Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Pilpres 2019, Selamat Tinggal SARA

Gantyo Koespradono, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
10/8/2018 16:04
Pilpres 2019, Selamat Tinggal SARA
(Ist)

SETIAP kali pemilu digelar, baik pemilu presiden, kepala daerah maupun legislatif, politik identitas selalu dikedepankan oleh mereka yang berkepentingan meraih kemenangan. Para elite politik dan pemodal yang berkepentingan dengan kekuasaan hampir selalu memanfaatkan (baca: menunggangi) agama untuk memenangkan kontestasi.

Pengalaman paling buruk dalam sejarah pemilihan kepala daerah adalah ketika pilkada digelar di DKI Jakarta tahun 2017. Demi politik identitas, kebencian, fitnah, hoaks, ujaran kebencian dan bentuk kejahatan lainnya dibungkus begitu manis dengan jubah agama.

Opini ngawur dan keliru dibangun -- lagi-lagi mengatasnamakan agama -- bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menistakan agama yang membuatnya tidak saja kalah dalam pilkada, tetapi juga meringkuk di penjara. Padahal Ahok cuma korban fitnah. Celakanya, tak seorang pun yang merasa berdosa atas ini semua.

Jauh sebelum itu, politik identitas juga dijadikan barang jualan ketika Pilpres 2014 digelar. Pihak yang kalah mendiskreditkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai anti-Islam dan antiulama tanpa argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Politik identitas yang sarat dengan fitnah dan kebencian untuk mendapatkan pembenaran itu terus terpelihara ketika Jokowi terpilih menjadi presiden dan bekerja untuk semua rakyat yang memilih atau tidak memilihnya.

Suasana yang sangat tidak kondusif dan produktif itu terus berlangsung saat Jokowi diusung oleh sembilan parpol untuk dicalonkan kembali sebagai presiden periode 2019-2024 kemarin (9 Agustus 2018) dan telah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini, Jumat (10 Agustus).

Banyak orang terkejut ketika Jokowi atas saran dan pertimbangan sembilan parpol pendukung memilih Ma'ruf Amin, seorang ulama, sebagai calon wakil presiden buat Jokowi.

Namun, saya tidak terkejut, sebab dua bulan lalu di sebuah portal opini (Seword) saya sudah menulis bahwa Ma'ruf Amin layak mendampingi Jokowi sebagai wapres.

Alasan saya sederhana, hanya melalui Ma'ruf Amin-lah, lambat laun politik identitas tereliminasi. Jauh-jauh hari saya menengarai Jokowi bakal memilihnya sebagai wapres, sebab ketika politik identitas digaungkan pihak sebelah dengan menebarkan kebencian, Jokowi kerap berkomunikasi dengan para ulama.

Berkali-kali saat bertemu dengan ulama, Jokowi selalu mengatakan bahwa kerja sama antara ulama dan umara (pemerintah) sangat penting dalam upaya menjaga perdamaian dan persaudaraan guna menjadikan Indonesia ke depan lebih baik.

Pada sisi lain Ma'ruf Amin juga kerap menjadi bemper pemerintahan Jokowi jika sang presiden diserang oleh pihak yang selama ini nyinyir dan menuding Jokowi anti terhadap agama tertentu, sehingga layak diganti, termasuk mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah.

Sebagai kepala negara, Jokowi sebenarnya bisa memerintahkan aparat keamanan untuk menangkap mereka. Namun, Jokowi tidak ingin berkonfrontasi dengan orang-orang yang tidak tahu diri itu.

Memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapres (semoga terpilih dalam Pilpres 2019) adalah cara paling jitu bagi Jokowi untuk menebang dan membersihkan pohon dari benalu. Dengan begitu ke depan, bangsa ini bisa lebih fokus membenahi dirinya sendiri dan mampu mengejar ketertinggalannya dengan bangsa lain.

Terus terang bangsa ini lelah sebab hampir setiap hari mengonsumsi informasi-informasi yang di dalamnya sarat dengan pertentangan dan kebencian. Setiap hari kita disibukkan dengan pro kontra urusan remeh temeh yang sebenarnya bisa selesai jika kita membereskannya secara pribadi dengan Tuhan.

Saya percaya Jokowi dan sembilan partai pendukung memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapres karena mereka tidak ingin sentimen SARA dan kebencian yang berpotensi memecah belah persatuan sebagaimana dipamerkan pada saat Jakarta menggelar pilkada terulang dalam proses Pilpres 2019.

Kita tentu layak mengapresiasi Jokowi dan tim pendukungnya yang secara berani dan tidak populer akhirnya memilih Ma'ruf yang (maaf) telah sepuh untuk dicalonkan sebagai wakil presiden.

Sebaliknya kita juga pantas memberikan apresiasi kepada Prabowo dan Partai Gerindra yang akhirnya memutuskan untuk mengusung Sandiaga Uno sebagai cawapres.

Kita tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika Prabowo mencawapreskan Salim Segaf Aljufri atau Abdul Somad seperti yang dimaui oleh PKS?

Jika itu yang terjadi, maka dalam kontestasi Pilpres 2019, sangat mungkin akan terjadi "perang" antarulama, yaitu Ma'ruf Amin di pihak Jokowi dan Segaf atau Somad di pihak Prabowo.

Sekali lagi, kita patut memberikan apresiasi kepada Prabowo. Bahwa dua nama itu (Salim Segaf dan Somad) tereliminasi lantaran ada politik transaksional antara Gerindra dan PAN/PKS, itu lain soal. Yang penting dengan berbagai cara, Prabowo lewat keputusannya telah mengeliminasi politik identitas yang kerap menggunakan SARA untuk meraih kemenangan.

Ibarat nyaris tertinggal kereta api, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat juga layak kita apresiasi karena berani malu bergabung kembali ke Koalisi Prabowo yang sebelumnya dianggap telah mengkhianati Demokrat. Di detik-detik terakhir, Demokrat akhirnya mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.

Dramaturgi proses pencalonan presiden dan wakil presiden untuk sementara ini berakhir sudah. Pihak Jokowi mengklaim punya pasangan nasionalis-religius, sedangkan di pihak Prabowo, diakui atau tidak punya pasangan yang berjiwa nasionalis.

Disederhanakan, dalam Pilpres 2019, sebenarnya hanya ada pasangan nasionalis yang akan berhadapan dengan pasangan nasionalis. Bahwa di dalam Koalisi Prabowo ada PKS dan PAN yang selama ini bernafsu (terang-terangan atau pura-pura) ingin mengkhilafahkan Indonesia, maka ini menjadi tugas Gerindra dan Demokrat untuk menyadarkan kedua partai itu, terutama PKS.

Saya percaya SBY yang ahli strategi punya kemampuan secara konstitusional untuk mengeliminasi ideologi yang diusung PKS. Jangan sampai politik identitas dan SARA tetap dijadikan andalan oleh PKS untuk memenangkan junjungannya, Prabowo.

Pilpres 2019 adalah momentum emas bagi Prabowo untuk membuktikan bahwa sosoknya dan Gerindra adalah nasionalis sejati dan tidak menjadikan agama sebagai lapak untuk berjualan guna meraih kemenangan.

Jika Prabowo dan SBY mampu melakukannya dan tidak tunduk kepada apa yang dimaui PKS, maka dalam hajatan Pilpres 2019, layak kalau bangsa ini bersuka cita berkata: "Selamat tinggal politik identitas. Selamat tinggal SARA."(*)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya