Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Fokus

Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.

Hikmah Kejahatan Kemanusiaan di Surabaya

Gantyo Koespradono, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.
23/5/2018 09:42
Hikmah Kejahatan Kemanusiaan di Surabaya
Sejumlah warga mengikuti aksi Solidaritas atas korban bokm Surabaya dan Doa Bersama di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Minggu (13/5/2018).(ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

TUHAN selalu memberikan petunjuk atau hikmah atas peristiwa apa pun yang dialami manusia, termasuk rentetan kejadian bom diri penjahat kemanusiaan di beberapa kota pekan lalu.

Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa Allah sekarang ini sedang menatap Indonesia menyusul peristiwa mengerikan tersebut.

Sungguh, kurang ajarlah mereka yang mengatakan bahwa peristiwa bom bunuh diri yang oleh sebagian orang dipercaya sebagai cara efektif untuk masuk surga adalah rekayasa pemerintah.

Boleh-boleh saja orang mengatakan seperti itu karena mereka punya otak yang digunakan untuk memelihara "piktor" alias pikiran kotor.

Mereka punya otak "cemerlang", tapi sayangnya, mereka tidak punya hati. Bagaimana mungkin kasus bom bunuh diri disebut sebagai rekayasa jika ada aparat negara (polisi) yang tewas? Logiskah pemerintah melakukan rekayasa menebar ketakutan dengan risiko wisatawan dan investor asing ogah masuk ke Indonesia?

Masuk akalkah pemerintah melakukan rekayasa bom bunuh diri dengan risiko terbangun opini bahwa Indonesia memelihara atau punya warga negara yang barbar dan membina kerja sama dengan ISIS?

Tak disangkal, setiap ada aksi barbar di negeri ini, selalu muncul pembelaan dari kelompok-kelompok tertentu dengan bahasa yang seolah-olah santun. Agama pun dibawa-bawa.

Untuk kesekian kalinya, di grup WA, saya menerima pesan yang entah awal mulanya berasal dari mana, berisi ungkapan bahwa aksi terorisme yang terjadi di mana dan kapan pun, tidak ada hubungannya dengan agama tertentu.

Disebutkan bahwa aksi terorisme yang terjadi di belahan dunia, termasuk ketika Nazi berkuasa, sengketa di Palestina dan sebagainya dilakukan justru oleh kelompok di luar agama tertentu tersebut.

Sang pembuat pesan (entah siapa) protes dan marah mengapa Nazi dan lain-lain itu tidak pernah disebut teroris?

Saya lantas menjawab pesan itu dengan kata-kata seperti ini: "Betul. Semoga ke depan para penjahat kemanusiaan yang sering dicap sebagai teroris itu dalam melakukan aksinya (amit-amit deh) tidak membawa-bawa dan berjuang demi agama apa pun."

Lalu hikmah apa yang mengemuka setelah para penjahat kemanusiaan itu melakukan aksi barbar di Surabaya (mengebom tiga gereja, menyerang kantor Polres) dan Polda Riau?

Menyusul kasus maut itu, saya mencatat ada sejumlah peristiwa penting yang intinya bahwa di negeri ini masih ada orang atau sekelompok orang yang berniat melakukan pemberontakan. Mereka tak ubahnya adalah DI/TII atau PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Karenanya kita kini menjadi waspada.

Gara-gara kasus ini, DPR tidak lagi menjadikan revisi atas UU Antiterorisme sebagai barang mainan. Meskipun masih ada beberapa anggota dewan yang maaf terpaksa saya menyebut mereka sebagai "pro-teroris", para wakil rakyat kita yang masih waras tetap berniat merampungkan pembahasan atas revisi UU itu sebelum bulan Mei berlalu.

Andai pun DPR secara kelembagaan masih "ngeyel", ada hikmah lain yaitu kebanggaan bahwa kita punya Presiden Joko Widodo yang bersikap tegas akan mengeluarkan Perppu Antiterorisme.

Hikmah lain, gegara ulah para pengecut yang meyakini pasti masuk surga dengan cara bunuh diri dan membunuh orang lain, rakyat, khususnya umat beragama, kini semakin berani memperlihatkan toleransi dan persaudaraan meski berbeda iman.

Buktinya, umat dari lintas agama hari Minggu (20 Mei 2018) bersama-sama menghadiri kebaktian atau misa di salah satu gereja yang pada Minggu (13 Mei) dibom.

Melalui peristiwa maut bin gila di Surabaya dan Riau, kita juga bisa merasakan bagaimana cinta atau kasih menghancurkan benci. Bayangkan, ada seorang ibu (dua anaknya tewas terkena serangan bom), dengan perasaan terluka paling dalam, masih berkenan memaafkan para penjahat kemanusiaan yang jelas-jelas telah merenggut nyawa dua putranya.

Dari sang ibu, kita bisa belajar bahwa ajaran cinta yang universal itu masih terus teraktualisasi: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."

Melalui aksi kejahatan kemanusiaan -- saya sengaja tidak menyebut terorisme lho -- Kementerian Agama pun mengeluarkan daftar penceramah yang boleh dan tidak boleh dipakai.

Dari kebijakan itu kita bisa mengambil hikmah, yaitu pengakuan bahwa selama ini ada penceramah yang kerap memprovokasi umat untuk melakukan kejahatan kemanusiaan atau menyuburkan intoleransi.

Yang jelas dari aksi bom bunuh diri di Surabaya, mayoritas anak bangsa di negeri ini memiliki semangat kepahlawanan dan keberanian untuk melawan siapa pun yang membuat kekacauan.

Namun, yang menarik buat kita, aksi kejahatan kemanusiaan di Surabaya, kita bisa mengetahui orang-orang dan kelompok-kelompok mana yang mendukung aksi kejahatan kemanusiaan tersebut (anti-Pancasila) dan yang tetap setia kepada Pancasila yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan Yang Masa Esa.

Masya Allah, mereka yang anti-Pancasila itu ternyata ada yang berprofesi sebagai guru, dosen, ibu rumah tangga, dan aparatur sipil negara (ASN).

Ocehan mereka di media sosial akhirnya membuka kedok siapa sesungguhnya mereka.

Kalian masih menganggap aksi bom bunuh diri tempo hari adalah rekayasa pemerintah?

Bertobatlah sebelum revisi atas UU Antiterorisme disahkan DPR. Kembalikanlah pikiran sesat kalian ke pangkuan Ibu Pertiwi sebelum kalian dicap sebagai teroris, eh (maaf) penjahat kemanusiaan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya