Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
JIKA kita terbiasa menonton sinetron yang ceritanya begitu vulgar, baik yang dipertontonkan lewat kata-kata maupun gambar, maka sangat mungkin, kita akan meninggalkan bioskop saat film LIMA tengah ditayangkan di layar lebar.
Film LIMA -- digarap oleh lima sutradara -- sebagaimana diberitakan banyak media dan viral di media sosial, diproduksi guna memperingati dan menyemarakkan lahirnya Pancasila yang jatuh hari ini, Jumat 1 Juni.
Namun, karena para sutradara (Shalahudin Siregar, Tika Pramesti, Lola Amaria, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo) tidak sedang menggarap sinetron, di LIMA tidak ada seorang pun pemain yang menyebut kata "Pancasila" atau lambang Garuda Pancasila kecuali di awal film karena Fornas Bhineka Tunggal Ika ikut ambil bagian memproduksi film ini. Maka wajar jika logo lembaga ormas itu (ada unsur Garuda Pancasila) muncul di layar.
Di luar itu, saya tak menemukan kata-kata atau adegan promotif yang begitu norak untuk membuktikan bahwa Pancasila itu sakti.
Saya pun tidak menemukan adegan yang menampilkan seorang tokoh sedang berpidato berapi-api seperti ini: "Saudara-saudaraku, hari ini saatnya kita kenang lagi bagaimana saat Bung Karno menggagas Pancasila yang kini menjadi ideologi yang menjadi pemersatu bangsa. Apakah Saudara yakin Pancasila adalah pemersatu bangsa dan sakti?"
Jika Anda para Pancasilais ingin melihat adegan semacam itu, maka bersiap-siaplah kecewa. LIMA bukan film provokatif layaknya para pengunjuk rasa yang berteriak-teriak di tempat umum karena bernafsu ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. LIMA juga bukan film yang sarat dengan adegan pura-pura dizalimi karena ada pengusaha yang tahun ini tidak memberikan THR sehingga dianggap menistakan agama.
Film LIMA memang menyinggung soal perbedaan pandangan soal agama (iman), namun tidak diungkapkan layaknya sinetron religi yang lazimnya menampilkan adegan seorang gadis yang hobi mengenakan rok mini dan tiba-tiba berpenampilan agamis setelah bertemu dengan seorang pria berkopiah nan santun.
Konflik batin soal iman juga ada dalam film LIMA, tapi cukup
dengan kata-kata "biarlah kita yang menanggung dosa" seperti yang diungkapkan Fara (Prisia Nasution) saat adiknya yang penganut Kristen bertekad akan masuk ke liang lahat ketika akan memakamkan ibunya yang muslim. Padahal soal ini dilarang dalam Islam.
Lola Amaria dan kawan-kawan melalui LIMA tampaknya sangat menyadari siapa penonton filmnya, sehingga untuk menunjukkan toleransi, ia cukup menggambarkannya melalui simbol, yaitu diizinkannya teman-teman gereja adik Fara mendoakan almarhumah sang ibu lewat lantunan lagu dalam Kidung Jemaat 332: Kekuatan Serta Penghiburan yang syairnya seperti ini:
1. Kekuatan serta penghiburan diberikan Tuhan padaku.
Tiap hari aku dibimbingNya; tiap jam dihibur hatiku.
Dan sesuai dengan hikmat Tuhan kudib’rikan apa yang perlu.
Suka dan derita bergantian memperkuat imanku.
2. Tiap hari Tuhan besertaku, diberi rahmatNya tiap jam.
DiangkatNya bila aku jatuh, dihalauNya musuhku kejam.
Yang namaNya Raja Mahakuasa, Bapa yang kekal dan abadi,
mengimbangi duka dengan suka dan menghibur yang sedih.
Aneh? Buat kita yang menganggap Pancasila -- di dalamnya ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa -- sebagai barang asing dan karenanya harus diganti, memang aneh.
Tapi, buat mayoritas bangsa ini, apa yang tertayang dalam LIMA sebagai sesuatu yang biasa. Tidak ada yang ganjil, apalagi aneh. Pasalnya, nilai-nilai luhur sebagaimana terpatri atau termeteraikan dalam Pancasila sudah menjadi perilaku masyarakat Indonesia sehari-hari.
Melalui LIMA, Lola Amaria dan kawan-kawan ingin membuktikan bahwa Pancasila itu masih dan tetap ada dan sudah menjadi perekat yang begitu kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila, sebagaimana diungkapkan penulis Asaaro Lahagu di portal opini Seword, sudah lama ada. Sudah ribuan tahun. Sudah dipraktikkan. Sudah dihidupi. Dalam keseharian nenek moyang kita. Dalam sejarah kerajaan nusantara. Dalam setiap jiwa para pahlawan. Dalam setiap sanubari rakyat. Ia telah lama hadir. Berurat-berakar. Kuat, sekuat-kuatnya.
Menurut penulis ini, Pancasila ribuan tahun samar-samar. Diamalkan. Dikenal dan diyakini. Semangatnya ada. Nilainya ada. Cahaya mutiaranya ada. Efeknya ada. Orang-orang mencarinya, dan ada. Ke-ada-nya dirasakan. Spiritnya menggetarkan kalbu. Merasuki jiwa. Mengobarkan semangat. Menumbuhkan nasionalisme. Menumbuhkan persatuan.
Semua itu saya rasakan saat menonton LIMA. Secara keseluruhan, film tersebut sebenarnya tidak ada yang baru, apalagi spektakuler. Pasalnya, film itu hanya menceritakan pergumulan sebuah keluarga yang anggotanya kebetulan ada yang berbeda agama. Praktis tidak ada konflik.
Oleh sebab itu, di mata saya, film itu tak ada yang istimewa atau spesial. "Keistimewaan" film ini justru saat tontonan dan tuntunan ini selesai diproduksi gara-gara Lembaga Sensor Film (LSF) mengatagorikan LIMA sebagai film dewasa yang hanya boleh ditonton oleh mereka yang telah berusia 17 tahun ke atas.
Informasi yang berkembang, LSF tak meloloskan film itu boleh ditonton oleh mereka yang telah berusia 13 tahun ke atas lantaran ada adegan seorang pendeta mendoakan jenazah (muslim) di upacara pemakaman. Alasan BSF, adegan ini bisa membingungkan para remaja. Alasan yang menurut saya dicari-cari.
Adegan itu sepertinya benar-benar haram di mata LSF, sebab gambar pendeta berdoa di pemakaman tidak tertayang saat saya menonton film tersebut pada pemutaran perdana Kamis 31 Mei 2018 malam di Cinema XXI Plasa Senayan. Di credit title, film pun masih diperuntukkan bagi penonton 17 tahun ke atas.
Karena tidak ada adegan seperti itu, yang tertayang hanyalah lantunan lagu "Kekuatan Serta Penghiburan" sebagaimana telah saya tulis di atas.
Film LIMA akhirnya menjadi spesial dan memiliki nilai dan bobot karena belakangan ini Pancasila mulai dilupakan dan kemudian diingat kembali lantaran dirongrong oleh mereka yang ingin semuanya seragam dengan ideologi yang entah diimpor dari mana.
Film LIMA tak ubahnya adalah miniatur Indonesia yang di dalamnya ada Pancasila yang terbukti telah menjadi nafas bangsa ini. Sungguh aneh jika ada sekelompok orang yang berniat menutup hidung kita supaya kita tersengal-sengal kehabisan nafas, dan lalu mati.(*)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved