Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Masa Depan Investasi Maritim

Yonvitner Kepala Pusat Studi Bencana LPPM IPB
02/1/2019 03:45
Masa Depan Investasi Maritim
(MI/Duta)

RAMALAN Pricewaterhousecooper bahwa Indonesia menjadi negara ekonomi maju ke-4 pada 2050, bisa dicapai dengan syarat ekonomi maritim dibangun atas dasar data kebencanaan yang baik.

Kejadian tsunami di Selat Sunda memorak-porandakan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Gerakan gelombang yang relatif kencang dan memiliki kekuatan dorongan energi yang besar serta banyaknya korban jiwa menandakan bahwa ini kejadian luar biasa.

Biasanya kalau gelombang pasang tanpa dorong energi yang kuat, pergerakan naiknya relatif perlahan dan bisa cepat diantisipasi. Namun, hantaman gelombang pada panggung konser band Seventeen menunjukkan adanya energi yang tersimpan dalam rambatan pasang tersebut.

Rumusan sementara penyebab bencana, yaitu longsoran dari gunung anak Krakatau yang kemudian menjadi pembangkit tsunami. Sudah dapat dipastikan daerah pesisir menjadi daerah yang paling awal terkena dampak gelombang besar tersebut ialah kawasan pesisir.

Dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan (85 hari) ada 3 kejadian bencana besar menghantam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Lombok, Palu, dan Pesisir Banten serta Lampung.  Kejadian itu menjadi pertanda bahwa kawasan pesisir kita sangat rentan bencana.

Masyarakat kita bisa dengan mudah menerima kenyataan bahwa bencana ialah bagian dari takdir dan perjalanan hidup seseorang. Belum tentu demikian halnya dengan masyarakat atau investor asing yang terbiasa hidup dengan data dan informasi yang terukur. Data-data menjadi penting bagi mereka untuk mengambil dan membuat keputusan strategis dalam investasi di sektor maritim Indonesia. Dalam kondisi seperti ini tidak mudah bagi Indonesia untuk mendorong investasi maritim.

Investasi kebencanaan
Kerugian akibat bencana di Lombok yang diperkirakan mencapai Rp7 triliun lebih, Palu sekitar Rp15,29 triliun menjadi refleksi bagi kita dalam merencanakan investasi sektor kemaritiman. Belum lagi kerugian jangka panjang, yaitu jatuhnya ekonomi masyarakat akibat kerusakan pada aktivitas penggerak ekonomi. Kerusakan infrastruktur dan prasarana wisata di Lombok dan Palu turut serta memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.  

Pada sisi investor, kemudian muncul kegamangan berinvestasi melihat tingginya risiko dan besarnya biaya yang akan ditanamkan di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Karena dalam praktiknya di Indonesia, kebencanaan belum menjadi bagian dari perencanaan terpadu pembangunan, tapi baru sebagai data pendukung. Akibatnya jaminan investasi dan perlindungan sangat minim yang kemudian menyebabkan ekonomi maritim lambat tumbuh.    

Tren pertumbuhan ekonomi kelautan 3 tahun terakhir relatif stabil dengan kontribusi di bawah 10%, bahkan mungkin bisa terdistorsi. Untuk proporsi kontribusi sektor migas dan pengilangan minyak masih dominan dibandingkan perikanan, garam, industri pengolahan hasil laut, industri kapal, bangunan pelabuhan, angkutan laut, angkutan sungai dan danau, serta hiburan dan rekreasi laut. Dengan kondisi normal kontribusi dapat dipacu dengan kebijakan yang atraktif semisal pajak dan regulasi lainnya.

Hanya, keadaan ini akan terdistorsi ketika variabel bencana dimasukkan dalam pencapaian target ekonomi kelautan. Dengan kondisi bangsa Indonesia yang kerap mengalami bencana seperti yang terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda, mau tidak mau, investasi kelautan di pesisir dan pulau kecil harus berbasis bencana.

Momentum otonomi
UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa kelembagaan pengelolaan bencana dilakukan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam praktiknya, kelembagaan ini relatif umum bergerak pada tataran teknis kebencanaan. Sementara itu, pada Pasal 35 pada UU tersebut tugas besar pengelolaan bencana juga mencakup perencanaan, pencegahan, penguatan kapasitas sumber daya manusia, dan hal teknis lainnya.  

Itu menjadi sebuah beban dan tugas yang tidak seimbang jika dilihat dengan kemampuan sebuah badan. Dalam era otonomi daerah, penguatan kebencanaan dalam pengembangunan bisa dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu 1) penguatan data dalam sistem big data centre, 2) sinergi dan afirmasi kebijakan, dan 3) literasi penguatan kapasitas masyarakat.

Pertama, dalam hal pengelolaan data dan informasi kebencanaan menjadi vital bagi perencanaan di pesisir dan laut. Kuantitas dan kualitas data untuk manajemen bencana secara baik harus berbasis data terintegrasi dalam satu sistem big data A kebencanaan sehingga prediksi bencana dan proyeksi potensi bencana (hazard) dapat terkelola secara terintegrasi dan tindakan mitigasi dalam satu komando.  

Dengan demikian, para investor dapat melihat potensi risiko secara real time di daerah potensial investasi. Kesuksesan dalam investasi maritim akan sangat ditentukan kelengkapan dan keakuratan data serta informasi kebencanaan.  

Kedua, dengan momentum otonomi daerah bisa jadi entry point penguatan perencanaan kebencanaan dalam pembangunan. Karena perencanaan yang dibangun BNPB sering kali berbenturan dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan UU No 27 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Laut yang kadang kala sangat locality.  

Sinergi implementasi UU No 24 Tahun 2007 perencanaan tata ruang dan zonasi mutlak harus dilakukan. Karena pembangunan yang hanya memikirkan ekonomi, konservasi dan pemanfaatan tanpa memperhatikan risiko akan sia-sia seperti yang sudah terjadi. Untuk itu, sinergi kebijakan kebencanaan dalam panataan ruang dan zonasi pesisir laut dan pulau kecil harus padu.

Ketiga, yang tidak kalah pentingnya, yaitu literasi bencana di kawasan pesisir dan lautan. Ke depan, proyek pembangunan yang mengintegrasikan data kebencanaan harus menjadi pertimbangan dalam pembangunan, tidak lagi yang hanya berbiaya murah.

Akibat persepsi biaya murah ini kita lengah dengan kualitas sehingga setiap pembangunan gedung, perumahan, jembatan, dan jalan, tidak mampu bertahan ketika terjadi bencana. Belum lagi dampak ekonomi yang merenggut mata rantai kehidupan masyarakat. Untuk itu, literasi bencana menjadi penting agar pembangunan di Indonesia lebih baik dan berkualitas.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya