Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
POLITISASI agama yang menguat menjelang Pemilu 2019 ini telah dimanfaatkan tokoh politik tertentu untuk memobilisasi populisme Islam di Indonesia. Gejala ini setidaknya telah ditanggapi dua ilmuwan sosial terkemuka, yaitu Vedi R Hadiz dan Robert W Hefner.
Hadiz berpandangan bahwa populisme Islam itu tidak akan membesar karena sistem politik oligarki, sedangkan Hefner lebih optimistis dengan mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia masih akan berlangsung karena adanya masyarakat sipil dari gerakan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan.
Populisme Islam tampak sedang menambang politik keagamaan yang semakin mengeras belakangan ini. Praktik politisasi ini tidak bisa dilepaskan dari politik keagamaan sebelumnya, sebagaimana yang dimainkan kelompok keagamaan dominan yang mendapatkan angina pada era Orde Baru, bahkan legitimasi untuk menghakimi perbedaan, terlebih terhadap yang dianggap kafir. Hal itu juga tidak terlepas dari penggunaan dalih dari otoritas negara yang melarang komunisme.
Dengan melihat kembali artikel lama yang ditulis Hefner (1987), mengenai hubungan antara agama dan politik di perdesaan Jawa Timur yang menekankan pada masalah menguatnya kelompok keagamaan dominan yang mendapatkan angin dari pemerintah setelah peristiwa 1965, setidaknya diketahui bagaimana politisasi keagamaan terjadi.
Penggunaan dalih 1965 secara luas di dalam kehidupan keagamaan hingga sekarang, telah menjalinkan hubungan mapan antara politik antikomunisme yang dipelihara negara dan praktik politisasi keagamaan yang dimainkan kelompok keagamaan dominan, terutama yang memerankan politik modernisasi keagamaan. Jalinan ini digunakan untuk melakukan praktik-praktik keagamaan yang bersifat intervensif, yang melanggar batas-batas etika serta budaya suatu masyarakat sehingga menumbuhkan sifat otoritarianisme.
Praktik semacam ini tidak bisa lagi dianggap lumrah di era demokrasi sekarang, apalagi setelah lebih dari setengah abad terakhir ini telah terjadi dua kerusakan mendalam. Pertama, purifikasi ritual sebagaimana dijelaskan Beatty (1999) dan Boogert (2017) yang merusak esensinya sehingga ritual tidak lagi bermakna. Schweizer (2007) menjelaskan bahwa ritual itu berfungsi untuk menyelarasakan perbedaan orientasi keagamaan yang beragam di tingkat komunitas serta strata sosial yang semakin terpolarisasi karena pembangunan.
Kedua, konversi agama yang mencerminkan penindasan, antara lain yang disebutkan Mutaqin (2014). Intervensi ganda antara penggunaan dalih 1965 dan politik modernisasi keagamaan telah melahirkan ancaman kepada para penghayat yang dianggap menyekutukan Tuhan sehingga terpaksa melakukan konversi agama demi keamanan.
Belakangan, terlihat kegembiraan dalam kebebasan mencantumkan keyakinan pada KTP sesudah kemenangan gugatan terhadap Pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, mencerminkan lepasnya perasaan tertindas yang tidak terungkap selama ini.
Tirtosudarmo (2018) mengungkapkan suasana kebatinan warga yang tertekan itu dalam istilah kelompok marginal. Suatu istilah yang bisa dimaknai sebagai korban politik penggunaan dalih 1965, yang berimplikasi pada pembentukan relasi keagamaan yang timpang dalam suasana dominasi-subordinasi di berbagai level baik warga maupun hubungannya dengan negara. Relasi itu menggambarkan sisi lain dari kehidupan keagamaan selama ini yang dikarakteristikkan dengan otoritarianisme.
Pengaturan
Kecenderungan itu bukan hanya mengakibatkan kerusakan mendalam sebagaimana yang telah disebutkan, melainkan juga mengguncang harmoni sosial di akar rumput. Ketegangan sosial akibat perbedaan orientasi keagamaan yang beragam serta strata sosial yang terpolarisasi semakin sulit dikendalikan karena nilai-nilai sosial, seperti dalam budaya Jawa misalnya, ikhlas, andap asor, sabar, nerima, prihatin, petungan, terasa semakin menjauh dari etika yang melandasi tradisi yang menjaga harmoni sosial itu.
Pemerintah sekarang atau siapa pun yang terpilih nanti, seharusnya tidak membiarkan hal ini berlangsung lebih lama. Diperlukan pengaturan untuk mencegah kemungkinan konflik keagamaan secara horizontal karena dipicu kecenderungan populisme Islam. Tiga hal yang perlu dipikirkan, pertama, diperlukan pengaturan redistribusi sumber daya negara untuk membagi peran kelembagaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki orientasi keagamaan yang berbeda-beda.
Hal itu bertujuan mencairkan relasi dominasi-subordinasi yang otoriter karena angin yang bertiup satu arah pada kelompok keagamaan dominan.
Kedua, diperlukan pengaturan yang bisa dijadikan sebagai landasan untuk membangun etika kewarganegaraan yang menanamkan imajinasi bersama tentang keindonesiaan. Setiap warga negara harus mendaptakan ruang sebagai subjek keindonesiaan, bukan objek subordinasi dari subjek dominasi yang lain, melainkan identitas yang ekspresi keagamannya dijamin melalui konstitusi untuk mewujudkan kebinekaan.
Ketiga, diperlukan pengaturan untuk menjunjung tinggi supremasi hukum terhadap kejahatan kemanusiaan dan genosida masa lalu melalui penegakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Hal itu bukan hanya untuk mengendalikan politisasi liar baik yang terkait dengan penggunaan dalih 1965 maupun agama, lebih mendasar dari itu ialah untuk mengerjakan trauma masa lalu, memutus mata rantai kekerasan, menegakkan keadilan, menghargai perasaan bangsa yang seharusnya malu, serta membuka jalan bagi generasi muda untuk memulai suatu peradaban baru.
tiser
Pemerintah sekarang atau siapa pun yang terpilih nanti, seharusnya tidak membiarkan hal ini berlangsung lebih lama. Diperlukan pengaturan untuk mencegah kemungkinan konflik keagamaan secara horizontal karena dipicu kecenderungan populisme Islam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved