Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
RAJA Astina Prabu Duryudana risau dengan masa depan putranya, Lesmana Mandrakumara. Kegelisahan itu terus menghantuinya karena anak lelaki satu-satunya tersebut bermasalah, menderita keterbelakangan mental.
Sebagai ayah, Duryudana sangat berharap Lesmana bisa mengikuti jejaknya sebagai penguasa Astina di kemudian hari. Seberapa pun banyaknya modal yang dibutuhkan, ia siap menebusnya asalkan putra sulungnya tersebut bisa menduduki singgasana raja.
Dari aspek finansial dan politik, Duryudana memiliki modal yang sangat besar. Apalagi ia masih berkuasa sehingga kinilah saat yang tepat untuk mempersiapkan Lesmana menjemput masa depannya.
Pujangga negara Resi Durna dan Patih Sengkuni ditunjuk sebagai mentor putra mahkota itu. Jadi, selain melaksanakan tugas-tugas kenegaraan yang menjadi kewajiban utamanya, kedua nayaka praja tersebut ditugasi menyukseskan karier Lesmana. Tentu, keduanya diberi tambahan gaji serta berbagai fasilitas atas pekerjaan tambahnya tersebut.
Keduanya lalu menyusun berbagai program akselerasi politik. Dibentuk pula tim pemenangan yang direkrut dari kalangan anak muda progresif dari segala penjuru. Para spiritualis pun dikondisikan. Singkatnya, tim sukses Lesmana berlapis-lapis, lengkap, dan kuat.
Namun, kodratnya bicara lain. Segala dukungan luar biasa untuk menopang Lesmana ternyata tidak berarti apa-apa. Lesmana memang bukan sosok nyaman bagi bersemayamnya wahyu kanarendran.
Wahyu Cakraningrat
Alkisah, dalam 'rapat kabinet', Duryudana mengungkapkan mimpinya. Mimpinya itu ia yakini berkategori puspatajem, yang artinya semacam 'wangsit' dan petunjuk bakal terjadinya suatu peristiwa. Mimpinya itu begitu jelas dan membekas dalam hati dan pikirannya.
Dalam mimpinya dewa menurunkan Wahyu Cakraningrat ke marcapada. Wahyu yang juga dikenal sebagai Wahyu Kanarendran itu akan jatuh di Hutan Krendawahana. Dewa berpesan, barang siapa yang mampu mendapatkannya, akan menjadi raja atau menurunkan para raja.
Setelah berembuk, Duryudana mengambil keputusan bahwa Lesmana harus keluar dari istana mencari wahyu tersebut. Ia perintahkan Durna membimbing perjuangan secara spiritual, Sengkuni menyiapkan urusan logistik, sedangkan Karna Basusena bertanggung jawab pada keamanan Lesmana selama teteki, menjalani laku prihatin di hutan.
Terus terang, ini menjadi tantangan terberat bagi Lesmana. Seumur-umur ia tidak pernah menjalani laku prihatin dan ngambah (menginjak) belantara. Dan di wilayah asing dan angker itu, ia harus menenangkan jiwa dan mengendalikan semua nafsunya.
Singkat cerita, tibalah Lesmana beserta tim suksesnya di Hutan Krendawahana. Saking banyaknya anggota rombongan dan logistik yang mereka bawa, sepanjang jalan yang mereka lewati terdengar riuh dan gaduh. Warga pun terbengong-bengong melihatnya.
Mereka kaget karena di hutan itu sudah ada dua kontestan lain yang juga berjuang mendapatkan wahyu di tempat itu. Mereka adalah Samba, putra Raja Dwarawati Prabu Harimurti alias Kresna. Ia datang lebih dulu didampingi sang paman, Setyaki dan Udawa. Pemburu wahyu lainnya adalah Abimanyu, putra Arjuna, yang hanya ditemani oleh panakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Berpesta pora
Ketiga kompetitor bertapa di tempat yang berbeda sesuai dengan pilihan masing-masing. Mereka gentur mahasing semun (bertapa) menutup babahan hawa sanga, menidurkan segala macam nafsu yang bersumber dari sembilan lubang jendela pada diri manusia.
Sejak awal Lesmana telah meminta para pengawalnya, terutama Durna dan Sengkuni, tidak boleh jauh-jauh dari tempatnya bersemedi. Berbeda dengan dua kontestan lainnya, selama menjalani laku prihatin itu, Lesmana tampak tidak tenang dan selalu gelisah.
Pada suatu malam, rombongan dari Astina terpana ketika tiba-tiba muncul teja kebiruan menerangi tempat di mana Lesmana berada. Lesmana pun sangat ketakutan karenanya. Serta merta ia bangkit dari semedinya dan berlari menghambur ke arah Durna dan Sengkuni. Dengan nafas tersengal-sengal dan keringat dingin, Lesmana meracau tidak karu-karuan.
Durna memeluk Lesmana dan menenangkannya. Ia bisikan bahwa upaya mendapatkan wahyu telah berhasil. Wahyu Cakraningrat telah merasuk dalam dirinya. Kabar itu kemudian menyebar ke semua anggota rombongan sehingga dalam sekejap hutan menjadi gaduh. Mereka bersorak-sorai.
Sebagai ungkapan kegembiraan, Lesmana dan semua pendukungnya lalu menggelar pesta pora di tempat. Mereka makan-minum sepuas-puasnya hingga hingga lupa diri. Tidak sedikit rombongan, sebagian besar dari keluarga Kurawa, menggelepar mabuk berat.
Lesmana pun larut dalam pesta itu. Ia menenggak tuak bergelas-gelas dan berulang kali tersedak akibat terburu-buru. Bukan itu saja, Lesmana juga tidak henti-hentinya mengunyah daging kesukaannya. Berbagai macam keju kegemarannya pun ia lalap dengan rakus.
Durna yang sejak awal telah mewanti-wanti Lesmana dan semua anggota rombongan untuk tetap tawadu, diabaikan. Suara teriakan sang begawan tenggelam di tengah gemuruh rombongan yang terbuai kegembiraan.
Kekuasaannya pupus
Pada saat itu mendadak muncul lagi cahaya yang kemudian terbang menghilang dengan cepat. Hanya Durna yang memahami apa yang sedang terjadi. Ia lalu menengadah ke langit, telapak tangannya menepuk-nepuk dahinya, dan kemudian pecahlah tangis penyesalan.
Durna lalu mondar-mandir sambil mengumpat ke sana kemari sejadi-jadinya. Ia kecewa, bahwa Wahyu Cakraningrat yang sebenarnya sudah bersemayam dana diri Lesmana akhirnya pergi akibat tidak nyaman berada dalam diri putra Duryudana tersebut.
Seketika suasana jadi hening. Semua anggota rombongan tampak sedih dan kecewa. Tapi, Lesmana tampak biasa-biasa saja. Ia seperti tidak merasakan apa-apa. Malah, ia masih meneruskan kesukaannya menguyah keju hingga bertengkel-tengkel.
Pada akhirnya, wahyu itu masuk ke dalam diri Abimanyu setelah sebelumnya sempat mampir ke Samba. Kesatria Plangkawati itu memang tidak sempat menjadi raja karena gugur dalam perang Bharatayuda. Namun, ia menurunkan seorang putra dari istrinya, Dewi Utari, bernama Parikesit yang kemudian menjadi raja besar di Yawastina.
Poin dari kisah itu adalah Duryudana bukan hanya gagal menjadikan anak lelakinya sebagai raja, tetapi ia sendiri hancur karena ambisinya. Kekuasaan Duryudana pupus di tengah jalan karena ia bersama keluarga Kurawa sirna di Kuruserta dalam perang saudara melawan Pandawa.(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved