Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
TIAP-TIAP perjumpaan pasti meninggalkan 'pesan'. Sastrawan peraih Hadiah Nobel asal Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, mengungkapkan itu beberapa dasawarsa lalu. Pernyataan Marquez itu saya rasakan akhir pekan lalu, saat berjumpa seorang kawan baru.
Namun, 'pesan' yang saya terima dari perjumpaan seperti yang dinubuatkan begawan sastra itu terasa pahit di akhir pertemuan. Sebelum berpisah, kawan baru itu berkata, "Mas, saya suka sedih melihat kerja wartawan, banyak yang tidak sopan. Tidak peduli perasaan orang yang sedang kesusahan."
Sebuah perpisahan yang tidak biasa bagi saya. Ucapannya di teras kedai kopi di kawasan Kemang, tempat kami bertemu, malam itu, membebani pikiran saya sepanjang perjalanan pulang. Entah apa yang membuatnya menyampaikan pernyataan demikian. Yang pasti saya merasakan ada nuansa gugatan terhadap kinerja para pewarta.
Memang harus diakui sudah berulang kali kritik muncul dari berbagai kalangan yang dialamatkan kepada wartawan baik cetak maupun elektronik. Itu termasuk menggugat cara kerja para juru kamera dan pewarta foto. Banyak juga yang menuding para jurnalis telah mengeksploitasi kesedihan dan penderitaan keluarga yang dirundung duka.
Liputan peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 di perairan Selat Karimata pada Minggu (28/12/2014), misalnya, menjadi salah satu ukuran betapa miskinnya empati sebagian wartawan. Tak sedikit di antara mereka yang menyayatkan luka dan trauma mendalam bagi keluarga terdampak musibah. Ujung-ujungnya menyisakan dendam dan antipati pada awak media.
Penayangan secara serampangan proses evakuasi korban yang ditemukan mengambang di lautan menjadi contoh nyata. Tayangan salah satu televisi berita itu bahkan membuat pingsan keluarga korban yang tengah dilanda kecemasan luar biasa. Atas nama eksklusivitas, batas-batas kepatutan diterabas, hingga menerobos celah privat demi patuh pada slogan 'Terdepan Mengabarkan'.
Halaman-halaman koran pun demikian. Ekspresi penderitaan dan kesedihan digelar lebar-lebar mendominasi perwajahan surat kabar. Sepertinya hanya ekspresi yang menjadi elemen fotografi, gesture dinegasikan, atmosfer diabaikan. Padahal, menampilkan potret kenestapaan melebihi takaran akan memunculkan gambaran yang menyiksa perasaan. Fotografer dan editornya seolah kompak melupakan kodrat utama produk jurnalistik pada umumnya yang tidak hanya sebagai penyaksi, tetapi juga mampu menghibur, mengedukasi, dan memengaruhi.
Dalam kadar yang hampir sama, publik juga sering mempersoalkan kesantunan para pemburu visual ketika mengejar subjek mereka pada acara keagamaan. Prosesi keagamaan yang semestinya dilaksanakan secara khusyuk dan khidmat acap tercederai oleh minimnya etika para fotografer. Baik jurnalis foto ataupun pehobi fotografi kadang melupakan etika hingga mengganggu kekhusyukan ibadah demi mendapatkan visual yang ideal.
Majalnya nurani dan rendahnya profesionalisme sebagian pemburu fakta itulah yang telah menorehkan lebam-lebam di wajah jurnalisme Indonesia. Hantaman dan cercaan dari publik di linimasa sebagai wujud kekecewaan pada ulah pewarta yang menjadikan penderitaan dan kemalangan sebagai ladang liputan yang mengasyikkan pun kian membuat 'wajah' jurnalisme babak belur.
Bukan hanya melalui media sosial, publik yang kecewa pada penggerus kewibawaan pers Indonesia itu juga melaporkannya ke Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Publik meyakini bahwa jurnalis yang peka dan memiliki empati pasti tidak akan melukai banyak orang dengan karya mereka dan tidak mengacak-acak ruang privat, apalagi mengeksploitasinya demi eksklusivitas berita.
Ke mana barisan wartawan melangkah sebenarnya telah diatur dalam rambu-rambu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di antaranya Pasal 2 yang menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Salah satu penafsiran dari pasal tersebut ialah menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara. Setidaknya pedoman itu yang harus menjadi pegangan.
Jurnalis yang baik wajib mempunyai empati, kepekaan, dan ketajaman sensitivitas dalam melihat beragam persoalan. Selayaknya mereka tidak sekadar memberitakan, tetapi tak lupa juga memberikan harapan serta menawarkan obat mujarab bagi yang mengalami kemalangan.
Peran itulah yang niscaya disadari para jurnalis. Sejatinya seorang wartawan tidak boleh bekerja di ruang-ruang hampa, mewartakan fakta tanpa memedulikan hakikat kemanusiaan. Ia harus menjejak bumi, menggauli keluh kesah, bergelut dengan kegetiran, sekaligus kegembiraan.
Musibah dan bencana pasti memberi dampak memilukan. Namun, yang tak kalah memilukan ialah hilangnya kepedulian dan empati dari pewarta demi eksklusivitas berita.(Hariyanto)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved