Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
MIMPI kampus yang inklusif tidaklah semudah membalikkan tangan. Di samping perlunya infrastruktur dan sarana prasarana yang aksesibel, hal utama yang perlu dirombak ialah masalah perspektif. Hal itu menjadi salah satu dasar kenapa UU No 8/2016 tentang Disabilitas harus ‘mengudeta’ UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat. Dari segi istilah, ‘disabilitas’ tentu lebih manusiawi daripada ‘penyandang cacat’ yang seolah menganggap disabilitas seperti barang yang rusak.
Selain itu, di dalam penjelasan atas UU 8/2016 tertulis bahwa UU 4/1997 ‘belum berperspektif HAM’ dan ‘lebih bersifat belas kasihan’. Dengan demikian, sebagaimana tertulis di dalam konsiderans ‘menimbang’ UU 8/2016, dinyatakan bahwa UU 4/1997 ‘sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas sehingga perlu diganti dengan UU yang baru’.
Hal itu menunjukkan, paradigma negatif terhadap penyandang disabilitas yang terlanjur keliru selama ini, diakui sebagai sebuah kenyataan dan harus diubah dengan langkah konkret. Hal lain yang perlu dinyatakan secara tegas ialah hak disabilitas itu sendiri.
Hak atas pendidikan
UU 8/2016 memerinci setidaknya 33 hak mendasar yang harus diraih dan dimiliki oleh disabilitas. Salah satunya ialah hak atas pendidikan. Mengapa hak atas pendidikan begitu penting bagi disabilitas? Logikanya, penyandang disabilitas tidak mungkin dapat meraih kehidupannya yang baik, apabila tidak memiliki pekerjaan secara layak, karena hak atas pendidikannya tidak dapat dipenuhi dengan baik.
Pasal 10 menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan dan mendidik di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Lalu, pasal 40 ayat (3) menyatakan, pemerintah (pusat) dan Pemda (kabupaten/kota) harus memastikan bahwa program wajib belajar 12 tahun dapat dinikmati bagi penyandang disabilitas. Apa makna dari dua ketentuan itu? Pertama, terdapat amanat yang begitu mulia kepada pemerintah pusat dan Pemda, serta penyelenggara pendidikan formal SD, SMP, dan SMA atau yang setara, untuk memperjuangkan hak itu.
Kedua, dengan terpenuhinya hak itu, diharapkan tidak ada batasan bagi penyandang disabilitas untuk dapat melanjutkan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi (PT). Kebutuhan penyandang disabilitas untuk dapat sampai mengenyam pendidikan di PT, sejatinya sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang telah disebutkan pada poin pertama tersebut, memiliki peranan sangat penting sebagai jembatan emas yang dapat menghubungkan antara penyandang disabilitas dan dunia PT.
Unit layanan disabilitas
Sebagai konsekuensinya, penyelenggara pendidikan tinggi mendapatkkan amanat yang mulia untuk memperjuangkan hak atas pendidikan bagi disabilitas. Tentu saja, penyelenggara pendidikan tinggi harus menjamin kampus yang inklusif. Kampus yang inklusif dapat diartikan sebagai pelaksanaan proses perkuliahan yang tidak memisahkan antara mahasiswa penyandang disabilitas dan nondisabilitas, dengan segala fasilitas penunjang yang dibutuhkan bagi mahasiswa penyandang disabilitas.
Menariknya, dalam rangka mewujudkan kampus yang inklusif, Pasal 42 ayat (3) UU 8/2016 memberikan amanat secara khusus kepada setiap penyelenggara pendidikan tinggi kewajiban untuk memfasilitasi pembentukan ‘Unit Layanan Disabilitas (ULD)’.
Sementara itu, pada ayat (7) dan ayat (8) mengatur bahwa kampus yang tidak mendirikan lembaga itu, dapat dikenakan sanksi administratif, dari teguran tertulis hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan, yang mekanismenya diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat ditarik dua inti sari utama. Pertama, mengingat nama lembaga itu tertulis secara kapital, maka haruslah bernama ‘Unit Layanan Disabilitas’. Kedua, amanat itu bersifat wajib tanpa pengecualian. Artinya, di samping kewajiban secara nomenklatur, ULD haruslah dibentuk dan dipastikan kehadirannya oleh penyelenggara pendidikan tinggi, atau dapat dikenakan sanksi.
Kemudian, pada ayat (4) dalam pasal yang sama, menyebutkan ada enam fungsi lembaga itu. Fungsi yang dimaksud di antaranya meningkatkan kompetensi dosen dalam menangani mahasiswa disabilitas, koordinasi dengan setiap unit kerja di kampus dalam rangka memenuhi kebutuhan mahasiswa disabilitas. Serta, memberikan pemahaman isu disabilitas kepada warga kampus.
Selain itu, terdapat fungsi lainnya, yaitu mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan akomodasi, menyediakan layanan konseling kepada mahasiswa disabilitas. Serta, melakukan deteksi dini bagi mahasiswa yang terindikasi penyandang disabilitas dengan merujuk kepada dokter, psikolog, atau psikiater.
Fungsi yang disebutkan khusus di dalam UU 8/2016 itu, menunjukkan begitu pentingnya keberadaan ULD di suatu kampus, yang mana pendirian dan kehadirannya wajib dijaga dan dilindungi oleh penyelenggara PT.
Tantangan
Sayangnya, amanat itu justru ternodai oleh Permen Ristek-Dikti No 46/ 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di PT. Pasal 10 ayat (1) Permen a quo berbunyi, ‘perguruan tinggi dapat membentuk unit layanan berkebutuhan khusus sebagai pusat sumber untuk mendukung penyelenggaraan Pendidikan Khusus.’
Ketentuan itu jelas bertentangan dengan Pasal 42 ayat (3) UU 8/2016. Di samping Permen a quo yang tidak mewajibkan secara nomenklatur bagi lembaga yang dimaksud sebagaimana diwajibkan menurut UU 8/2016. Poin terpenting yang harus dicermati bahwa pendirian ULD menurut Permen a quo bersifat fakultatif atau perbolehan, dengan kalimat ‘…dapat membentuk…’. Artinya, kewajiban penyelenggara PT untuk mendirikan lembaga itu sebagaimana diatur dalam UU 8/2016 dikesampingkan oleh Permen a quo.
Pertanyaan berikutnya, apakah hal itu berarti amanat PT untuk mendirikan ULD menjadi gugur? Tentu saja tidak. Pertama, dengan prinsip ‘lex superior derogat legi inferior’ yang berarti bahwa peraturan yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah derajatnya. Artinya, ketentuan yang mengatur ULD berdasarkan UU 8/2016, tidak bisa dikesampingkan oleh Permen a quo.
Kedua, dengan kesadaran diri akan kewajiban secara moral, sudah seharusnya kita berjuang dan menjaga komitmen bersama untuk memperjuangkan isu disabilitas. Tidak terkecuali bagi penyelenggara pendidikan tinggi yang diberi amanat untuk mewadahi kepentingan mahasiswa disabilitas dengan adanya ULD di kampus.
Diharapkan, kampus yang inklusif bukan lagi mimpi di siang bolong. Selain itu, hal ini menjadi evaluasi besar bagi Pemerintah pusat, khususnya dalam hal ini Kemenristek-Dikti yang mengeluarkan peraturan bertentangan dengan amanat UU 8/2016. Sekaligus, patut untuk meyakinkan kesungguhan kementerian terkait dengan memahami isu disabilitas dan komitmen untuk memperjuangkannya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved