Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
ILMUWAN di RI dikejutkan gugatan atau kriminalisasi karena keterangan keahliannya. Sebagaimana diberitakan Media Indonesia (Hentikan Kriminalisasi Dua Saksi Ahli IPB, 19/9/2018), Dosen IPB, Dr Basuki Wasis, digugat Rp3 triliun dan Rp1,47 miliar oleh terdakwa korupsi, Nur Alam.
Belum tuntas sidang bagi Basuki digelar, koleganya, Prof Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan IPB, digugat Rp10 miliar dan Rp500 miliar oleh PT JJP, awal Oktober 2018. Sekalipun kabar telah dicabut gugatannya untuk kasus Bambang Hero, telanjur menjadi masalah serius menampar posisi para ilmuwan. Terutama terkait dengan prinsip yang saat ini belum cukup kuat tertanam dan mentradisi dalam kehidupan pendidikan tinggi, yakni kebebasan akademik.
Kedua Dosen IPB itu digugat melakukan perbuatan melawan hukum karena keterangan ahli yang diberikan di muka persidangan. Keahlian mereka selama ini sama-sama didedikasikan untuk upaya penyelamatan SDA atau lingkungan, baik atas permintaan KLHK maupun KPK.
Basuki Wasis ialah ahli yang memberikan keterangan soal penghitungan kerugian negara akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Pulau Kabaena. Sementara itu, Bambang Hero berkait keterangan ahlinya soal kebakaran hutan dan lahan.
Gugatan demikian, mungkin pertama kalinya terjadi dalam konteks penegakan hukum di peradilan. Masalahnya, apakah tepat gugatan dialamatkan kepada akademisi atau ilmuwan yang membantu pemerintah dalam penegakan hukum, terutama berdasar keahlian dan hasil kajian akademiknya? Tentu ini mengusik para akademisi, sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan, terutama dalam menjalankan kebebasan akademiknya?
Serangan balik?
Sebenarnya aneh, tetapi nyata terjadi di Indonesia. Ilmu pengetahuan berbasis riset justru bisa diproses hukum. Itu tidak hanya merendahkan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga bagian dari upaya pembatasan kebebasan akademik. Kasus-kasus demikian, kerap disebut ‘serangan balik’ terhadap partisipasi publik dalam kasus-kasus kepentingan publik secara luas, termasuk isu lingkungan hidup dan korupsi. Ini dikenal sebagai Strategic Lawsuit Against Pubic Participation, atau gugatan strategis melawan partisipasi publik (SLAPPs).
Profesor George W Pring dan Penelope Canan dalam buku mereka, SLAPPs: Getting Sued for Speaking Out (1996), mengatakan konsep merujuk pada gugatan yang diajukan oleh subjek yang kuat (misalnya perusahaan, pejabat publik, dan pemodal berpengaruh) terhadap individu atau organisasi nonpemerintah yang menyatakan posisi kritis pada masalah substantif dari beberapa kepentingan politik atau kepentingan sosial.
Gugatan (atau bahkan pemidanaan) ditujukan untuk melemahkan kritik, intimidasi, menguras sumber daya mereka sehingga mereka tak lagi bisa terlibat aktif untuk kepentingan publik. Dwight H Merriam dan Jeffery A Benson (1993) menambahkan bahwa SLAPPs dilakukan berdasar kepentingan atau motif politik dan ekonomi tersembunyi.
Menyadari kerap terjadi serangan balik itu, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakomodasi ketentuan anti-SLAPPs. Ini terbaca dari Pasal 66 yang menyebutkan ‘setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat yang didasarkan iktikad baik tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata’.
Bahkan, berdasarkan Keputusan Ketua MA RI No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, pengadilan diwajibkan memutus terlebih dahulu melalui putusan sela bila terindikasi SLAPPs. Selama ini, peran Basuki Wasis dan Bambang Hero Saharjo telah ratusan kali membantu pemerintah memberikan keterangan ahli dalam kasus-kasus yang membawa perusahaan perusak lingkungan maupun koruptor bertanggung jawab. Oleh sebab itu, ‘serangan balik’ dalam bentuk gugatan itu harus berani dijawab pengadilan dengan menggunakan argumentasi hukum anti-SLAPPs.
Imunitas ilmuwan
Bila kedua kasus itu tetap diproses hukum dan bahkan dinyatakan bersalah atas keterangan ahlinya atau hasil risetnya, jelas preseden buruk dalam sistem hukum RI. Preseden buruk itu antara lain soal tidak lagi dilindunginya prinsip kebebasan akademik karena gugatan menyasar ke sivitas akademik. Pertama, secara konstitusional, kebebasan akademik bisa dijamin melalui penafsiran meluas atas ketentuan terkait dengan kebebasan menyampaikan pendapat, hak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memperoleh/menyimpan/menyampaikan informasi (Pasal 28, 28C, 28E, 28F UUD RI Tahun 1945).
Kedua, secara perundang-undangan, kebebasan akademik dilindungi UU No 39/1999 tentang HAM, serta pasal-pasal dalam UU No 11 dan 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (terkait dengan hak atas pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan (Pasal 13) dan Hak Sipil dan Politik (Pasal 19).
Sementara itu, secara khusus nan eksplisit, merujuk perlindungannya pada Pasal 8 jis 9 jis 54 (3) UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Berdasarkan UU itu, kebebasan akademik didefinisikan sebagai kebebasan sivitas akademik dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridarma (Pasal 9 ayat 1). Artinya, menyampaikan keterangan ahli berbasis karya atau pemikirannya di muka pengadilan merupakan kegiatan akademik yang harus dilindungi.
Dengan demikian, imunitas ahli atau ilmuwan, sesungguhnya berlaku dalam proses hukum di peradilan. Ini tak berarti keterangan ahli sama sekali tak bisa dipersoalkan. Pengujian itu bisa dilakukan di lingkungan akademik, baik institusi maupun asosiasi akademik terkait. Sayangnya, kebebasan akademik memang belum sepenuhnya menjadi tradisi dunia kampus kita. Kampus di RI masih sarat budaya feodalisme, dan politisasi birokrasi. Hingga, maraknya ‘brokerisme intelektual’ yang sekadar melayani koruptor, korporasi perusak lingkungan, dst.
Sekalipun demikian, tak berarti hakim maupun otoritas lain tak hargai prinsip kebebasan akademik. Justru sebaliknya, kedua kasus di peradilan itu diharapkan menjadi momentum putusan hukum dan sejarah baru yang penting bagi penegakan hukum di RI dalam rangka melindungi kebebasan akademik. Semoga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved