Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
BERITA statistik 16 Juli 2018 terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penurunan angka kemiskinan bulan Maret 2018 menggenapi euforia partai final Piala Dunia yang terjadi sehari sebelumnya. BPS menyatakan bahwa menurut statistik angka kemiskinan Maret 2018, jumlah penduduk miskin mencapai 9,82% pada Maret 2018, atau berkurang jika dibandingkan dengan pada September 2017 yang mencapai 10,12%.
Tercatat sebanyak 633,2 ribu orang yang terdiri atas 128,2 ribu orang di perkotaan dan 505 ribu orang di perdesaan berhasil keluar dari kemiskinan. Pemerintah mengklaim bahwa kemiskinan satu digit merupakan terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Di tengah euforia dan glorifikasi berlebihan dari pemerintah mengenai angka kemiskinan terendah, suara sumbang muncul dari berbagai kalangan, baik yang mempertanyakan mengenai metode perhitungan maupun ketidaksukaan terhadap keberhasilan. Tulisan ini akan menyoroti tiga hal utama terkait dengan euforia kemiskinan satu digit ini. Pertama, sumber penurunan kemiskinan Maret 2018. Kedua, kontradiksi kemiskinan dan ketimpangan perdesaan. Ketiga, suara-suara sumbang masyarakat terhadap pengukuran kemiskinan.
Makna di balik angka
Penurunan kemiskinan periode Maret 2018 sedikit banyak menimbulkan tanya karena kenaikan harga beras sebesar 8,57% dalam kurun September 2017-Maret 2018 (BPS, 2018). Kenaikan harga beras sebagai komponen utama dalam garis kemiskinan akan berkontribusi besar terhadap kemiskinan.
Kita patut bersyukur bahwa kenaikan harga beras tidak menimbulkan kenaikan kemiskinan karena pemerintah secara efektif dan tepat waktu melakukan mitigasi dampak kenaikan harga besar dengan menyalurkan bantuan sosial tunai dan distribusi beras sejahtera (rastra) tepat waktu.
Realisasi distribusi rastra pada Januari, Februari, dan Maret 2018 mencapai 99%, sedangkan distribusi bantuan sosial tunai tumbuh sebesar 87.6%. Kebijakan rastra dan bantuan sosial tunai merupakan mitigasi tepat untuk kenaikan harga beras. Akan tetapi, distribusi besar-besaran kedua kebijakan ini menjelang survei Susenas Maret 2018 dapat diartikan kebijakan penurunan kemiskinan artifisial dan semu karena penurunan kemiskinan bukan dari kegiatan produktif, melainkan berkat bantuan pemerintah.
Keberhasilan perlu diapresiasi sebagai hasil jerih payah bersama, baik pemerintah pusat-daerah-desa maupun aktor pembangunan nonpemerintah (LSM, swasta, ormas dll). Kita tidak boleh berpuas diri, di balik angka 9,82% ada 25,95 juta manusia masih berjuang di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena lama dengan 61% (15,81 juta) orang miskin tinggal di perdesaan.
Dana desa dan kemiskinan perdesaan
Melihat angka kemiskinan dan ketimpangan perdesaan dengan saksama, selalu memunculkan tanda tanya. Kemiskinan dan ketimpangan di perkotaan menunjukkan tren penurunan, sedangkan kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan menunjukkan arah yang berlawanan. Kemiskinan di perdesaan mengalami penurunan sebesar 0,5 poin persen, sedangkan ketimpangan mengalami peningkatan angka Gini dari 0,320 (September 2017) menjadi 0,324 (Maret 2018). Semua orang akhirnya bertanya, bagaimana kontribusi dana desa yang ada dengan kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan?
Secara konseptual dana desa akan menurunkan kemiskinan dengan berbagai aktivitas seperti program padat karya dan program-program pemberdayaan masyarakat desa. Di sisi lain, dana desa bisa meningkatkan ketimpangan pendapatan di perdesaan jika pola pembangunan yang dibiayai dana desa bersifat tidak inklusif, bahwa hanya kelompok masyarakat atas/elite/aparatur di perdesaan yang berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, sedangkan kelompok terbawah tidak terlibat atau dilibatkan dalam penggunaan dana desa.
Indikasi awal bahwa dana desa cenderung meningkatkan ketimpangan selaras dengan publikasi BPS. Data BPS menunjukkan pengeluaran rata-rata per kapita masyarakat desa periode September 2017–Maret 2018 untuk 40% terbawah, 40% menengah, dan kelompok 20% teratas berturut-turut mengalami pertumbuhan sebesar 2,93%, 2,35%, dan 4,95%.
Pertumbuhan pengeluaran kelompok masyarakat 40% terbawah berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, sedangkan pertumbuhan pengeluaran 20% kelompok teratas yang jauh lebih besar daripada pertumbuhan 40% kelompok terbawah menyebabkan peningkatan angka ketimpangan (indeks Gini).
Kontradiksi ini menyadarkan kita semua bahwa kebijakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan seperti dana desa tidak selamanya sejalan dengan kebijakan penurunan ketimpangan. Bagaimana menyelaraskan kebijakan penurunan kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan? Apakah mendorong perpindahan pekerja sektor pertanian ke sektor nonpertanian merupakan solusi penanggulangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan di perdesaan seperti anggapan banyak orang?
Moeis & Dartanto (2018) menunjukkan dengan menggunakan data panel IFLS 2000, 2007, dan 2014, bahwa perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian akan meningkatkan kesejahteran di masa lalu (periode 2000-2007), tetapi bukan saat ini (periode 2007-2014). Petani yang rata-rata berpendidikan rendah akan sulit bersaing untuk bekerja di sektor industri maupun jasa. Jikapun mampu pindah, mereka hanya akan pindah ke sektor industri dan jasa yang informal dan rendah nilai tambahnya.
Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan di perdesaan meliputi tiga hal utama. Pertama, penggunaan dana desa yang inklusif dengan kelompok bawah harus terlibat aktif dalam proses pembangunan. Kedua, intensifikasi dan mekanisasi pertanian serta peningkatan kualitas SDM petani. Ketiga, menjaga kepemilikan tanah pertanian tidak berpindah tangan dan/atau meningkatkan kepemilikan aset tanah pertanian.
Ukuran baru kemiskinan
Angka kemiskinan satu digit menimbulkan perbincangan di kalangan masyarakat awam. Perbincangan angka kemiskinan serta garis kemiskinan di kalangan awam memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan karena ada kesadaran baru dari masyarakat mengenai data statistik serta isu pengukuran kemiskinan yang dianggap tidak relevan. Kekhawatiran jika isu-isu pengukuran kemiskinan dipolitisasi dan dibumbui dengan kebencian sehingga yang terjadi ialah kegaduhan dan perdebatan kata di dunia maya yang miskin makna.
Kenapa masyarakat awam mulai mempertanyakan ukuran garis kemiskinan? Apakah mungkin seorang bisa hidup dengan Rp400 ribu/sebulan? Dartanto dan Otsubo (2013) menunjukkan secara saksama ukuran-ukuran kemiskinan akan berubah seiring dengan level pembangunan ekonomi sebuah masyarakat. Masyarakat yang masih terbelakang (less developed countries) akan fokus pada ukuran kemiskinan pangan, sedangkan masyarakat sedang berkembang (developing countries) ukuran kemiskinan terletak pada kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan). Adapun pada kelompok emerging countries, ukuran kemiskinan bersifat relatif.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia tanpa disadari telah mengubah persepsi apa itu kemiskinan? Masyarakat mulai mempertanyakan konsep pengukuran kemiskinan versi BPS (kebutuhan dasar) yang dianggap kurang relevan menggambarkan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Walaupun secara akademis data dan metodologi pengukuran kemiskinan versi BPS tidak ada yang salah, pemerintah harusnya mulai memikirkan pengukuran-pengukuran baru kemiskinan yang lebih merefleksikan kondisi kemiskinan yang bersifat multidimensi.
Kemiskinan multidimensi lebih menggambarkan kondisi kemiskinan dan kualitas hidup yang sebenarnya dan juga sejalan dengan konsep pembangunan inklusif yang mencakup partisipasi, kontribusi, dan pembagian hasil pembangunan yang adil.
LPEM FEB UI (2017) dengan menggunakan empat dimensi (standar hidup, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan) dengan 12 indikator menunjukkan angka kemiskinan multidimensi di Indonesia pada 2016 sebesar 17,5%, jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kemiskinan moneter versi BPS sebesar 10,7%.
Janganlah ketakutan-ketakutan terhadap besarnya angka kemiskinan multidimensi menyebabkan kita semua abai dari potret kemiskinan yang sesungguhnya. Pendekatan multidimensi akan membantu pemerintah dan pihak lain yang terlibat untuk menyusun kebijakan program yang lebih terukur dan sesuai dengan apa itu esensi kemiskinan. Adopsi perhitungan kemiskinan multidimensi dapat mendorong percepatan pencapaian target-target yang tertuang dalam SDGs (sustainable development goals).
Kemiskinan bukan sekadar angka-angka statistik bisu yang harus diturunkan persentasenya dari tahun ke tahun sebagai salah satu indikator kesuksesan dalam menjalankan roda pemerintahan. Kemiskinan bukan hanya sebatas angka, melainkan sebuah entitas yang hidup dan berkembang menurut dimensi ruang dan waktu.
Perubahan persepsi masyarakat terhadap apa itu kemiskinan serta penurunan angka kemiskinan satu digit merupakan momentum berharga bagi pemerintah mendatang untuk berani keluar dari kebiasaan lama, dengan memunculkan inovasi-inovasi baru yang kekinian dalam perhitungan kemiskinan maupun kebijakan pengentasannya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved