Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
ADA beberapa gelintir elite di negeri ini yang sehari-hari demen nyinyir, terutama apa pun yang terkait dengan pemerintah. Bahkan, kasus terorisme yang melukai bangsa baru-baru ini pun dijadikan sebagai bahan untuk menyinyiri pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum mereka melakukan itu dengan kesadaran penuh demi kepentingan politik jangka pendek.
Nyinyir dalam hal ini ialah cerewet, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti suka mencela (mengomel, mengata-ngatai, dan sebagainya). Inilah, barangkali, efek dari demokrasi yang mereka maknai secara sempit dan egois, yakni kebebasan ngomong.
Perilaku sebagian elite yang demikian ini seperti virus yang kini menular atau menjangkiti warga masyarakat. Media sosial, di antaranya, telah menjadi 'kurusetra' perang nyinyir. Di sanalah berhamburan kenyinyiran-kenyinyiran yang sungguh memprihatinkan.
Berotak 'kreatif'
Bila ditengok dalam dunia wayang, tokoh yang gemar bicara nyinyir antara lain Bilung. Sebagian dalang di sejumlah daerah menamai Sarawita atau Sarahita. Kadang ada yang menyebut Bilung Sarawita.
Menurut pakem, Bilung merupakan salah satu pamomong para titah golongan kiri, yakni para raksasa atau raja yang berwatak arogan, serakah, jemawa, takabur, atau yang berengsek-berengsek. Dengan kata lain, Bilung berada dalam kelompok yang menjadi lawan para kesatria.
Ciri-ciri fisik Bilung berbadan gemuk dan pendek, bermata juling kosong, hidung pesek, bibir tebal, dan mulut selalu melongo dengan gigi yang tinggal beberapa biji. Rambutnya agak keriting dengan banyak borok di kepalanya. Itu simbol wataknya yang sok pinter, kementhus (sombong), dan berotak 'kreatif'.
Bilung memang dikenal cerdas. Ia cekatan mengomentari apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Pun cepat memberikan jawaban setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Namun, barangkali karena memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi, komentarnya selalu nyinyir. Tidak peduli itu ia katakan kepada tuannya sendiri.
Dalam pakeliran, Bilung merupakan tandem Togog Tejamantri. Keduanya seperti tidak bisa terpisahkan. Bila ada Togog, pasti ada Bilung. Keberadaan mereka berdua di marcapada seperti halnya panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Bedanya, peran Semar beserta ketiga anaknya ialah momong golongan kanan atau para kesatria.
Seperti halnya panakawan, peran yang diemban Bilung bersama Togog juga memberikan nasihat kepada tuannya. Misalnya, mana perbuatan yang baik dan mana yang nista. Bilung dan Togog serius berharap tuan mereka senantiasa bertindak pada jalur kebaikan.
Kodratnya, golongon kiri itu memang tidak bisa dinasihati. Maka, peran Bilung dan Togog sia-sia. Oleh karena itu, sebagian dalang memerankan Bilung sebagai tokoh nyinyir. Ketika nasihat, anjuran, dan pendapatnya tidak digubris, Bilung berbalik sekalian menjerumuskan tuannya.
Ini berbeda dengan Togog. Meski nasihatnya tidak pernah membuahkan hasil, ia tidak berubah haluan. Togog bersikap pasrah dan hanya mengingatkan tuannya akan konsekuensi yang akan dipikul.
Uniknya, bagaimanapun Togog dan Bilung tetap kompak mengikuti tuan mereka. Mereka seperti ingin membuktikan apa yang disampaikan benar adanya.
Menghadirkan lelucon
Menurut sebagian sanggit dalang, Togog kerap berbeda pendapat dengan Bilung meski secara substansi sama. Misalnya, ketika mereka sedang membicarakan perilaku atau keinginan sang majikan yang dinilai tidak baik. Ketidaksamaan pendapat itu sebenarnya ada karena Bilung senantiasa menggunakan cara pandang yang tidak umum.
Inilah yang menjadikan setiap kemunculan kedua tokoh tersebut kerap ditunggu-tunggu penonton karena menghadirkan kelucuan. Di tangan dalang kocak, perdebatan Bilung dan Togog menjadi lawakan segar.
Apalagi, ketika bicara, kebiasaan Bilung menggunakan bahasa campur aduk, mulai bahasa Jawa Timuran, Banyumas, hingga Betawi. Ia juga kerap menggunakan bahasa Melayu, bahkan bahasa asing, termasuk Inggris. Ini tentu bergantung pada luasnya pengetahuan bahasa sang dalang.
Selain nyinyir, Bilung juga suka ngenyek atau meremehkan. Misalnya, ketika tuannya ingin menjajah negara lain dengan memamerkan kedigdayaannya, Bilung menyela dengan kata-kata yang merendahkannya. Ketika tuannya marah, Bilung bergeming dan malah menertawakan.
Terkait dengan isi lakon, Bilung bukan tokoh penting. Ia bukan bagian dari inti sebuah kisah atau cerita. Kemunculannya hanyalah sampiran, atau lebih sebagai gegeculan (penghibur). Daya kejenakaannya kian menarik karena Bilung memiliki jenis suara tenor dengan gaya bicara berintonasi kacau. Setiap ngomong, suaranya minor.
Sejumlah dalang kerap mengeksploitasi Bilung dalam pertunjukan yang dibawakannya. Misalnya, ia dipertemukan dengan panakawan, terutama Gareng, Petruk, dan Bagong. Ini semata untuk menghadirkan hiburan sebagai jeda jalannya cerita yang serius.
Dialog di antara mereka mesti mengundang tawa. Lagi-lagi, itu karena cara berbahasa Bilung dan kenyinyirannya. Bilung kerap mengejek dan meremehkan panakawan sebagai keluarga melarat dan hidup di kampung.
Bilung pamer dirinya ialah pendukung raja sabrang (negara asing) yang segala kebutuhan dan keperluannya terpenuhi. Bilung juga mengaku berpendidikan tinggi sehingga tidak selevel dengan panakawan.
Maka, untuk membuktikan stratanya itu, Bilung lalu menguliahi Gareng, Petruk, dan Bagong. Ia bicara apa saja, misalnya, tentang ilmu ekonomi, politik, dan budaya. Namun, panakawan bukanlah kagum, melainkan justru menertawakannya. Sebaliknya, Bilung malah dijadikan sebagai bahan olok-olok sehingga akhirnya menangis sesenggukan.
Etika kebangsaan
Jadi, keberadaan Bilung dalam jagat pakeliran lebih pada perannya sebagai penghadir lelucon. Maka, respons paling logis ketika menanggapi setiap kemunculannya ialah dengan tertawa, bukan dengan keseriusan.
Bilung sebenarnya memiliki 'kedudukan' yang strategis sebagai pembawa nilai-nilai kebaikan. Namun, karena kodratnya berada pada golongan kiri, ia 'bermetamorfosis' menjadi sosok yang congkak dan nyinyir.
Dalam konteks kondisi sosial kemasyarakatan saat ini, cara yang pas untuk menyikapi kenyinyiran, termasuk yang disampaikan sebagian elite, sebaiknya seperti halnya kita memandang Bilung. Mereka tak ubahnya seperti 'pengacau' yang tidak lucu.
Dari sisi etika kebangsaan, seyogianya para elite itu memberikan pendidikan yang baik dalam berkomentar. Bukan malah 'bermain' dengan menyinyiri setiap persoalan semata demi kepentingan politik sempit.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved