DUA pekan belakangan ini kondisi politik Tanah Air kian gaduh
setelah foto-foto mesra Ketua KPK Abraham Samad dengan Putri Indonesia
Elvira Devinamira dan foto lainnya bersama seorang sosialita yang
belakangan diketahui bernama Feriyani Lim tersebar begitu masif di
media daring (online), cetak, dan layar kaca.
Publik pun
melahapnya sebagai menu konsumsi yang lezat dan membaginya kepada
khalayak melalui jejaring sosial. Beragam spekulasi bermunculan.
Tak
ingin kehilangan panggung, para pakar segera berlomba menunjukkan
eksistensi mereka. Berbagai analisis disampaikan, dari yang masuk akal
hingga yang menabrak nalar.
Sebagai pejabat publik, Abraham Samad
tentu tidak ingin foto-foto itu mencemari kariernya. Klarifikasi
disertai bukti-bukti hasil analisis pakar foto KPK disampaikan kepada
media.
Pertanyaannya, apakah foto-foto syur itu benar adanya?
Hingga
kini belum ada yang bisa memastikan kebenaran atau kebohongannya.
Teknologi digital fotografi yang melesat pesat membuat hal nyata begitu
mudah direkayasa. Manipulasi fakta menjadi biasa. Kini, di tangan para
pendusta visual, foto menjadi media utama untuk mencela dan menebar
fitnah. Hanya dalam hitungan detik hingga menit fakta bisa diubah
sekehendak hati pembuatnya.
Menurut kabar paling anyar dari ajang
World Press Photo, kompetisi foto jurnalistik paling bergengsi sejagat,
para juri terpaksa mendiskualifikasi 20% foto yang menembus final
karena teridentifikasi melalui proses pengeditan berlebihan. Itu sebuah
kenyataan yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan.
Sejatinya
foto itu laksana cermin, selalu mengusung pesan kejujuran. Ia menjadi
jejak sejarah yang memberi pelajaran akan masa depan agar kesalahan masa
lalu tidak lagi terulang, tersungkur pada kubangan yang sama.
Itulah hakikat foto jurnalistik yang sesungguhnya. Melalui berbagai platform
media ia mewartakan kebenaran dan pembelajaran. Oleh sebab itu, para
peracik produk jurnalistik, termasuk foto di dalamnya, tidak boleh abai
pada kepentingan publik. Nurani dan idealisme harus menjadi keimanan
yang dipegang teguh.
Sebagai alat kontrol berjalannya demokrasi
di republik ini, foto jurnalistik tak pernah alpa melaksanakan tugasnya.
Itu dimulai pada masa kemerdekaan, masa bergeloranya nasionalisme di
era Soekarno. Kemudian lahirnya otoritarianisme Orde Baru yang
menggenggam kekuasaan hingga 32 tahun. Setelah itu, masuk pada masa
kepemimpinan yang mengedepankan pencitraan dan hingga kini kita tengah
berbulan madu sekaligus harap-harap cemas pada pemimpin baru yang lahir
dari keinginan jutaan rakyat.
Mari kita bayangkan bagaimana
seandainya tidak ada manusia berkamera yang bernama Frans Soemarto
Mendur di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945? Apakah
proklamasi diyakini benar-benar terjadi? Imaji karya salah satu
perintis berdirinya Indonesia Press Photo Service (Ipphos) tersebut yang
memberikan kesaksian saat Bung Karno didampingi Bung Hatta
mengumandangkan proklamasi kemerdekaan.
Bukan hanya sebagai jejak sejarah, foto jurnalistik juga menjadi pemicu euforia yang akhirnya menumbangkan rezim Soeharto dari emporium kekuasaannya.
Gambaran
kekerasan tentara tirani kepada mahasiswa yang terpampang di
halaman-halaman surat kabar kala itu tidak mampu menciutkan nyali.
Berondongan bedil serdadu yang melenyapkan nyawa empat kawan mereka
semakin menyatukan tekad melawan keotoriteran. Turun ke jalan menjadi
pilihan.
Imaji-imaji itu menjadi episode visual yang menggetarkan dan menggerakkan perlawanan terhadap kekuasaan.
Di
negeri ini foto jurnalistik kerap menunjukkan kedigdayaannya. Menjadi
panduan melawan lupa, penyaksi tempo hari. Foto anggota dewan dari
Fraksi PKS Arifinto yang asyik menikmati film porno pada komputer
tabletnya ketika sidang paripurna bidikan fotografer Media IndonesiaM Irfan
memberi bukti. Setelah foto yang mencoreng kehormatan dewan tersebut
dimuat dan kemudian menyebar ke berbagai media, Arifinto yang awalnya
menyangkal akhirnya mengakui dan mengundurkan diri sebagai wujud
pertanggungjawaban moral. Tengok pula kejelian pewarta foto Jakarta
Globe Jurnasyanto Sukarno dan Agus Susanto dari Kompas yang membongkar
penyamaran koruptor Gayus Tambunan ketika menonton turnamen tenis
internasional Commonwealth di Bali.
Kini, berkah teknologi telah
menggerus kepercayaan publik pada fotografi. Pasalnya, manipulasi
menyeruak hingga ke ruang-ruang foto jurnalistik. Sungguh bukan perkara
mudah mengembalikan foto pada khitahnya.
Alangkah eloknya jika
jurnalis foto tidak larut pada permainan peranti digitalisasi fotografi,
apalagi melakukan manipulasi. Fakta tetaplah fakta, biarkan ia apa
adanya. Asah pemahaman, sensitivitas, kejelian, dan kreativitas untuk
mengusung perspektif yang bukan sekadar pengisi ruang belaka, melainkan
juga mampu menyemai harapan, membawa pengaruh positif, menginspirasi,
mengedukasi, dan menggugah mereka yang melihatnya.
Semoga publik
tidak membiarkan hanya foto saja yang bicara, tetapi juga bijak
memaknainya. Mengapa? Karena pendusta visual berkeliaran di mana-mana.
Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengklarifikasi beredarnya
foto mesra dirinya bersama Feriyani Lim dengan menunjukkan hasil
analisis tim ahli KPK saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin
(2/2). Abraham mengatakan bahwa foto tersebut hasil olah digital.
Foto: MI/ROMMY PUJIANTO
Media Indonesia
edisi Sabtu, 29 April 2011, yang memuat foto anggota DPR dari Fraksi
PKS Arifinto tengah menonton video porno di komputer tabletnya saat
berlangsungnya sidang paripurna. Arifinto yang awalnya menyangkal foto
bidikan M Irfan itu akhirnya mengakui dan mengundurkan diri sebagai wujud pertanggungjawaban moral.