Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
DUA puluh tahun sudah usia reformasi. Sebagaimana diketahui, salah satu tuntutannya ialah otonomi daerah (otda) yang seluas-luasnya. Tuntutan itu sudah terjawab dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otda sejak 2001. Lalu pertanyaannya ialah apakah pelaksanaannya sudah mencapai hasil maksimal? Jika belum, perubahan dan kesinambungan (continuity and change) apa yang terjadi?
Desentralisasi yang diterapkan sejak 2001 merupakan terobosan politik fundamental dalam sejarah politik Indonesia. Kebijakan itu sesungguhnya merupakan tuntutan lama daerah yang selama Orde Baru, khususnya, mengalami diskriminasi. Maka, bagi rakyat, otda tak hanya menimbulkan antusiasme dan optimisme, tetapi juga terobosan besar dalam politik Indonesia.
Ia mengubah paradigma sistem dari sentralistis ke desentralistis. Bila sistem sentralistis dianggap hanya mampu memakmurkan elite, sistem desentralistis diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat.
Dari sisi politik dan keamanan, kebijakan itu juga diharapkan mampu meredam gejolak daerah dan menjawab tantangan disintegrasi. NKRI, sebagai pilar penyangga pluralisme dan keragaman daerah, idealnya bisa dijembatani melalui otda.
Sejak pemberlakukan kebijakan desentralisasi dan otda, daerah tampak makin menggeliat. Apalagi, sejak diberlakukannya pilkada langsung 2005. Tokoh-tokoh politik lokal bermunculan dengan aneka gagasan inovatif untuk membangun daerah. Kondisi itu sedikit banyak telah menumbuhkan optimisme rakyat yang ditunjukkan dengan peningkatan partisipasi politik. Sejumlah LSM pun bermunculan untuk turut mengawal pemerintahan.
Beberapa daerah berhasil melakukan inovasi yang relatif menjanjikan, khususnya di bidang pelayanan publik (Sinovik), baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun perizinan dan penganggaran. Namun, secara umum praktik otda masih jauh dari harapan rakyat karena belum mampu mewujudkan tujuan utamanya, khususnya meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat.
Indikatornya, antara lain, dapat dilihat dari masih rendahnya kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat. Jumlah penduduk miskin hingga akhir tahun 2017 masih cukup besar, yakni 26 juta jiwa atau 10,12% dari penduduk nasional. Sementara itu, laporan Ombudsman tahun 2016, misalnya, menyebutkan tingkat kepatuhan pemerintah di level pusat dan pemerintah daerah dalam memenuhi standar pelayanan publik masih rendah.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi pemerintah. Sebagai contoh, di tingkat provinsi, dari 33 pemerintah provinsi, 39,39% atau 13 pemprov masuk zona hijau (berpredikat kepatuhan tinggi), 39,39% atau 13 pemprov masuk zona kuning (kepatuhan sedang), dan 21,21% atau 7 pemprov masuk zona merah (kepatuhan rendah). Di tingkat kabupaten, dari 85 pemerintah kabupaten yang disurvei, 29% atau 25 pemkab masuk zona merah, 53% atau 45 pemkab masuk zona kuning, dan 18% atau 15 pemkab masuk zona hijau.
Permasalahan akut otonomi daerah ialah lemahnya pengawasan dan koordinasi. Sinergi antarjenjang pemerintahan dan antardaerah yang kurang memadai mengakibatkan lemahnya koordinasi pembangunan antarsektor di pusat dan dinas di daerah, munculnya fragmentasi institusi lokal yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah, serta tumpang tindih dan kontradiksinya peraturan daerah dengan perundang-undangan di tingkat pusat. Pun munculnya resistensi dari sejumlah kementerian karena minimnya koordinasi antarinstansi terkait dan maraknya pemekaran daerah.
Permasalahan daerah semakin kompleks karena adanya tarik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah dan antardaerah dalam mengelola sumber daya alam, sumber daya ekonomi, dan sumber daya manusia. Selain pembagian sumber keuangan belum merata, pelaksanaan pilkada juga belum berkorelasi positif terhadap terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Biaya pilkada sangat mahal membuat pemimpin yang muncul tersandera oleh kerumitan pilkada langsung.
Sebagai penarik gerbong daerah dan penanggung jawab otonomi daerah, kepala daerah sangat diharapkan mampu mewujudkan tujuan otonomi. Namun, harapan itu sulit terwujud karena realitas pilkada langsung sarat dengan politik uang dan atau politik transaksional.
Akibatnya bukan saja berpengaruh negatif pada netralitas birokrasi dan kinerja pemerintah, melainkan juga pada rendahnya kualitas kepala daerah terpilih yang memiliki integritas, kapasitas, dan keberpihakan yang kuat kepada rakyat. Mahalnya ongkos politik pilkada telah membuat lahirnya kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri sendiri. Dengan kata lain, praktik otonomi menjadi sangat elitis dan tak menyentuh kebutuhan akar rumput.
Pelaksanaan otonomi daerah tidak bisa dilepaskan dari peran birokrasi. Bila birokrasi belum tereformasi, desentralisasi dan otda pun tidak bisa dilaksanakan maksimal. Yang menjadi masalah birokrasi Indonesia ialah peliknya reformasi kelembagaan dan tarikan politik yang tidak jarang membuat institusi birokrasi menjadi ajang tarik-menarik kepentingan politik partai-partai.
Sementara itu, munculnya pluralisme birokrasi (bureaucratic pluralism) yang ditandai dengan terbukanya peluang bagi kekuatan nonbirokrasi untuk memengaruhi kebijakan publik ternyata juga belum mampu meningkatkan tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah dan tekanan sosial.
Prospek ke depan
Prospek desentralisasi dan otda pertama-tama sangat bergantung pada perbaikan institusi parpol serta political commitment pemerintah dan aktor-aktor politik pusat, khususnya. Sebagai lokomotif desentralisasi dan otda, calon-calon kepala daerah ditentukan oleh pimpinan parpol di pusat. Oleh karena itu, dengan perbaikan institusi, diharapkan dapat tercipta sistem rekrutmen yang transparan dan berkeadilan.
Dalam konteks otda, ke depan tak hanya perlu ditata ulang, tapi juga perlu didorong lebih prospektif dengan membangun perspektif yang lebih seimbang tentang keindonesiaan dan kedaerahan, mengurangi kecenderungan elitisme, yang lebih melibatkan eksekutif dan legislatif (pusat-daerah) saja dan menyampingkan partisipasi publik. Yang juga mendesak dilakukan ialah reformasi kelembagaan dan atau birokrasi secara konseptual dan komprehensif, yang mencakup perbaikan birokrasi dari pusat sampai daerah.
Seiring dengan itu, pilkada juga perlu dibenahi mengingat akan dilaksanakan Pemilu nasional serentak 2019.
Ke depan otda diharapkan mampu menghasilkan lebih banyak lagi daerah-daerah pelayan, daerah-daerah dengan kapasitas daya saing lokal yang memadai, dan yang memiliki tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel sehingga mampu menyejahterakan rakyat daerah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved