Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
EDITORIAL Media Indonesia (Kamis, 22/11) memprovokasi dan mengaplaus langkah maju yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), untuk memperbaiki konstruksi partai politik (parpol) di mata publik, yakni melalui penerapan sistem integritas parpol.
Ada empat poin penting dalam sistem integritas tersebut, yakni pendanaan parpol yang transparan dan akuntabel, rekrutmen pejabat publik melalui parpol, kaderisasi yang terstruktur dan berjenjang di parpol, serta pengaturan dan penegakan kode etik. Inisiasi itu pun sudah dimulai dari road show ke Partai NasDem pada 19 November.
Sejatinya, sudah sejak 2017, KPK memutuskan merintis pembentukan sistem integritas parpol. Tujuannya untuk mendorong parpol menahbiskan dirinya sebagai penganut tradisi kelembagaan yang sehat dan bermartabat. Apalagi, menurut KPK, 32% dari total koruptor yang ditangani lembaga ini ialah aktor politik. Sampai Juni 2017, tidak tanggung-tanggung, ada 78 kepala daerah dan 134 anggota legislatif pusat maupun daerah terlibat korupsi yang mayoritas kasusnya ialah suap, jual beli jabatan, dan mark-up.
Berdasarkan survei Indikator Politik 2016, parpol merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya publik, diikuti oleh DPR. Pada Agustus 2017, KPK dan LIPI sudah mengunjungi parpol-parpol yang memiliki kursi di DPR. Waktu itu, PDIP menjadi partai yang pertama dikunjungi, yakni pada 31 Agustus, berikut giliran Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa pada 7 September, disusul Hanura 11 September.
Kunjungan integritas tersebut seolah ingin merangkul sekaligus membangunkan parpol dari 'tidur panjangnya' selama ini yang selalu ditemani mimpi-mimpi buruk pengelolaan institusi atau pilar demokrasi yang penuh dengan kerja medioker. Parpol yang diharapkan bertransisi menjadi institusi perpanjangan suara dan kepentingan rakyat secara modern, justru menjadi ranah perwakilan kepentingan kaum elite yang menggunakan baju mentereng demokrasi.
Masih kontekstual
Sebenarnya, gerundelan soal parpol yang identik dengan krisis kefatsunan dan korup bukan hanya mencuat saat sekarang. Ketika Soekarno berorasi di forum pertemuan wakil-wakil pemuda pada 8 Oktober 1956, ia juga berang. Ia mengkritik partai yang penuh dengan sikut-sikutan. Ia mencontohkan Pemilu 1955 yang gaduh, menghadap-hadapkan empat partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI) dalam 'duel' identitas, terjebak dalam dikotomis surga-neraka. Sampai-sampai Masyumi mengeluarkan statement penolakan pemakaman kaum komunis yang diidentikkan sebagai 'kafir' hingga intimidasi terhadap warga konstituen di desa. Terhadap ini Soekarno pun mengajak rakyat untuk 'menguburkan partai'.
Pada 1962, Herbert Feith menulis buku berjudul The Decline of Constituional Democracy in Indonesia. Di buku itu ia menyorot keras soal kejatuhan sistem demokrasi parlementer. Kejatuhan itu disebabkan kegaduhan dan konflik parpol yang berlarut-larut. Bahkan, termasuk korupsi yang begitu masif dan menyeret-nyeret Tentara Nasional Indonesia, hingga kemudian beralih ke era demokrasi terpimpin pada pertengahan 1959.
Kritik Feith ternyata masih kontekstual untuk menilai kinerja parpol kita saat ini yang dibayang-bayangi kabut tebal inkonsistensi nilai etik-moral. Selain itu, memudarnya prinsip ideologis dan rendahnya spartanitas politik dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, yang ditandai dengan perilaku korupsi berjemaah yang menyubur dari rahim partai.
Sudah banyak kajian lembaga survei yang menempatkan aktivis partai termasuk politisi yang duduk di DPR mudah terjerumus dalam praktik korupsi. Menurut Survei Transparanecy International Indonesia 2017, DPR masih menjadi lembaga yang terkorup (54%). Setelah itu, ada birokrasi (50%), DPRD (47%), diikuti Ditjen Pajak, dan Kepolisian. Kewenangan yang luas untuk membuat undang-undang dan menyetujui komposisi APBN, nyatanya tidak diikuti dengan komitmen dan tanggung jawab konstitusional yang serius dalam mengemban kepercayaan publik.
Arena korupsi DPRD, misalnya, bisa dilihat pada fungsi pengawasan. Ketika lembaga yang mestinya melakukan pengawasan terhadap penggunaan APBD, yang terjadi justru DPRD berhasil membajak fungsi tersebut melalui 'uang ketuk palu', yang diterima dari eksekutif agar pengesahan APBD berjalan lancar. Proyekisme fungsional politis DPR(D) tidak terlepas dari implikasi kultur demagogis parpol, yang gemar memelihara tradisi bersurplus-ria dalam hura-hura retorika, tetapi defisit dalam aksi nyata yang mencerminkan semangat ideologisnya.
Parpol semakin ke sini makin dilingkari indolensi visi demokrasinya untuk menjalankan esensi kedaulatan rakyat. Yang kita lihat seperti saat ini, kinerja parpol lebih berbasis pada kesadaran atribut, jargon, dan propaganda yang memancarkan ambiguitas politik. Bisa dilihat di tribune-tribune utama kampanye politik selalu mempropagandakan nilai-nilai demokrasi yang berkeadilan, tetapi di sisi lain, para politisi itu justru menjadi inheren dari patologi politik yang membelah hati publik. Itu termasuk membuka arena politik yang disusupi dengan persekongkolan sistematis dan terstruktur, jauh melampaui logika hukum publik.
Jalan pragmatis
Untuk menghilangkan kecurigaan publik, elite politik mungkin akan selalu 'meminum keringat rakyat' dengan berprinsip seolah-olah bijaksana di hadapan rakyat, bahwa yang paling urgen dari politik itu ialah bagaimana menjalankan proses berpolitik secara etis dan bertanggung jawab. Namun, bisa dipastikan, mana ada politisi atau parpol yang mau rela takluk di gelanggang kekuasaan. Apalagi setelah menggelontorkan jerih keringat amunisi politik (dengan membagi-bagi duit) ke petinggi parpol demi mendapatkan 'perahu sakti' menuju ke dermaga kekuasaan.
Para politisi atau petinggi politik pasti dengan berbagai cara akan mencandui jalan pragmatis untuk meraih ponten elektoral kemenangan. Bukan masalah, kendati dengan menabrak norma-norma dan etika politik termasuk dengan 'membunuh' langkah 'anak kandung politik' atau kadernya sendiri, hanya karena ia kalah elektabilitas dalam survei atau kalah dukungan fulus.
Rezim pragmatisme parpol yang demikian itu tentu akan menggerogoti pernapasan demokrasi bangsa. Sudah saatnya cacat karakter partai tersebut dinegasi lewat konsolidasi penerapan sistem integritas parpol, sesuai dengan hakikat parpol sebagai public intermediare atau instrumen akuntabilitas publik yang bermutu dan membela kepentingan rakyat (Normanton, 1996; Jones dan Pendlebury, 1996).
Kita ingin semua parpol peserta pemilu memiliki bendera dan platform kepentingan yang sama dalam hal bagaimana membalikkan kiblat demokrasinya. Kemudian juga mengupayakan lahirnya kebijakan publik yang berkualitas, menjawab persoalan rakyat melalui lahirnya kader-kader besutan parpol yang bersih, amanah, nasionalis, dan memiliki visi yang besar untuk kejayaan dan keselamatan NKRI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved