Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menampar wajah wartawan seusai diperiksa sebagai tersangka di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (3/10/2013).
MASA lalu itu ibarat huruf mati dalam kata. Jika hilang, ia tetap bisa dibaca, tapi tak lagi punya makna. Confucius pernah bilang, "Pelajarilah masa lalu jika ingin meramal masa depan." Bagi saya, mengulik kembali jejak masa silam, selain menyenangkan, juga menjadi pelajaran agar kesalahan tak lagi terulang.
Menjenguk masa lalu selalu saya lakukan setiap pulang ke kampung halaman. Melihat kembali manuskrip perjalanan hidup dalam tumpukan album foto dan buku-buku yang telah usang dan berdebu. Menikmati foto-foto lama, terutama saat SMA, yang membuat saya tak kuasa menahan tawa. Membaca lagi puisi-puisi rayuan picisan yang menggelikan.
Salah satu penggalan puisi picisan itu... /Tiga minggu sudah berlalu/Aku ingin jawabanmu/Tapi kau hanya berikan senyummu setiap bertemu/Sampai kapan pun aku tetap menunggu/Sampai aku yakin kau menjadi milikku/Karena senyum belumlah cukup untukku.../ Sukoanyar, Lamongan 03021990.
Sejenak saya tertawa ngakak, lalu mencoba mengingat masa kelas 3 SMA itu. Kala kegigihan menunggu membuahkan hasil sesuai harapan. Meskipun kini, setelah 25 tahun berlalu, terasa menggelikan, setidaknya itu merupakan pencapaian maksimal dari kegigihan. Tak lelah menunggu, sampai mendapatkan kepastian apa yang kita harapkan.
Bagi saya, kegigihan ialah kunci penting keberhasilan. Tidak saja dalam hal romansa, tetapi juga di dunia kerja. Termasuk bekerja sebagai pewarta foto. Sebuah profesi yang galibnya dilakoni oleh orang-orang yang militan, kukuh menerjang gelombang, pantang pulang sebelum membawa kepastian. Profesi untuk mereka yang tak pernah lelah menunggu.
Menunggu ialah bagian integral dalam hari-hari para pewarta foto. Sebelum memotret, yang hanya dalam hitungan detik hingga menit, para jurnalis kerap harus menunggu berjam-jam hingga berhari-hari. Kadang apa yang ditunggu sesuai harapan, tetapi tak jarang menimbulkan kekecewaan.
Tengoklah peristiwa seusai pemeriksaan tersangka di KPK, Bareskrim Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung. Sebelum kita berjibaku, berebut momen terbaik dari tersangka seusai diperiksa, kita harus menunggu berjam-jam sembari mencari kepastian. Hal itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan ketika zaman Orde Baru. Saat itu, selain menunggu hingga hitungan hari, kita juga harus 'kucing-kucingan' dengan petugas untuk dapat memotret tersangka korupsi di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.
Menunggu, tentu saja tidak hanya saat meliput pemeriksaan tersangka di institusi penegak hukum. Ketangguhan seorang pewarta foto juga diuji di ranah liputan lain. Selama ini hanya peristiwa olahraga dan di panggung hiburan yang waktunya mendekati kepastian. Selebihnya, meski sudah terjadwal, banyak juga yang diundur atau batal.
Saya pun acap kali mengalami lamanya menunggu objek liputan. Yang paling lama ketika meliput perburuan paus secara tradisional oleh nelayan Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur, beberapa tahun silam. Selama seminggu menunggu, paus yang ditunggu tak muncul di Laut Sawu. Sambil menunggu, waktu seminggu saya gunakan untuk meliput aktivitas lain warga di desa yang belum teraliri listrik itu. Hasilnya, saya membawa oleh-oleh liputan yang beragam, di antaranya perburuan lumba-lumba dan kehidupan sehari-hari warga Lamalera.
Menunggu memang kerap membuat kita jenuh. Akan tetapi, ingatlah, menunggu adalah salah satu langkah untuk menghasilkan karya yang bermutu. Menunggu adalah bagian dari perjuangan. Ia selaras dengan kesabaran. Maka, benar kata Rendra, 'Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata'. Mari kita kukuh menunggu. (Hariyanto)