Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
SEKITAR 4 juta orang sebagian besar pelajar di seluruh dunia berdemonstrasi dari Berlin sampai Boston, Kampala sampai Kiribati, dan dari Seoul sampai Sao Paulo, tak ketinggalan Jakarta, Jumat (20/9). Mereka berkampanye memerangi pemanasan global demi memperjuangkan menyelamatkan masa depan generasi muda di Bumi.
Selanjutnya, Pertemuan Puncak Iklim Remaja (Sabtu, 21/9) dan diikuti KTT Aksi Iklim (Senin, 23/9), semua digelar di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Mereka berkumpul menghimpun kekuatan mencegah ancaman kenaikan temperatur di Bumi yang telah menyebabkan kekeringan (krisis air baku), kelaparan (gagal panen), tsunami, banjir, melelehnya es di kutub, serta kenaikan permukaan air laut yang mengancam pulau-pulau tenggelam.
Perubahan iklim telah datang mengancam kehidupan kita dan kota, suka atau tidak, kita harus menghadapinya. Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, perkotaan di Indonesia terdiri atas kota administrasi dan kawasan perkotaan fungsional. Kota administrasi dibagi berdasarkan besarnya jumlah penduduk, yakni kota kecil (kurang dari 500 ribu jiwa), kota sedang (500 ribu-1 juta jiwa), dan kota besar (di atas 1 juta jiwa).
Kawasan perkotaan fungsional terdiri atas kawasan perkotaan dan kawasan metropolitan. Kawasan perkotaan berada dalam suatu kabupaten dan dalam batas administrasi kecamatan. Kawasan metropolitan terdiri atas dua atau lebih daerah administrasi kecamatan, kota/kabupaten, atau provinsi.
Wilayah metropolitan harus memiliki data statistik yang akurat dan terintegrasi sebagai dasar perencanaan kota menyeluruh. Optimalisasi big data layanan perkotaan, seperti tagihan listrik, tagihan air minum, pajak bumi dan bangunan, KTP-E merupakan sumber basis data yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan layanan perkotaan yang terintegrasi, baik secara fisik (infrastuktur kota) maupun sistem (infrastruktur digital).
Persoalan urbanisasi di wilayah perkotaan yang berkembang menjadi metropolitan menjadi lebih kompleks karena lintas wilayah administrasi, terlebih semangat otonomi daerah yang kuat. Penanganan urbanisasi dalam memenuhi layanan perkotaan wilayah metropolitan harus didukung pengelolaan yang terintegrasi dan efektif berdasarkan kepada kebutuhan fungsional optimal suatu kewilayahan yang luas dan saling terkait.
Untuk itu, big data wilayah statistik metropolitan harus dikelola dengan baik dan menjadi basis perencanaan wilayah yang matang untuk membangun kota lestari.
Kedua, kota lestari ialah kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota-wilayah, seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota?
Mengembangkan kota lestari merupakan langkah nyata menghadapi perubahan iklim. Kota lestari mendorong inisiatif dan prakarsa masyarakat perkotaan, berpartisipasi dan bekerja sama dalam melakukan perubahan dan gerakan bersama, menciptakan mekanisme dan reformasi birokrasi dalam pelaksanaan kegiataan penataan kota yang mengakomodasi inisiatif masyarakat secara berkesinambungan.
Sistem perkotaan
Kota lestari selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan telah menetapkan tujuan 11, yakni mewujudkan kota yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Dalam kebijakan perkotaan nasional/KPN (Bappenas, 2019) fokus pembangunan kota meliputi perumahan dan infrastruktur layanan dasar yang layak, aman, dan terjangkau; peningkatan kualitas kawasan kumuh; sistem transportasi yang layak dan terjangkau; urbanisasi yang terintegrasi, inklusif, dan berkelanjutan; keterkaitan kota-desa; mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; pengurangan risiko bencana.
Ada lima misi KPN, yakni mendorong sistem perkotaan nasional yang terpadu, seimbang, menyejahterakan, dan berkeadilan; mewujudkan kota layak huni, inklusif, dan berbudaya; kota yang maju dan menyejahterakan; kota hijau dan tangguh; serta mendorong tata kelola perkotaan yang kolaboratif, transparan, dan akuntabel.
Ketiga, konsep kota lestari harus dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana detail tata ruang (RDTR), rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL), hingga panduan rancang kota (PRK). RDTR harus jadi prasyarat utama dan alat pengendalian pembangunan perkotaan, serta acuan penyusunan rencana investasi perkotaan.
Konsep kota lestari juga harus masuk rencana pembangunan jangka menengah daerah, rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (termasuk skema pembiayaan potensial dan rencana investasi kota lestari), serta program kegiatan rencana kerja perangkat daerah.
Keempat, pembangunan kota lestari harus mengarah kepada peremajaan/regenerasi kawasan pusat-pusat kota berbasis pergerakan manusia dan terintegrasi dengan transportasi massal. Pengembangan kawasan TOC mempertimbangkan tujuan, jarak, rancangan, kepadatan, keberagaman, serta mengelola kebutuhan.
Kawasan TOC dilengkapi hunian vertikal (apartemen, flat, rumah susun), sekolah (dan pelatihan keterampilan), pasar rakyat (dan pasar daring), perkantoran (kantor virtual, ruang kerja bersama, ekonomi kreatif), dan RTH (taman, kebun pangan, lapangan olahraga, hutan kota, taman permakaman). Kawasan dilengkapi jaringan pipa air bersih, instalasi pengolahan air limbah komunal, pemanfaatan energi terbarukan, pengolahan sampah ramah lingkungan.
Kelima, warga dibiasakan berjalan kaki (trotoar lebar, bebas PKL) atau bersepeda (infrastruktur sepeda: rambu, markah, jalur, parkir, bengkel, ruang ganti, sepeda sewa) ke sekolah, pasar, kantor, tempat ibadah, taman, halte, atau stasiun terdekat. Kawasan menyediakan angkutan internal ramah lingkungan, gedung parkir komunal untuk warga penghuni dan tamu/penumpang transportasi massal. Pembatasan kendaraan bermotor dalam kawasan bertujuan menekan emisi karbon, polusi udara, serta kecelakaan lalu lintas.
Standar layanan moda pengumpan yang terintegrasi dengan transportasi massal melalui satu simpul, perpindahan moda dalam satu perjalanan maksimal tiga kali, waktu perjalanan dari asal ke tujuan maksimal 2,5 jam, akses jalan kaki menuju angkutan umum maksimal 500 meter, serta trotoar dan kantong parkir di terminal/stasiun. Penerapan jalan berbayar elektronik di jalan protokol, perluasan kebijakan ganjil-genap, dan parkir elektronik progresif. Membangun kota lestari merupakan keharusan sebagai aksi nyata menghadapi perubahan iklim.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved