Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Seberapa Absurd Adab Bahari Kita

Radhar Panca Dahana Budayawan
22/12/2018 06:05
Seberapa Absurd Adab Bahari Kita
(MI/Duta)

SERING kali saya menjumpai pendapat, entah dalam satu pertemuan, diskusi, konferensi atau pelbagai tulisan di media massa, yang menyangsikan, menolak, bahkan menyatakan absurd kenyataan apa yang sering saya ungkapkan di lebih satu dekade dalam berbagai forum dan media, bahwa kebudayaan dan adab bahari ialah identitas fundamental bangsa kita.

Saya merasa belum perlu beradu argumen atau analisis tentang tesis di bagian akhir kalimat di atas. Mungkin lebih baik saya dahulukan eksposisi pelbagai data, dari rimbunan data besar yang ada, yang menjadi latar faktual dan valid tentang (tumbuh dan berkembangnya) kenyataan budaya dan adab tersebut. Fakta (berbasis riset-riset historis, arkeologis, paleontologis hingga antropologis) yang memberi bukti valid bagaimana budaya dan adab bahari menjadi semacam keniscayaan bagi (suku) bangsa-bangsa di Nusantara.

Tidak dibutuhkan analisis yang ketat, yang paradigmatis atau teoritis, tetapi cukup menggunakan logika umum saja (common sense), makna, misalnya, bisa kita peroleh dengan menciptakan relasi di antara dua atau lebih data/fakta, akan muncul komprehensif utuh dan jernih tentang alas dari kebudayaan primordial kita; substansi yang menjelaskan eksistensi, bahwa kita ada.

Fakta-fakta itu, yang memang sebagian besar dihasilkan para peneliti asing dan kadang tidak berkaitan langsung dengan Indonesia (baca selanjutnya: Nusantara), entah dengan cara apa bisa kita sangsikan, tolak apalagi mengategorisasinya sebagai 'absurd'. Seperti temuan dan kesimpulan dari Dr Daud Aris Tanudirjo, dosen arkeologi Universitas Gajah Mada, dan doktor jebolan Universitas Nasional Australia yang menyatakan, maskapai-maskapai lokal Nusantara hingga 500 BCE (Before Common Era), mampu mendominasi perdagangan laut di hampir setengah dunia (Tanudirjo, Jakarta: 2010).

Atau bagaimana kita menolak, menyangsikan dan meng-'absurd'-kan catatan resmi kerajaan Tiongkok, sebagaimana ditulis kembali oleh Prof Liang Liji (Jakarta, 2012), tentang kejayaan adab maritim bangsa Indonesia sejak dua abad sebelum Masehi. Bahkan tercatat situs dari masa dinasti Xin, bertitimasa 1.700 tahun BCE, yang berisi tulisan Jia Gu Wen atau aksara Tiongkok paling primitif yang ditulis di atas batok kura-kura, binatang yang hanya hidup di perairan Indonesia kala itu.

Dalam catatan-catatan itu pula dijelaskan bagaimana kerajaan di Indonesia memiliki hubungan yang intens dengan Tiongkok sejak dimulainya tahun Masehi. Cerita tentang salah satu kerajaan gaya India di Indonesia, Salakanagara (Ye Piao) yang terletak di wilayah Banten misalnya, serta rajanya Diao Bao (Dewawarman) sudah ada dalam catatan Kaisar Tiongkok sejak 65 CE.

Dalam catatan itu juga terkisahkan bagaimana Faxian (317-420), rahib-petualang ternama itu menggunakan kapal dagang Jawa untuk pergi melintasi laut hingga 50 hari dari Guangzhou ke Pulau Jawa. Tak lama berselang, pada 435 CE, utusan kerajaan Ho-ling alias Kalinga (Jawa Tengah) datang menemui Kaisar Tai Zhong. Catatan yang ditulis dalam kitab Xin Tang Shi juga mengisahkan keberadaan dan kejayaan Kalinga dengan rajanya, Ratu Sima (Xi Mo), yang disegani dan sangat terkenal kebijaksanaannya.

Kejayaan bahari itu
Catatan-catatan tentang kejayaan maritim (teknologi atau bentuk praktis dari budaya bahari), tentu saja tidak hanya berasal dari Tiongkok. Sajak zaman purba, dalam arti sebelum huruf dikenal di Indonesia, catatan-catatan itu dituliskan dengan sebaran sangat luas, dari geograf Mesir hingga India, dari kartografi Yunani hingga petualang Persia.

Saya kira sudah cukup banyak pihak yang ikut mengutip catatan lawatan dan amatan dari tokoh-tokoh, seperti Plinius Tua (Pliny the Elder), Claudius Ptolomeus (Ptolemy), hingga para geograf-kartograf Persia macam Ibnu Kordadbeh di abad 9 dan Buzurg al-Ramhormuzi di abad 10 yang belum banyak dibahas ketimbang Ibnu Batutah lima abad setelah mereka, misalnya.

Dalam banyak catatan itu, yang hampir semua merupakan (semacam) laporan pandangan mata (real facts), kita mendapat bukti valid bagaimana kebudayaan (yang kemudian tumbuh dewasa menjadi peradaban) bahari bangsa Indonesia (masa lalu) bukan hanya berkembang secara lokal-internal, melainkan juga meluas dengan sebaran melebihi setengah dunia. Lewat persebaran penduduk yang oleh Anthony Reid (1990) disebut sebagai frogging migration, Peter Belwood (2000) menguraikan bagaimana penduduk Indonesia dengan perahu-perahu sederhana, sejak 4.000 BCE telah sampai dan mendiami pulau-pulau dari Afrika Timur, hingga Tiongkok Utara, Polinesia, Melanesia, Pulau Paskah juga tent Australia dan Selandia Baru.

Migrasi masif ini tentu saja tidak hanya menanam manusia dan generasi-generasi berikut yang dilahirkan, tapi juga kebudayaan yang melekat dalam diri dan hidupnya sehari-hari. Dalam soal bahasa, misalnya, Dick-Read (2008) menuliskan bagaimana bahasa yang digunakan bangsa purba Zanj di Afrika Timur, yang disebutnya sebagai bangsa Afro-Indonesian dan cikal bakal bangsa Tanzania, Zanzibar, dll, dipengaruhi bahasa-bahasa kepulauan Nusantara.

Bahkan Tanudirjo menyebutkan bagaimana migrasi tersebut menanamkan budaya baru di wilayah tempatan, berdasar dari apa yang ada di wilayah Bahari Indonesia. Alat musik, peralatan senjata, tradisi makan sirih, hiasan kerang, gerabah hias, cara bercocok tanam, dan beternak (babi, anjing, ayam) ialah sebagian dari budaya baru, yang semua sudah tercipta ribuan tahun sebelum apa yang disebut kebudayaan Dong Son dan secara mitologis dikatakan 'membentuk' kebudayaan Indonesia purba (Tanudirjo, Ibid).

Dalam adab teknologisnya, teknik perkapalan, misalnya, arkeolog-maritim JA Sonjaya (2010) menjelaskan rinci hasil penelitiannya, bagaimana kapal-kapal besar kita di masa lalu (hingga berbobot mati puluhan ton) memiliki teknik ikatan, lem, layar, dan kemudi yang jauh lebih canggih, 5.000 tahun sebelum kapal-kapal ramping bangsa Viking diciptakan untuk melintasi jalur-jalur sempit perairan Skandinavia (Eropa Utara).

Mengutip Dick-Read, Sonjaya juga menjelaskan kapal Jung yang begitu populer sebagai perahu khas Tiongkok, sesungguhnya tetiron kapal-kapal bercadik Indonesia. Begitu pun kapal-kapal yang kemudian dihasilkan bangsa-bangsa di Barat (Arab, Afrika hingga Eropa) tak lain ialah turunan dari kapal-kapal ciptaan bangsa Indonesia. Baik dalam fungsi sebagai kapal barang (Padewakang, dalam bahasa lokal Indonesia), kapal angkut manusia (Palai), kapal penjelajah (Pinisi) hingga kapal perang (Kora-Kora).

Salah kaprah kita
Sebagian kecil dari tumpukan besar data yang ada masa kini tentang pencapaian (kejayaan) budaya dan adab bahari bangsa Indonesia itu, sebenarnya sudah saya tulis di berbagai kesempatan terpisah. Apa yang kemudian lebih penting ialah pemahaman lanjutan, menggunakan logika umum yang jernih dan tidak absurd, bahwa data-data tersebut tak dapat ditolak atau disangsikan lagi juga membuktikan keberadaan sebuah masyarakat, bangsa, juga negara (dalam pengertian kuno) yang memiliki daya hidup, pola hingga gaya hidup yang cukup dewasa (advance) jika tidak bisa disebut luhur (high). Semua elemen kebudayaan yang menunjukkan bagaimana (suku-suku) bangsa di negeri ini, memiliki pergaulan global yang sangat luas dan menjadikannya sumber dalam mengembangkan, memperkuat, dan memutakhirkan (eksistensi) dirinya.

Sayangnya, kenyataan historis tersebut ternyata kurang bahkan tidak dipahami para penerus generasi 'nenek moyangku seorang pelaut'. Tentu bukan hanya karena generasi mutakhir, apa yang kita sebut 'milenial' juga generasi X (orangtuanya) bahkan baby boomers (kakek-nenek generasi pasca-PD II), kini semata menjadi korban dari pendulum pengaruh/kuasa negara-negara kolonial baru termasuk perangkat teknologinya yang mencengangkan, tapi juga menjadi korban sistem kolonial lama yang masih menjadi pembuluh darah sistem-sistem kenegaraan kita (hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dst). Termasuk tentu, kehidupan akademik dengan data-data valid di atas seperti 'disembunyikan' atau diposisikan sebagai obskuritas akademik yang membuatnya tidak akan pernah mendapat pengakuan ilmiah secara global, apalagi secara politis hingga yuridis.

Kondisi itulah yang antara lain membuat sebagian besar dari kita meyakini, misalnya, agama Islam datang dan dipeluk bangsa Indonesia, empat abad bahkan tujuh abad setelah wafatnya Rasulullah SAW bahwa agama itu datang pun melalui pihak ketiga, yakni para mubalig atau ulama yang berasal dari Mesir, India, Persia, Tiongkok, bahkan Yaman atau Uzbekistan.

Sementara itu, banyak catatan penelitian yang menjelaskan bagaimana Islam sudah dipeluk oleh masyarakat negeri ini sejak zaman Nabi (TW Arnold, 1968), karena para pedagang Indonesia, menurut Mansyur Suryanegara, Bellwood hingga GR Tibbetts, sudah melakukan perjalanan niaga jauh masa sebelum Islam terbit di Mekah, dan banyak dari pedagang itu sudah bertransaksi dengan Nabi juga leluhurnya.

Ditemukannya bukti perkampungan Islam sejak 625 CE di Kota Barus, yang dilindungi Kerajaan Sriwijaya, menunjukkan fakta Islam telah hadir di negeri ini sembilan tahun sejak dakwah terbuka dilakukan Nabi (616 CE). Pada 718 CE dicatat oleh Zainal Abidin, Sri Indawarman, Raja Sriwijaya, ialah raja pertama Indonesia masuk Islam, setelah beberapa kali ia menyurati khalifah Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz, meminta dikirimi mubalig untuk mengajarkan Islam di kerajaannya. Di Jawa, anak Ratu Sima, Raja Jaya Sima, yang juga termasuk kemenakan Raja Sriwijaya, tercatat sebagai pemimpin pertama masuk Islam pada 726 BCE (Abidin, 1979).

Dalam teknologi militer kelautan, peneliti Majapahit, Irawan Djoko Nugoroho, misalnya, mencatat bagaimana nafsu ekspansi Kerajaan Tiongkok yang saat itu dikuasai bangsa Mongol, tidak pernah berhasil melebar ke Selatan, ke daerah Asia Tenggara. Karena pasukan laut (sea forces) Majapahit selalu mampu menghalau serangan memanfaatkan celah sempit Selat Malaka yang sangat dikuasainya, selain Tiongkok sendiri memang kurang kemampuan dan pengalaman dalam perang di tengah laut masa itu (Nugroho, 2010). Untuk itulah hampir semua kerajaan di Asia Tenggara kala itu meminta perlindungan Majapahit, bukan ditundukkan dalam cara dan bentuk yang sama dengan pendudukan kolonialistik.

Bahkan tercatat pula, justru kekuatan maritim Majapahit memberi bantuan yang signifikan pada Tsjin Yuan Tsung dalam perjuangannya mengusir bangsa Yuan (Mongol) dan menjatuhkan kekuasaan dinasti Ming. Tidak mengherankan setelah itu Tiongkok banyak mengirim duta, termasuk rahib Mei Hua hingga Panglima Ceng Ho yang membawa ribuan kapal bukan untuk show of force apalagi menyerang, tapi malah menyampaikan rasa hormat Kaisar Tiongkok pada Raja Majapahit, melakukan diplomasi lunak dalam bentuk kolaborasi budaya hingga agama via Ceng Ho, panglima besar yang muslim itu. Bentuk diplomasi yang sukses, bahkan hingga hari ini dan ditiru banyak negara lain dalam upaya 'menaklukan' bangsa kita.

Budaya yang menghidupi
Apa yang melatari semua data-data sahih tentang kekuatan bahkan kejayaan-laut (jalesveva jayamahe) dari masyarakat (bangsa) di negeri Nusantara masa lalu itu? Jawaban yang tidak hipotetis lagi ialah cara hidup atau dalam arti luas kebudayaan yang hidup, menghidupi, dan dihidupi masyarakat itu sendiri. Kebudayaan yang berbasis pada realitas geografis; masif dan mayoritasnya air (sungai, danau, laut, samudra) sebagai denominator utama, dan kita menyebutnya belakangan ini (dengan banyak salah kaprahnya) sebagai bahari.

Sebagai kebudayaan yang lahir dan berkembang dengan kenyataan 'air' (basah dan mengalir) itu, laut dan cakrawala menjadi ultima atau puncak dari pencarian eksistensi manusia yang ada di dalamnya, termasuk eksistensi spiritualnya. Berbeda dengan budaya dan adab kontinental (diimana kenyataan geografisnya didominasi daratan) yang memosisikan gunung sebagai puncak imajinasi (dari sosial, keilmuan hingga agama), Bahari melihat cakrawala (horison) menjadi simbol utamanya.

Jika gunung dalam abstraksi piramidalnya merepresentasi kelas-kelas dalam masyarakat (dan elit menjadi patronnya), cakrawala ialah representasi dari manusia atau masyarakat yang 'lurus dan rata', yang lebih mendahulukan atau meluhurkan (per)sama(an) atau sifat egalitér ketimbang mengeksploitasi, apalagi meradikalisasi perbedaan atau yang sering dimanipulasi sebagai kebhinnekaan.

Cakrawala yang 'lurus-rata' menjadi penyebab sangat logis untuk memandang orang/pihak lain dalam posisi yang juga setara, bahkan setara dengan saudara. Maka dari itu, seperti ungkapan umum di wilayah Timur negeri ini, ‘Kitorang Basodara’, persaudaraan atau fratermite juga gotong-royong dalam bentuk praksis-kolektifnya, adalah watak dasar (natural dan nurtural) dari budaya juga manusia Bahari. Perbedaan (bhinneka) bukan saja diterima sebagai hal yang given, melainkan juga berkah karena dengannya kita berkembang dan bertambah kaya di sisi internalnya.

Apa yang lebih menarik dan tentu penting dari itu, kesetaraan dan persaudaraan di dunia Bahari tidak hanya berlaku pada manusia/sukubangsa lain, tapi pada semua makhluk hidup, bahkan juga yang tidak hidup. Dalam filosofi hidup semacam itu, manusia melihat dirinya sebagai bagian integral dari realitas hidup keseluruhan, tanpa posisi apalagi kekuasaan yang lebih (dominan). Seperti prinsip budaya 'Tri Hita Karana' di Bali, kehidupan lingkungan (yang hidup maupun tidak) perlu kita jaga keberlangsungan juga pertumbuhannya, karena hal itulah yang juga menjaga keberlangsungan dan pertumbuhan manusia.

Inilah ke-ika-an bangsa dalam budaya kita, yang bukan hanya menciptakan kesadaran pengakuan keberadaan orang lain (kamu) dalam diri kita (aku), tat twam asi dalam bahasa Bali, tapi juga menjadi dasar kesatuan dan 'kebangsaan' yang begitu teguh hingga sulit kekuatan manapun berupaya mencerai-beraikannya.

Karakter budaya itu pula yang menjadi pembeda dengan adab Kontinental, yang karena memosisikan dirinya (manusia) sebagai makhluk atau entitas terunggul, dalam istilah (yang juga salah kaprah) sebagai khalifah, ia merasa memiliki hak tunggal untuk mengekstrasi, mengeksploatasi, hingga menghancurkan alam sekitarnya demi semata kemuliaan sang manusia penguasa.

Bahwa dalam adab Bahari juga ada 'budaya' daratan, perbedaannya sangat jelas dan kontras dalam penjelasan ini, dalam cara orang daratan di adab Bahari menyikapi realitas environmental-nya, yang tidak ekspoatatif, tapi justru bertanggung jawab pada pertumbuhannya. Kita dapat menemukan bukti-buktinya dalam adat dan tradisi bahkan di dalam suku-suku 'terasing' seperti Kubu, Anak Dalam, Baduy. Asmat dan sebagainya.

Peradaban yang kemudian tercipta dari budaya Bahari di atas, akan ditandai oleh kegembiraan dan kebahagiaan karena semua berlangsung secara seimbang dan harmonis. Yang terakhir ini menjadi prinsip utama dalam kehidupan komunal dan sosial peradaban Bahari. Karena dari kegembiraan itulah manusia hidup dengan bebas atau liberte dalam mengekspresikan dan mengaktualisasi diri. Tentu saja bukan 'kebebasan' tanpa batas yang dipahami secara fundamentalistik oleh para ideolog (kultur) global, namun kebebasan fakultatif yang dibatasi oleh kebebasan pihak lain. Watak inilah yang memroduksi sifat-sifat manusia Bahari yang santun, bersahaja, akseptan lebih dari toleran, menghormati yang lebih tua, halus, jujur dan sebagainya.

Penyebutan alias yang menggunakan kursif di tiga –dari tiga puluhan—watak utama manusia dan adab Bahari di atas adalah terjemahan dalam bahasa Prancis. Terjemahan terma paling populer dalam sejarah modern dunia, karena ia menjadi pilar, substansi, bahkan mantra apa yang kita sebut di satu seperempat abad belakangan ini sebagai; demokrasi. Demokrasi substansial yang sesungguhnya adalah keniscayaan Bahari ini memiliki bentuk aplikasinya yang berbeda, justru dengan negara-negara pemilik dan pengklaim bentuk orisinal dari demokrasi itu sendiri. Terlebih para praktisi demokrasi di negeri kita belakangan ini, yang sesungguhnya tak lebih dari tetiron atau followers terburuk dan praktik substantif demokrasi.

Maka, kita pun segera mafhum bila dalam kontestasi politik yang begitu riuhnya terutama di paruh akhir 2018 ini, yang baru menjadi 'pemanasan' bagi pesta politik di 2019, para pendukung kontestan sebenarnya melakukan praktik yang justru bertentangan, bahkan cenderung merusak, demokrasi itu sendiri. Mendestruksi filosofi, prinsip, watak hingga sifat-sifat orisinal dari bangsa Indonesia seperti terurai di atas.

Jika mereka, yang senang provokasi, kata-kata kotor, fitnah, agitasi dan retorika hiperbolik kasar, hingga menipulasi data atau hoaks, sesungguhnya harus merasa malu dan rendah diri karena ia sedang menghina dan merusak peradaban yang dengan luar bisa dilahirkan dan dipelihara nenek moyangnya. Artinya, ia tengah merusak diri sendiri, sebelum keseluruhan bangsanya.

Di sinilah peran lembaga-lembaga negara, juga pemerintah, mencegah perusakan adab yang akan mengakibatkan rusak dan gagalnya upaya kita berbangsa secara dewasa. Tahun 2019 menjadi momentum bagi semua lembaga, dan banyak pihak terkait, untuk mendepankan kekuatan kebudayaan di atas sebagai landasan berpolitik bangsa ini. Sehingga budaya politik tumbuh dan mematangkan dirinya. Dengan landasan itu, bukan hanya politik kita akan berdaulat di tanah airnya sendiri, tapi juga membuktikan bahwa kekuatan terbaik bangsa ini, kebudayaan, ialah solusi terbaik bagi operasi politik deviatif yang akan menjadi justru faktor disrupstif dan involutif bangsa kita dan keadabannya.

Itulah sebagian kecil penjelasan tentang budaya, adab, manusia Bahari yang ternyata (baca: terbukti) sesungguhnya menjadi solusi fundamental karenanya terbaik dalam mengatasi problemasi (yang seolah) rumit dan kompleks belakangan ini. Namun adakah kemauan dan kekuatan kita, individual atau nasional, untuk menjalankannya, sementara hampir semua pihak termasuk obligor utamanya, pemerintah menyepelekan, bahkan menghina kebudayaan? Lalu menjadikannya sekadar sebagai semboyan dan slogan yang segera mati-makna begitu ia diucapkan.
 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya