Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kurawa Punah

Ono Sarwono
22/12/2018 23:40
Kurawa Punah
()

SEJAK menguasai Negara Astina, Prabu Duryudana membuat target utama pemerintahannya, yakni memusnahkan Pandawa hingga akar-akarnya. Menurutnya, jika saudara-saudara sepupunya itu tidak punah dari muka bumi, Kurawa tidak akan nikmat dan abadi menggenggam kekuasaan Astina.

Untuk memuluskan target tersebut, Duryudana menganggarkan dana tidak terhingga. Ia tunjuk sang paman yang juga patih Astina, Sengkuni, sebagai pemimpin proyek. Perintahnya, lebih cepat lebih baik.

Tekad Duryudana itu sebenarnya merupakan legalitas negara dari saran dan masukan Sengkuni. Satru utama yang bisa menggoyahkan kekuasaan Kurawa bukan dari seberang, melainkan dari dalam, Pandawa. Maka dari itu, untuk mempertahakannya, tidak ada pilihan lain selain melenyapkan Pandawa.


Bernafsu menghabisi

Sebenarnya, jauh sebelum Duryudana merampas kekuasaan, mereka sudah berupaya memusnahkan Pandawa. Nafsu kiri itu muncul sejak mereka diperkenalkan tentang lezatnya kekuasaan oleh sang paman, Sengkuni. Untuk bisa berkuasa, jalannya mesti melenyapkan Pandawa.

Langkah gila Kurawa paling awal ketika digelar ujian siswa Padepokan Sokalima yang diasuh Bambang Kumbayana alias Durna. Ini medan adu ilmu dan kepinteran menggunakan senjata antara Kurawa dan Pandawa.   

Sehari sebelum acara itu digelar, Sengkuni mengumpulkan seluruh anggota keluarga Kurawa yang berjumlah 100 orang di pendapa kepatihan. Ia perintahkan agar Kurawa tidak ragu atau tanggung menggunakan senjata guna menghabisi Pandawa. Ini misi rahasia, tidak boleh ada pihak lain yang boleh tahu, termasuk ayahnya Kurawa, Drestarastra.

Maka dari itu, ketika ujian digelar, Kurawa serius mengayunkan pedang, melempar tombak, melepas anak panah yang diarahkan kepada Pandawa (Puntadewa, Bratasena, Permadi, Pinten, dan Tangsen). Durna sebagai guru, terkejut dan terkaget-kaget dengan keberingasan Kurawa menyerang Pandawa.

Pandawa tanggap terjadi sesuatu di luar dugaan. Bratasena lalu meminta keempat saudaranya untuk menyingkir dan kemudian ia sendiri maladeni serbuan Kurawa yang membabi buta. Seperti banteng ketaton (terluka), Bratasena menerjang Kurawa hingga kocar-kacir.

Durna berteriak-teriak meminta Kurawa dan Pandawa menghentikan ujian perang-perangan yang telah menjadi perang sungguhan. Namun, situasi tidak bisa terkendali. Ayah Kurawa, Drestarastra, yang mendengar kekacauan itu, langsung turun ke gelanggang meredakan keributan.

Ketika itu Kurawa pada posisi terdesak. Bila tidak dihentikan, Kurawa bukanlah tidak mungkin akan kehilangan sejumlah anggotanya. Bratasena, yang sejak dalam bungkus sudah mendapat anugerah dewa berupa berbagai kesaktian, bisa menjadi sang ‘algojo’ bagi Kurawa.

Upaya Kurawa memusnahkan Pandawa tidak berhenti di situ. Di antaranya yang tercatat paling mengerikan sejak Duryudana berkuasa ialah dalam lakon Bale Sigala-gala. Ini skenario rapi aksi pembakaran hidup-hidup Pandawa yang diarsiteki Sengkuni.

Gerakan itu dirancang ketika Drestarastra akan mengembalikan hak Pandawa sebagai ahli waris kekuasaan atas Astina. Pada malam sebelum upacara penyerahan diselenggarakan, Kurawa menyulut tempat penginapan Pandawa yang ketika itu ikut bermalam ibundanya, Kunti Talibrata.     

Tempat penginapan yang terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar itu akhirnya ludes jadi abu. Di antara reruntuhan arang, teronggok enam jasad gosong. Kurawa memastikan mereka jenazah Pandawa dan Kunti.

Akan tetapi, Pandawa dan ibunda selamat dari perbuatan keji yang dilakukan saudara sepupu mereka sendiri itu. Mereka ditolong landak putih yang kemudian mengantarkannya ke Kahyangan Saptapratala.


Perang Bharatayuda

Setelah berbagai upaya pemusnahan gagal, kodrat jagat mengharuskan Kurawa dan Pandawa berperang di Kurusetra. Dalam Kitab Jitabsara, ini merupakan gelanggang pemusnahan antarcucu Abiyasa. Namun, sebelum perang pecah, tidak ada titah selain Kresna--titisan Bathara Wisnu--yang mengetahui pihak mana yang bakal punah.

Perang tersebut adalah Bharatayuda dan berlangsung selama 18 hari. Meski hanya singkat, pertempuran itu mengorbankan ribuan prajurit kedua belah pihak serta tentara sekutu mereka masing-masing.

Tidak hanya itu, sejumlah pepunden dan guru mereka juga menjadi tumbal perang yang dilatarbelakangi perebutan kekuasaan itu. Anak-anak mereka yang semestinya menjadi generasi penerus wangsa yang bebas dari dosa-dosa orang tua mereka, juga mati dengan sia-sia.

Perang ini sebenarnya telah diatur dengan cara-cara kesatria. Akan tetapi, kenyataannya, kedua belah pihak melanggar konsensus. Ini konsekuensi yang tidak bisa dihindari ketika mereka sama-sama diliputi kemarahan.

Misalnya, bagaimana Abimanyu mengalami proses kematian yang sangat menyedihkan. Ia diranjab, menjadi sasaran ribuan anak panah yang menghujam di sekujur tubuhnya. Ketika ia merintih dan merangkak dalam ketidakberdayaan, putra Arjuna itu dihajar kepalanya oleh Jayajatra.

Contoh lain, Durna, guru Kurawa dan Pandawa, juga gugur mengenaskan. Durna yang menjadi senapati Kurawa berkalang tanah setelah lehernya dipenggal oleh Drestajumna dari belakang. Ketika itu, Durna sedang galau sehingga kehilangan kewaspadaan karena munculnya berita kematian putranya, Aswatama, yang simpang siur.

Durna ngalor-ngidul di Kurusetra mencari kebenaran berita tentang kematian Aswatana. Ia tanya ke sana ke sini dengan diliputi kecemasan. Pada saat itulah, ia menjadi sasaran pedang Drestajumna. Durna benar-benar tidak mengetahui siapa yang menghabisinya.

Kisah lain, senapati Kurawa, Karna Basusena, terjun ke palagan pada malam hari. Padahal, aturannya adalah perang mesti dilakukan pada siang hari. Ini strategi untuk memenangkan perang meski itu diakui dan disadarinya telah melanggar aturan.            

Pada akhirnya, perang itu dimenangi Pandawa. Namun, tidak ada kegembiraan, mereka kehilangan semua putra-putranya, sedangkan Kurawa tumpes, punah. Nafsu kekuasaan yang membawa mereka lenyap dari bumi.   


Harus dihindari

Ini sungguh menggiriskan. Bukan hanya dari sisi banyaknya korban, secara kemanusiaan, perang ini juga sangat menyayat serta mengiris hati semua titah di marcapada. Inilah perang yang berusaha saling memusnahkan antarsesama saudara sepupu.

Nilai moralnya, Kurawa yang terus berusaha memusnahkan Pandawa justru mereka sendiri yang punah. Kurawa yang merepresentasikan kezaliman lenyap dari bumi. Sebaliknya, Pandawa yang menjadi target pemusnahan   muncul sebagai pemenang. Mereka melambangkan kebaikan.

Dalam konteks kebangsaan, bangsa (elite) ini mesti meletakkan kekuasaan itu sebagai gelanggang pengabdian. Untuk mendapatkannya harus mendapatkan amanah rakyat yang dilakukan dengan cara-cara kesatria lewat mekanisme pemilihan umum.    

Mengambil hikmah dari kisah Bharatayuda, bahwa nafsu kekuasaan bisa memunculkan permusuhan antaranak bangsa yang muaranya ingin saling menghabisi. Inilah yang mesti menyadarkan kita. Ini harus dihindari. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik