Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
DEBAT calon presiden RI putaran ketiga kembali digelar nanti malam (30/3). Tema yang akan dibahas seputar ideologi, pemerintahan, keamanan, dan hubungan internasional. Debat akan dilaksanakan selama dua jam dan dibagi enam segmen.
Pada segmen pertama, para calon presiden (capres) akan memaparkan visi, misi, serta program yang berkaitan dengan tema debat. Segmen kedua dan ketiga akan dilanjutkan dengan pendalaman visi, misi, dan program para calon presiden. Sementara itu, segmen keempat dan kelima akan digunakan para calon presiden untuk saling bertanya. Segmen keenam berisikan pernyataan penutup tiap-tiap capres.
Apakah setelah menyimak debat akan ada gelombang perpindahan pilihan? Hampir dapat dipastikan debat kecil sekali pengaruhnya terhadap pergeseran pemilih. Bahkan, debat semakin mengukuhkan pemilih terhadap pilihannya masing-masing. Debat sebagai rongga konfirmasi bahwa calon yang akan dipilihnya memang layak memimpin negeri kepulauan lima tahun ke depan.
Mengacu kepada debat-debat sebelumnya, baik capres ataupun cawapres, yang paling gempita justru perebutan tafsir dari tiap-tiap pendukungnya. Benar sebuah meme yang kerap kita baca; 'dua kalangan yang susah diberi masukan: orang yang sedang jatuh cinta dan pendukung capres'. Pilpres 2019 yang hanya menyorong dua calon nyaris menjelma 'agama'. Menyisakan dua pengikutinya berhadapan dengan karakteristiknya yang fanatik dan puritan. Lengkap dengan sebutan pejoratif yang dianggit dari dunia satwa, cebong dan kampret.
Akal nalar memilih
Bagi saya, karena ada dua capres, memilih kali ini sangat mudah. Keduanya begitu kontras. Kalau saya disuruh memilih antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) tentu akan mengalami kesulitan. Seperti peliknya dihadapkan pada pilihan antara Yuni Sara dan Luna Maya.
Tentang memilih capres 2019, mudah sekali. Tinggal bikin tabel. Buat daftar catatan tentang keduanya, termasuk cawapresnya yang merentang mulai soal prestasi, pengalaman birokrasi, riwayat masa silam, jejak pendidikan, kepribadian, dan kalau perlu profil keluarga. Sesederhana itu sebenarnya.
Kemungkinan besar cara seperti ini yang banyak dilakukan khalayak sehingga petahana dalam banyak survei masih menempati posisi tinggi. Kita lihat enam lembaga survei dalam rentang terakhir; Pertama, Saiful Mujani Research and Consulting: bahwa elektabilitas Jokowi-Amin 57,6%, sedangkan Prabowo-Sandiaga 31,8%; kedua, Lingkaran Survei Indonesia atau LSI Denny JA pada 18-25 Februari 2019 menunjukkan elektabilitas pasangan Jokowi–Amin 58,7%, sedangkan Prabowo-Sandiaga 30,9%.
Ketiga, Indo Barometer mencatat Jokowi-Amin unggul dengan angka 50,2%, sedangan Prabowo-Sandiaga 28,9%, selisihnya 21%.
Keempat, Polmark Indonesia menemukan agregat elektabilitas capres dan cawapres di 73 daerah pemilihan, pasangan Jokowi-Amin 40,4% dan pasangan Prabowo-Sandiaga 25,8%. Kelima, Litbang Kompas mencatat selisih elektabilitas Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Amin sebesar 11,8% dengan perincian elektabilitas Prabowo-Sandiaga 37,4% dan Jokowi-Amin 49,2%. Sementara itu, yang menyatakan rahasia ada 13,4%.
Keenam, CSIS tidak berbeda dengan Litbang Kompas. Dalam survei CSIS, elektabilitas Jokowi-Amin 51,4% dan 33,3% buat Prabowo-Sandiaga, sedangkan 15,3% tidak menjawab atau belum menentukan pilihan.
Surplus hoaks
Pemilihan itu menjadi kompleks karena akal sehat semakin terpinggirkan dan kebohongan merajalela. Hoaks surplus dan pikiran defisit. Lebih rumit lagi tatkala isu SARA mengambil alih kita dalam menakar calon pemimpin. Politik SARA yang semestinya sudah selesai, tiba-tiba menjadi ramai diperbincangkan dan dipabrikasi kepentingan tertentu untuk tujuan elektoral. Kesuksesan pemilihan Gubernur Jakarta yang sepenuhnya diacukan pada sentimentalisme SARA hendak diterapkan pada aras politik nasional.
Cara-cara seperti itu sebenarnya bukan sebagai gejala nasional, melainkan menjadi fenomena global. Populisme menjadi alarm yang menengarai kebangkitan politik ekslusif seperti ini. Kemenangan Donald Trump di pilpres Amerika Serikat yang berani terang-terangan menghina kelompok minoritas dan perempuan, Marine Le Pen, Geert Wilders, Iktor Orban, Jaroslaw Kaczynski, Robert Fico, Norbet Hoffer, dan konseptor Brexit Nigel Farage, ialah beberapa gambaran populisme ini.
Dalam konteks keindonesian, populisme itu sering kawin dengan islamisme, sebut saja populisme kanan. Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI) ialah jejak awal yang bisa menjelaskan populisme kanan di Indonesia. Teriakan bela Islam atau tema demo berjilid-jilid di Monas nyaris beririsan dengan jargon make America great again, make Mexico pays.
Tentu saja kebangkitan populisme faktornya tidak tunggal, bukan hanya karena persoalan keagamaan dan pertentangan kultural (cultural backlash), melainkan juga kesenjangan dan kerentanan ekonomi (economic insecurity). Bahkan, Fareed Zakaria menyebut migrasi internasional sebagai salah satu faktor menguatnya populisme.
Di Jepang dan Korea, isu populisme tidak popular di samping karena mereka sudah selesai dengan politik SARA, rakyatnya sejahtera, juga tidak mengalami migrasi internasional. Vedi R Hadiz dan Richard Robison dalam Competing populism in post-authoritarian Indonesia (2017) mencatat munculnya pemimpin populis di Indonesia sebagai protes atas ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang tidak diselesaikan pada dekade demokrasi desentralisasi.
Pabrikasi SARA dan kemunculan populisme kanan itu tidak bisa dilepaskan dari media sosial. Dunia digital semakin mempercepat kekuatan politik ini. Khotbah berjubahkan politik yang diviralkan, pelintiran kebencian, narasi ekslusivisme, meme, video pendek, menjadi mimbar populisme kanan disuarakan dengan kencang, seperti kajian terakhir Paul D Kenny (2018) dalam Populism in Southeast Asia.
Ideologi Pancasila
Dalam debat nanti malam menarik karena tema utama yang hendak dibedah ialah persoalan ideologi. Tentu dalam aras keindonesiaan ihwal ideologi ini telah selesai dengan dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal. Namun, harus diakui pascareformasi, setelah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetya Pancakarsa dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) dibubarkan, ada ruang publik kosong yang kemudian dimanfaatkan sebagian pihak untuk mempromosikan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam hal ini Joko Widodo punya peran besar kembali menghadirkan negara kaitannya dengan ideologi minimal melalui tiga keputusan, pertama, menetapkan kelahiran Pancasila pada 1 Juni sebagai hari libur nasional melalui Keppres No 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila; kedua, Perpres No 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang diteken pada 28 Februari 2018. Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Anti-Pancasila.
Tentu saja, Pancasila agar semakin sakti harus terlibatkan di dalamnya tiga unsur utama secara serentak; keyakinan, pengetahuan, dan keteladanan. BPIP menatingnya dalam lima isu utama kaitannya dengan Pancasila: pemahaman, inklusi sosial, kesenjangan, kelembagaan, dan keteladanan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved