Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

PKS Semakin Termarginalkan di Koalisi Prabowo

Gantyo Koespradono, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta
02/8/2018 18:07
PKS Semakin Termarginalkan di Koalisi Prabowo
()

KEHADIRAN Partai Demokrat dalam Koalisi Prabowo ternyata memunculkan  ketidaknyamanan buat parpol yang sebelumnya sudah menjalin kemesraan dengan Gerindra dan kemesraan itu terancam cepat berlalu.

Diakui atau tidak, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah anggota Koalisi Prabowo yang sangat militan untuk memenangkan junjungannya, Prabowo, sebagai presiden agar tagline "2019 Ganti Presiden" tak berakhir sekadar sablonan kaos.

Kita bisa memahami mengapa PKS begitu bernafsu merapat ke Gerindra, sebab sebagai partai yang perolehan suaranya satu digit pada Pemilu 2014, tentu ingin eksis.

Berbagai cara ditempuh PKS untuk eksis. Cara yang dianggap ampuh adalah mengapitalisasi agama dengan melakukan pendekatan ke para "ulama".

Praktis tiada hari bagi PKS untuk tidak mengadakan kegiatan yang sarat dengan simbol-simbol agama. Munculnya nama Salim Segaf Aljufri dan Ustad Abdul Somad sebagai kandidat bakal calon wakil presiden buat Prabowo dengan "meminjam" mulut para "ulama" tempo hari juga berkat sumbangsih PKS.

Dua nama itulah yang dipaksakan PKS kepada Koalisi Prabowo untuk diterima sebagai cawapres Prabowo. Bahwa kemudian Abdul Somad tidak bersedia menerima "pinangan" para "ulama" PKS  sangat mungkin itu bagian dari skenario agar Salim Segaf yang kebetulan menjabat sebagai ketua Majelis Syuro PKS muncul sebagai calon tunggal cawapres ala PKS. Dengan begitu Salim menjadi satu-satunya cawapres versi PKS yang diklaim telah direstui ulama.

Tidak diterimanya Prabowo yang akan "sowan" ke Somad dengan alasan sang ustad sibuk, boleh jadi juga adalah bagian dari skenario cantik PKS "secantik" drama ketika mobil Neno Warisman tiba-tiba meledak. Masa sih tokoh sekaliber Prabowo tak begitu dianggap oleh Somad?

Kehadiran pendatang baru, Partai Demokrat, dalam barisan Koalisi Prabowo membuat skenario yang telah disiapkan PKS mau tidak mau harus direvisi.

Tidak ada makan siang yang gratis. Kesediaan Demokrat (SBY) bergabung ke Koalisi Prabowo tentu dengan syarat. Syarat itu paling tidak adalah tambahan kuota nama untuk cawapres buat Prabowo. Siapa lagi kalau bukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Secara tersirat Prabowo telah memberikan sinyal positif buat Demokrat. "AHY, why not?" kata Prabowo saat ditanya wartawan siapa yang nanti akan dicawapreskan koalisinya.

Diakui atau tidak, kehadiran Demokrat dalam Koalisi Prabowo memang membuat posisi koalisi ini lebih bergengsi dan punya posisi tawar lebih tinggi daripada kalau hanya menggandeng PKS dan PAN. Harap maklum, dalam Pemilu 2014 lalu, perolehan kursi Demokrat di DPR 10,1 persen, sementara Gerindra 11,8 persen.

Melihat komposisi perolehan suara seperti itu, kalau mau, sebenarnya Gerindra dan Demokrat bisa membuat koalisi sendiri untuk mengusung capres-cawapres sendiri tanpa PKS dan PAN. Syarat bagi parpol dan koalisi untuk bisa mengusung capres adalah mereka harus punya 20 persen kursi di DPR.

Fakta di lapangan sulit bagi Koalisi Prabowo + Demokrat untuk membuang begitu saja PKS dan PAN, sebab Gerindra juga membutuhkan PKS yang maaf sudah terlanjur bermuka tebal saat menyosialisasikan tagline "2019 Ganti Presiden".

Namun, ketika urusan siapa yang pantas jadi cawapres Prabowo -- menyusul kehadiran Demokrat -- mengemuka, PKS memang termarginalkan, meskipun mungkin saja ada yang mengatakan (jika dikaitkan dengan perolehan suaranya dalam Pemilu 2014), PKS sombong dan tidak tahu diri. "Suara segitu kok memaksakan diri kadernya jadi cawapres."

Situasi seperti itu beda tipislah dengan PAN yang sesepuhnya, Amien Rais, juga berambisi menjadi calon presiden padahal perolehan kursi PAN di DPR hanya 7,5 persen.

Tapi, itulah dinamika politik di Indonesia, sesuatu yang sebenarnya penting bagi kelangsungan bangsa dan negara, dijadikan main-main. Jabatan presiden diidentikkan dengan jabatan ketua RT atau koordinator arisan.

Jika PKS ngotot mengajukan Salim Segaf sebagai cawapres buat Prabowo dan tidak ada titik temu, jangan-jangan Prabowo dan SBY akan mengambil jalan tengah, tidak mengusung Prabowo sebagai calon presiden.

Solusinya, Gatot Nurmantyo yang dicapreskan dan AHY cawapres. Ini politik Bung. Mari kita tunggu. (*)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya