Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
MENGUTIP laporan International Telecommunication Union (ITU) 2017, Lin Taylor mengatakan bahwa secara global pengguna internet perempuan lebih rendah 12% daripada pengguna laki-laki. Pada sisi yang lain dunia digital juga telah menggerus setidaknya 12,5% jenis pekerjaan yang pernah ada.
Ada ungkapan ‘teknologi adalah panglima bagi kemajuan suatu negara.’ Digital tidak berkelamin, tetapi ia menjadi panglima suatu negara memenangkan kemajuan sebuah bangsa.
Perempuan digital
Statistica.com menunjukkan sampai akhir 2017 pendapatan perdagangan e-commerce Indonesia diperkirakan mencapai US$8,6 juta. Diperkirakan pada 2022, volume perdagangan digital kita akan mencapai US$16,5 miliar dengan tingkat pertumbuhan (CAGR) sebesar 17,7%.
Namun, problem yang dihadapi perempuan dalam era digital saat ini ialah kesenjangan keterampilan digital. Bahkan menurut Nafesh-Clarke dalam forum Kesetaraan Gender yang digelar di Chatham House London, In tech, it's a man's world. Seringkali digital gap didefinisikan hanya sebatas pengukuran kesenjangan akses seseorang terhadap komputer dan internet, padahal ada kesenjangan nyata antara perempuan dan laki-laki.
Era digital memandang perempuan baru sebatas konsumen. Lapangan ekonomi digital yang masih terus akan berkembang ini perlu diisi perempuan Indonesia sebagai aktor yang aktif. Tantangan ekonomi dunia digital ialah kreativitas dan selalu siap terhadap perubahan. Khusus bagi perempuan ada satu tantangan lagi yaitu digital gap yang harus segera diatasi.
Untuk urusan kreatif, kemampuan perempuan telah lama diakui masyarakat di dunia. Bahkan dalam periode-periode krisis ekonomi yang terjadi di banyak negara, perempuanlah yang paling berhasil survive. Namun, sayangnya kreativitas dalam era ekonomi digital belum banyak disentuh perempuan, termasuk di Indonesia.
Dalam hal kesiapan terhadap perubahan pun perempuan dikenal paling siap dan adaptif terhadap perubahan. Kehalusan rasa yang dimiliki perempuan yang kadang menjebaknya untuk memilih kompromi ketimbang kompetisi. Namun, bukan tidak mungkin perempuan-perempuan Indonesia menjadi aktor-aktor utama kompetisi dalam ekonomi digital.
Literasi digital memang masih menjadi masalah besar di Indonesia. Literasi digital, mengacu pada kemampuan individu untuk menemukan, mengevaluasi, memproduksi, dan mengomunikasikan informasi yang jelas melalui tulisan dan bentuk komunikasi lainnya di berbagai platform digital. Dalam situasi kesenjangan digital yang besar antara perempuan dan laki-laki, maka literasi digital ini makin berat dihadapi perempuan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi institusi pendidikan di Indonesia.
Pemerintah dan dunia usaha perlu memberi kesempatan berkembang bagi perempuan untuk mengembangkan bisnis digital di satu sisi dan pada sisi lain menyiapkan perempuan-perempuan muda dengan literasi serta kemampuan yang memadai untuk masa depannya.
Kemampuan digital dalam arti bukan hanya sekadar kemampuan sebagai pengguna atau konsumen. Namun, lebih dari itu kemampuan untuk menghasilkan nilai tambah dari dunia digital. Langkah ini bisa dimulai dari mengenalkan anak-anak perempuan terhadap perangkat digital dan mengajaknya untuk mengetahui jauh lebih dalam terhadap perangkat digital yang digunakan.
Dalam hal pengembangan kewirausahaan digital perempuan, perlu ada upaya serius agar perempuan dapat memperoleh akses permodalan yang sama besar dengan laki-laki. Cerita sukses Bank Grameen yang banyak melibatkan perempuan dalam penyaluran kredit perlu diperluas hingga permodalan ventura bagi perempuan.
Untuk mendukung hal tersebut perempuan harus berani keluar dari pola dan mindset lama. Perempuan harus berani memulai bisnis tidak lagi beralas modal (ekuitas) dari jaringan keluarga atau kerabat dengan jumlah kecil, tetapi dari lembaga finansial dengan risiko terukur yang mungkin lebih besar.
Perempuan harus lebih tekun untuk mengawasi inkubasi bisnisnya ketimbang mendatangi seminar-seminar wirausaha dan motivasi. Perempuan harus memiliki juga mindset sebagai pencari nafkah utama keluarga yang dengan hal tersebut, ia akan mampu bertahan dalam usaha yang dibangunnya ketimbang meninggalkannya dengan alasan pernikahan, memiliki anak, dan sejenisnya.
Perempuan harus berani mengambil modal dari angel and venture capital untuk usaha digitalnya ketimbang pembiayaan ekuitas (equity financing). Perempuan harus melawan stereotip gender yang dihadapinya.
Industri di era digital, science, technology, engineering, and mathematics (STEM) memiliki prospek yang masih akan terus menjanjikan. Karenanya, perempuan harus lebih banyak dilibatkan sejak awal. Partisipasi perempuan dalam pendidikan berbasis STEM harus terus ditingkatkan agar penguasaan digital makin tinggi dan digital gap antara perempuan dan laki-laki bisa semakin sempit, bahkan mungkin mengungguli laki-laki. Demikian juga halnya dengan akses terhadap permodalan.
Riset yang dilakukan lembaga profesional untuk menilai kepemimpinan dalam industri telah banyak membuktikan bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan telah banyak yang masuk jalur fast track dalam mencapai karier middle to top management. Role model yang demikian ini harus menjadi pertimbangan besar perempuan bahwa ia mampu memenangi kompetisi dalam ekonomi digital.
Keberhasilan perempuan untuk memenangi persaingan dalam ekonomi digital akan mampu mengatasi banyak problem ekonomi lainnya. Ketimpangan perlakuan terhadap pekerja perempuan, upah rendah, dan diskriminasi berbasis gender yang terjadi di berbagai bidang akan dapat teratasi jika mindset perempuan pun telah berubah. Dari pekerja yang diperlakukan tidak setara menjadi pengusaha yang mampu berkontribusi bagi ekonomi negaranya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved