Kepemimpinan yang Relevan di Masa Depan

A Farid Aulia Deputi Direktur Bank Indonesia Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute
21/11/2018 04:00
Kepemimpinan yang Relevan di Masa Depan
(Titok)

SEJUMLAH negara maju sudah melembagakan antisipasi mereka terhadap masa depan. Singapura membentuk Committee on The Future Economy dengan tugas ‘memindai horizon masa depan’. Swedia membangun kementerian baru, Minister of the Future, yang dijabat oleh Kristina Persson, yang pernah berkunjung ke Indonesia. Menteri Kristina mendapat misi khusus yang disebut Future Program, yakni mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk menghadapi masa depan. Dengan nama yang berbeda Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Thailand juga memiliki kelembagaan sama.

Dari lembaga itu, Swedia mengambil keputusan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil untuk otomotif pada 2025, yang kemudian diikuti oleh Norwegia. Belanda dan Jerman akhirnya juga masuk ke jalur yang sama, akan menggunakan mobil listrik di seluruh negeri pada 2035.

Pelembagaan antisipasi terhadap masa depan dilakukan mengingat sedemikian pesatnya percepatan perubahan saat ini, sebagaimana bisa dilihat dalam berbagai shifting yang terjadi.  Dalam industri otomotif, misalnya, perubahan tidak hanya terjadi dalam hal bahan bakar, tetapi juga teknologi lainnya. Sekarang sudah muncul mobil dan truk tanpa pengemudi, taksi tanpa pengemudi, bahkan taksi terbang tanpa pengemudi, taksi yang lancar di jalan raya, terbang, dan menyusup dalam sistem kereta. Taksi terbang itu sudah diputuskan untuk beroperasi di Dubai tahun ini. Yang ‘mengganggu’ industri otomotif juga bukan lagi industri sejenis, melainkan Tesla, Google, Apple, Amazon, bahkan industri pesawat, Airbus.

Seluruh kejadian itu menunjukkan apa yang oleh Bob Johansen sebagai get there early mindset, yakni cara berpikir dan tekad untuk tiba (di masa depan) lebih cepat jika dibandingkan dengan siapa pun yang lain. Menurut Johansen, ini ialah soal kepemimpinan. Maka dari itu, agar satu bangsa atau organisasi bisa membangun tekad seperti itu, diperlukan pemimpin yang secara proaktif terus menyadari kemendesakan masa depan.

Relevan terhadap masa depan
Relevansi ialah kata kunci baik untuk organisasi, sebesar apa pun skalanya, dalam menghadapi masa depan. Center for the Effective Organization University of Southern California (USC) mengatakan bahwa tantangan bagi organisasi masa kini bukan lagi menjadi yang terbaik, melainkan menjadi yang terbaik dalam berubah.

Umur organisasi akan diprediksi dari kemampuannya mengikuti perubahan dan melakukan perubahan relevan, ketimbang sekadar menjadi yang terbaik di masa sekarang. Kita sudah melihat Kodak, Nokia, atau Blackberry, yang pernah menjadi yang terbaik di bidangnya, tetapi hancur karena gagal mengikuti perubahan.

Untuk itu, organisasi membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar melek, tetapi fasih masa depan. Lebih dari sekadar mampu membawa organisasi survive di masa depan, mereka harus mampu membawa organisasi lebih kompetitif di masa depan. Inilah tantangan kepemimpinan masa kini. Menjadi transformational leaders saja tidaklah cukup.

Clark G Gilbert, Mark W Johnson & Scott D Anthony mengatakan organisasi dan lembaga membutuhkan pemimpin yang mampu melakukan transformasi ganda (dual transformation), yakni dengan melakukan reposisi dan mengeksploitasi opportunity baru di masa sekarang, sekaligus menciptakan positioning yang tepat untuk menjadi relevan di masa depan.

Ada beberapa tantangan yang harus diatasi kepemimpinan yang berorientasi masa depan. Pertama ialah tantangan kapabilitas. Donald Rumsfeld mengatakan ada tiga jenis tantangan, yakni yang kita tahu bahwa kita tahu (known-known), lalu kita tahu bahwa kita tidak tahu (known-unknown), dan kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown-unknown).

Masa depan akan dipenuhi dengan tantangan di area unknown-unknown. Jika pemimpin hanya sibuk menjawab tantangan yang known-known, dia akan berkutat seperti mesin. Jika sibuk menangani yang kedua, dia akan sibuk menjadi problem solver. Aktif menangani ketiga berarti selalu mencoba menganalisis masa depan agar bisa melakukan berbagai antisipasi sehingga terhindar dari kejutan yang merugikan. Itu tidak bisa dilakukan dengan ‘ilmu’ known-known atau known-unknown.  

Edward Hess dalam bukunya Learn or Die mengingatkan, apa yang diketahui organisasi tidak relevan dalam menghadapi the unknown-unknown. Organisasi harus bisa mencari tahu lebih cepat dan lebih hebat dari kompetitornya. Kemampuan mencari tahu dan berkolaborasi dengan yang paling tahu ialah kunci menghadapi the unknown-unknown.

Tantangan yang kedua ialah belum ada tradisi melembagakan antisipasi terhadap masa depan. Vijay Govindarajan dalam bukunya The Three Box Solution mengingatkan urgensi bagi organisasi untuk melembagakan kegiatan mengantisipasi masa depan agar dapat melahirkan inovasi yang relevan di masa depan.

Ia mengatakan tiap organisasi perlu memiliki kegiatan yang berorientasi pada kotak: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kegiatan di kotak ketiga harus berfokus pada antisipasi masa depan. Ini mengingatkan bahwa transformasi institusi dari A ke B tidak lagi cukup sebab yang dibutuhkan ialah melembagakan kemampuan bertransformasi.

Yang ketiga ialah tantangan untuk keluar dari perangkap ekstrapolasi atau asumsi bahwa masa depan akan sama, tidak jauh berbeda dan hanya berupa perpanjangan masa sekarang. Kecenderungan seperti itu bisa dilihat dalam berbagai rapat kerja, perencanaan tahunan, atau perencanaan lima tahunan. Yang selalu mengasumsikan bahwa situasi, tantangan, dan persoalannya sama dengan hari ini.

Bob Johansen mengingatkan perlunya proses foresight agar bisa mendapatkan insight yang tepat untuk perencanaan strategis.  Tantangan yang keempat ialah batasan waktu bagi para pemimpin publik (di Indonesia dibatasi maksimal dua kali lima tahun). Batasan itu, sadar atau tidak, membuat pemimpin berorientasi jangka pendek dan menengah, dan abai pada visi jangka panjang.

Dalam situasi seperti ini minimal seorang pemimpin perlu menetapkan arah kebijakan strategis jangka panjang, yang akan tetap relevan bagi pemimpin berikutnya. Kita sudah melihat betapa besarnya biaya jika kita tidak berorientasi pada masa depan. Segala permasalahan kita hari ini sebagian besar akibat kesalahan pengambilan keputusan di masa lalu, atau ketidaksiapan kita di masa lalu dalam mengantisipasi berbagai perubahan.

Jika di masa sekarang para pemimpin tidak berorientasi masa depan, di masa depan kita harus membayar mahal kesalahan masa sekarang ini. Ada pepatah yang mengatakan, “Waktu terbaik menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Waktu terbaik kedua adalah sekarang.”

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya