Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Meraih Peluang dari KTT NATO

Berlian Helmy Direktur Pengkajian Politik, Lemhannas RI
20/7/2018 00:45
Meraih Peluang dari KTT NATO
()

KTT NATO yang baru saja dilaksanakan pekan lalu (11-12 Juli 2018 di Brussels) belum bisa memenuhi harapan negara-negara anggotanya, terutama dalam menghadapi perubahan lingkungan strategis kawasan (Eropa) akibat tindakan agresivitas Rusia di Eropa dan Timur Tengah, serta kedekatan Rusia dengan Tiongkok yang mengubah tingkat soliditas dan tatanan hubungan antarnegara kawasan yang menjadi sekutu AS di bawah NATO.

Hasil KTT NATO yang disepakati salah satunya ialah penguatan anggaran militer mengharuskan negara-negara di ‘Benua Biru’ tersebut melakukan penyesuaian kebijakan dan strategi dalam mengakomodasi perubahan yang terjadi. Berdasarkan situasi itu, apa yang menjadi peluang bagi Indonesia dalam melihat perubahan strategi kebijakan militer Eropa dalam aliansi NATO saat ini?

Bagi AS, NATO dipandang sebagai aliansi yang ‘terpecah’ akibat perbedaan kepentingan nasional anggotanya. Perpecahan ini diawali dengan unilateralisme Jerman dalam kontrak gas alam dengan Rusia, negara-negara Balkan yang kebijakannya cenderung pro-Rusia, negara-negara Eropa Selatan yang berorientasi inward looking terhadap pengamanan ekonomi dalam negerinya dari krisis.

Perpecahan ini membuat AS ragu terhadap komitmen NATO dalam menghadapi Rusia. Kebijakan unilateralisme Jerman sebagai major power NATO ini kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lain. Kesepakatan pipa gas ini menyebabkan Eropa sangat bergantung pada Rusia. Di satu pihak, kesepakatan ini memberikan keuntungan bagi Rusia.

Di pihak lain, hal ini kembali berdampak terhadap Rusia karena gas alam merupakan jenis komoditas terbatas keberlangsungannya. Selain kesepakatan pipa gas, negara-negara di Eropa membentuk kerja sama tersendiri. Hal ini tecermin dengan meningkatnya eksistensi blok-blok kerja sama baru seperti Visegrad Group.

Membaiknya hubungan negara-negara NATO dengan Rusia memaksa AS untuk melakukan rekalibrasi terhadap Rusia. Hal ini disebabkan AS berupaya untuk menjaga kepercayaan dan posisinya agar tidak ditinggalkan mitra strategisnya di Eropa. Walaupun AS-NATO sebelumnya telah menyepakati komitmen bersama untuk menghadapi ancaman Rusia.

Komitmen bersama ini kehilangan tujuannya ketika beberapa anggota NATO mulai berpaling dari kesepakatan awal akibat perbedaan kepentingan nasional anggotanya. Sebagai konsekuensinya, AS terancam ‘menghadapi’ Rusia sendirian di Eropa. Hal ini dipandang AS sebagai salah satu alasan untuk melakukan pendekatan seperti mitranya di Eropa terhadap Rusia.

Sementara itu, bagi Jerman dan Prancis sebagai negara tulang punggung NATO, memburuknya kondisi finansial negara-negara anggota NATO menyebabkan tidak tercapainya postur ideal NATO. Tidak tercapainya postur ideal ini menimbulkan ‘beban’ finansial dalam operasional NATO.

Sebagai negara tulang punggung NATO, Jerman dan Prancis akan harus menyelesaikan ‘beban’ finansial itu dengan mendistribusikan ke seluruh anggota NATO melalui kesepakatan seluruh anggota NATO harus meningkatkan anggaran pertahanannya dari 2% (dari GDP) menjadi 4%.  

Kesepakatan ini dikhawatirkan akan memberatkan negara anggota NATO lain khususnya negara-negara di kawasan Eropa Timur dan Balkan yang sedang mengalami permasalahan ekonomi. Hal ini akan meningkatkan potensi keinginan dari negara-negara anggota NATO untuk mengundurkan diri dari aliansi akibat persyaratan yang berat.

Berdasarkan fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa arsitektur keamanan terikat seperti NATO tidak menjamin soliditas anggota di dalamnya. Hal ini terlihat dengan kebijakan anggota di dalamnya yang mengambil sikap masing-masing terhadap kepentingannya.

Selain itu, peningkatan porsi anggaran militer NATO dalam mencapai Funding Afghan Forces 2024 sulit tercapai karena menimbulkan kontraksi dengan keinginan NATO untuk meningkatkan standarisasi persenjataannya. Selain itu, beberapa program NATO lainnya, seperti 4.30 (four thirty readiness), NATO Mission in Iraq, dan New Command Structure akan turut terpengaruh.

Pelajaran Polugri bagi RI
Dari KTT itu Indonesia dapat memperoleh sebuah pelajaran bahwa hubungan luar negeri bersifat dinamis dan hanya akan terikat melalui suatu ‘kepentingan bersama’. Jika dikaitkan dengan pedoman politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, posisi Indonesia dianggap ‘sudah tepat’ dalam memosisikan dirinya di politik internasional.

Selain itu, terdapat peluang yang menjanjikan dari perkembangan situasi Eropa dan Indonesia bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kapasitas industri pertahanan nasional, dalam aspek teknologi maupun sumber daya manusia melalui pengembangan lingkup kerja sama teknik militer secara bilateral dengan negara-negara anggota NATO.


         



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya