Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kejahatan Luar Biasa terhadap Anak

Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak
11/2/2016 07:50
Kejahatan Luar Biasa terhadap Anak
(Ilustrasi)

DENGAN berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini, tidaklah berlebihan jika Indonesia saat ini berada pada posisi darurat kekerasan terhadap anak. Dari 21.689.987 kasus pelanggaran anak yang dimonitor Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 33 provinsi dan di 202 LPA kabupaten dan kota, 58% dari pelanggaran hak anak yang dimonitori itu didominasi kekerasan seksual. Oleh karena itu, tidak berlebihan pula jika Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) sebagai lembaga independen di bidang promosi, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan anak di Indonesia patut menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk segera bangkit 'perang' memutus mata rantai kekerasan terhadap anak.

Dalam kurun waktu yang sama, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak juga menerima laporan pengaduan pelanggaran hak anak menunjukkan jumlah yang terus meningkat. Pada 2010 menerima pengaduan 2.046 kasus pelanggaran hak anak, 42 % di antaranya kejahatan seksual. Itu meningkat di 2011 menjadi 2.467 kasus, 52% di antaranya kejahatan seksual. Pengaduan kekerasan terhadap anak terus meningkat di 2012, yakni 2.646 kasus, 62 % di antaranya kejahatan seksual. Itu meningkat lagi di 2013 menjadi 3.339 kasus, dengan 54% kembali lagi didominasi kejahatan seksual.

Demikian juga di 2014, jumlah pengaduan terus meningkat tajam menjadi 4.654 kasus, 52% di antaranya kekerasan seksual. Dan di 2015, 59,30% juga didominasi kasus kekerasan seksual, selebihnya (40,70%) kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan, pemerkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, ekonomi, tawuran, dan kasus narkoba. Dari hasil monitoring itu juga dilaporkan, 62% kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan tempat tinggal anak dan sekolah. Selebihnya (38%) terjadi di ruang publik, seperti tempat bermain, panti asuhan atau pondok-pondok, serta pusat perbelanjaan bahkan di ruang terbuka hijau.

Pelaku atau predator kejahatan terhadap anak ialah orang terdekat, seperti guru, bapak/ayah tiri, abang, tetangga, bahkan penjaga sekolah. Sementara itu, sanksi hukum bagi predator kejahatan seksual belum berkeadilan bagi korban. Masih banyak pelaku kejahatan seksual belum dihukum secara maksimal. Bahkan ada juga predator yang nyata-nyata melakukan kejahatan seksual terhadap anak melenggang bebas tanpa ganjaran hukum yang setimpal sesuai dengan perbuatannya. Tayangan-tayangan pornografi dan situs-situs porno anak sangat mudah diakses masyarakat termasuk anak-anak ialah salah satu pemicu terjadinya kejahatan seksual.

Selain budaya permisif keluarga, itu disebabkan makin tergerusnya pengajaran nilai-nilai agama dan hilangnya sikap keteladanan dari orang-orang terdekat seperti orangtua, guru, dan tokoh masyarakat bagi anak-anak sebagai penerus keluarga dan bangsa. Hal yang cukup memprihatinkan kita semua, berbagai kejahatan seksual yang berujung tewasnya korban sering kali diawali dengan tindakan penganiayaan, pemerkosaan, sodomi, dan perbuatan cabul lainnya. Banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum, masih menganggap kejahatan seksual dan bentuk kekerasan terhadap anak berupa perampasan kemerdekaan dan penghilangan paksa terhadap hak hidup anak sebagai kejahatan biasa atau tindak pidana biasa pula.

Padahal, hampir dapat dipastikan bahwa seorang anak yang menjadi korban, sebelum meregang nyawa sia-sia, mengalami penganiayaan dan kekerasan seksual yang sangat keji tanpa dapat membela dirinya. Anak selalu pada posisi yang lemah dan di bawah ancaman, tekanan, serta intimidasi yang amat luar biasa. Oleh karena itulah, kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia kian kerap terjadi tanpa mendapat perlindungan yang maksimal oleh masyarakat, keluarga, pemerintah, dan negara.

Di wilayah hukum DKI Jakarta, misalnya, pada awal Oktober 2015 masyarakat dikejutkan dengan ditemukannya jasad PNF, 9, di dalam kardus di Kalideres, Jakarta Barat, dalam kondisi telah mendapat perlakuan sadis dan keji. Berikutnya muncul kasus AP, 12, anak warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, ditemukan jasadnya di Jasinga Bogor, setelah sebelumnya diperkosa keluarga (paman sendiri), lalu dibunuh dan dibuang di kebun untuk menghilangkan jejak. Lalu, berturut-turut terungkap kasus kekerasan seksual pada lebih dari 15 anak laki-laki di Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang dilakukan seorang guru.

Kasus penghilangan paksa hak hidup anak secara sadis dan biadab juga terjadi di Kabupaten Siak, Riau. Sebanyak 10 anak laki-laki berusia di bawah 12 tahun disodomi lalu dimutilasi. Berikutnya lagi adalah kasus Engeline, 8, di Bali, terpaksa meregang nyawa di tangan ibu angkatnya sendiri. Semua kasus yang diangkat dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari kasus yang terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Lalu pertanyaannya, dari sekian banyak peristiwa penghilangan paksa hak hidup anak yang diurai di atas dan terus mengancam kehidupan anak-anak Indonesia, bukankah sudah seharusnya kejahatan yang sedemikian sadis dan keji harus ditetapkan secara yuridis sebagai kejahatan luar biasa?

Di sinilah diharapkan fungsi tegas dari negara untuk memberi perlindungan yang optimal bagi anak-anak. Pada sisi yang lain, masyarakat didorong untuk meningkatkan kewaspadaan khususnya para orangtua. Demikian juga pemerintah untuk memberikan rasa nyaman bagi anak dengan membangun Gerakan Nasional Perlindungan Anak yang berdasarkan UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Inpres No 5/2015 tentang Gerakan Nasional Antikejahatan Seksual terhadap Anak. Dengan demikian, sesungguhnya inilah saatnya seluruh komponen bangsa bangkit dan menyatukan langkah untuk memutus mata rantai darurat kekerasan terhadap anak.

Sebab, penghilangan hak hidup anak secara paksa dan perampasan kemerdekaan anak yang saat ini terus-menerus terjadi harus mendapat perhatian dari negara.
Dan sekali lagi, pemerintah tidak boleh alpa pada terjadinya kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia. Terkait dengan pemahaman yang demikian itu, Komnas Anak telah menyampaikan gambaran permasalahan mendesak yang dialami anak Indonesia saat ini sekaligus menyampaikan usulan dan meminta arahan dari Presiden RI pada Rabu, 3 Februari 2016, di Istana Negara, agar menetapkan segala bentuk kekerasan terhadap anak, berupa perampasan kemerdekaan anak dan penghilangan paksa hak hidup anak yang disertai kejahatan seksual sebagai kejahatan luar biasa.

Di samping itu, dibutuhkan dukungan politis dan yuridis dari Komisi III DPR untuk memasukkan kejahatan luar biasa ke ketentuan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR. Selanjutnya, mutlak mengikutsertakan peran masyarakat dalam gerakan nasional memutus mata rantai kekerasan terhadapkan anak. Komnas Anak juga memandang perlu mendorong segera dibentuknya Tim Reaksi Cepat (TRC) Perlindungan Anak di seluruh Indonesia yang berbasis gerakan masyarakat dan secara organisasi melekat di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di setiap daerah.

Gagasan ini telah dipresentasikan pada Rapat Kabinet Terbatas pada 20 Januari 2016. Sesungguhnya Komnas Anak sebagai representasi masyarakat khususnya anak-anak yang menjadi korban sangat mengharapkan Kementerian Hukum dan HAM serta Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempercepat disahkannya Perppu Pemberatan Hukum Kebiri melalui suntik kimia bagi predator kejahatan seksual terhadap anak. Hal ini tidak terlepas dari kondisi riil, di saat anak masih terus menjadi korban kejahatan oleh predator yang terus mengintai. Haruskah kita biarkan anak-anak Indonesia menjadi korban dan meregang nyawa sia-sia? Kita sudah berbuat apa?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya