 30 hingga 40 kata. Pada usia 11-12 tahun, kefasihan mereka dalam melontarkan sumpah serapah, bahkan sudah mencapai tingkat setara orang dewasa. Demikian hasil studi Timothy Jay dan Kristin Janschewitz.

Uniknya, betapa pun secara harfiah kata-kata itu memiliki arti kasar, tapi Jay dan Janschewitz menemukan kata-kata dimaksud tidak selalu digunakan untuk maksud negatif. Dengan kata lain, ada kata-kata kotor yang ternyata dipakai dalam konteks yang positif. Bahkan, sebagai pujian ataupun sebagai pereda ketegangan batin.

Apabila kita ingin mengambinghitamkan televisi sebagai sumbernya, ternyata kita keliru. Jay menegaskan, meningginya frekuensi anak-anak mengucapkan kata-kata kasar ialah akibat dari semakin seringnya orang-orang dewasa di sekitar anak-anak melontarkan kata-kata itu. Ulah agresif secara verbal orang-orang dewasa itu tecermin pada munculnya istilah semacam ujaran kebencian, penghinaan terhadap kepala negara, dan sejenisnya.

Berbeda dengan pandangan ilmuwan-ilmuwan psikologi Barat, saya tetap memandang bahwa kebiasaan mengeluarkan caci maki bukanlah watak yang baik. ‘Maaf, tolong, dan terima kasih’ masih tetap merupakan tiga kata ajaib yang sepatutnya disadari untuk senantiasa diajarkan pada anak-anak oleh para pendidik.

Atas dasar itu, ada kebutuhan yang tak bisa dilupakan pada anak-anak masa kini, yakni kebutuhan akan peran-peran positif sebagai referensi bagi anak-anak, baik refe­rensi perkataan maupun perbuatan. Kebutuhan yang sama saya juga ada pada diri banyak orang dewasa, jiwa-jiwa yang kosong memerlukan isian yang bersumber dari model-model konstruktif.

Jiwa-jiwa yang panas juga meng­idam-idamkan sosok-sosok pembanding yang memiliki nilai tambah. Bahwa, jika sosok itu ditiru, kualitas hidup sang peniru pun akan menjadi lebih baik. Khusus pada kalangan dewasa, model-model semacam itu mungkin diperoleh bila sikap selektif lebih dapat dikedepankan.

Keraton Agung Sejagat boleh jadi merupakan pantulan dari sebuah permainan peran yang keliru itu. Ada orang yang ingin membalik kesulitan hidup menjadi kesenangan hidup dalam waktu secepat-cepatnya.

Lalu bertemulah orang semacam itu dengan orang-orang lain yang di dalam dirinya masih mengendap adanya jejak-jejak infantil (kekanak-kanakan) yang membuat mereka mudah disugesti. Termasuk disugesti untuk memain­kan peran maaf tak rasional sebagai hulubalang dan segala kelengkapan keraton lainnya.

Prototipe

Psikologi meyakini bahwa kehidupan masa kanak-kanak menyediakan prototipe tentang bagaimana manusia menyikapi dunia kelak setelah ia dewasa.

Dari situ ingin saya katakan sisi kriminal dalam kasus Keraton Agung Sejagat perlu ditindaklanjuti kepolisian. Namun, sisi humanisnya, adakah pemunculan Keraton itu dan fenomena serupa lainnya mungkin saja merupakan cerminan kurang tepatnya permainan peran sebagian dari kita dulu pada usia kanak-kanak?

Bila demikian adanya, agenda kita yang cukup mendesak saat ini tak lain ialah menambah perbendaharaan sosok-sosok idola yang patut dikagumi, diteladani, dan diduplikasi anak-anak kita sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kita.

Dengan demikian, diharapkan akan semakin tumbuh subur dan merekah indah aneka warna bunga-bunga elok di taman sari Indonesia di masa depan. Semoga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya