Jangan Ratapi Rupiah

Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation
18/3/2015 00:00
Jangan Ratapi Rupiah
(antara)

EKONOM selalu punya jawaban luwes untuk pertanyaan sampai kapan rupiah melemah? Jawaban baku ialah hingga terjadi penurunan permintaan dolar dan peningkatan permintaan rupiah.

Jawaban pragmatis itu memang terkait dengan fenomena penguatan dolar global, seperti tecermin pada kejatuhan harga emas.

Penguatan dolar jelas merupakan faktor eksternal yang berada di luar kendali pemerintah kita.

Sebaiknya kita tidak perlu menangisi pelemahan rupiah.

Namun, ratapilah mengapa kita belum memiliki kapasitas untuk mengapitalisasi penguatan ekonomi Amerika Serikat dan dolar.

Untuk itulah, kita harus segera meningkatkan daya saing kita yang sebetulnya sudah terangkat oleh pelemahan rupiah.

Seperti terlihat pada peraga, selama setahun terakhir indeks dolar global DXY sudah menguat sebesar 25,5%.

Indeks tersebut dibentuk berdasarkan mata uang euro, yen JPY, pound GBP, dolar Kanada CAD, krona Swedia, dan frank Swiss CHF.

Terlihat mata uang pembentuk DXY tersebut mengalami pelemahan tajam jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Pengalaman menunjukkan penguatan dolar sering terjadi ketika ekonomi AS kuat sekali, seperti sekarang, dan lemah sekali (sewaktu krisis 2008).

Keputusan the Fed mengakhiri quantative easing ditengarai bakal mengurangi pasokan dolar.

Sementara itu, likuiditas euro dan Jepang bakal melonjak karena kedua kawasan tersebut terus melakukan quantitative easing.

Harus disampaikan bahwa kinerja rupiah tidak terlalu buruk bila dibandingkan dengan mata uang negara berkembang.

Tengok saja lira Brasil yang sudah terpangkas sekitar 28%.

Ringgit Malaysia melemah 5,4% sepanjang tahun ini setelah bank sentralnya melepas sekitar US$20 miliar dalam waktu sebulan terakhir.

Cadangan devisa Malaysia yang sekitar US$101 miliar sudah lebih rendah ketimbang Indonesia yang mencapai US$115 miliar.

Demikian juga yang dialami Rusia yang selama setahun terakhir, cadangan devisa mereka melorot US$122 miliar untuk menstabilkan rubel yang terpuruk 41% pada periode yang sama.

Perbaikan neraca berjalan
Lalu apa yang tengah dilakukan pemerintah untuk mengatasi gejolak nilai tukar rupiah yang sudah melewati batas 13.000 per dolar? Bersama sejumlah analis senior, pekan lalu saya menghadiri undangan bertemu dengan Menteri Keuangan dan Bank Indonesia.

Dengan belajar dari pengalaman Malaysia dan Rusia, menurut BI tidak ada bank sentral negara berkembang yang akan 'mati-matian' merespons tren penguatan dolar dengan melakukan intervensi melepas cadangan devisa.

Langkah itu kurang efektif dan malah merugikan negara di kemudian hari.

Untuk itulah BI dan pemerintah bersepakat untuk fokus pada pengendalian neraca berjalan sebagai upaya mengendalikan permintaan terhadap valas.

Menerapkan kebijakan struktural yang kredibel dengan mengendalikan besaran dan kualitas defisit neraca berjalan ini menjadi penting dalam mencermati kejatuhan mata uang Turki.

Defisit neraca berjalan negara ini sekitar 5% GDP atau dua kali Indonesia.

BI, seperti penuturan Deputi Gubernur Perry Warjiyo, tidak mematok rupiah pada level tertentu, tetapi lebih berusaha meminimumkan volatilitas rupiah melalui intervensi di pasar valas dan obligasi negara yang didominasi investor asing.

BI menjual valas kepada investor asing dan rupiah yang diterima dibelikan obligasi negara.

BI juga tetap dalam posisi 'tightening bias' yang dapat dicermati dari lebarnya spread antara BI rate dan core inflation.

Sementara itu, pemerintah, seperti penuturan Menkeu Bambang Brodjonegoro, mengeluarkan sejumlah insentif untuk menurunkan defisit neraca berjalan.

Setelah dinilai berhasil mengendalikan defisit neraca minyak dengan memangkas subsidi BBM, pemerintah bergerak dengan meningkatkan kinerja neraca perdagangan nonmigas, neraca jasa, dan neraca pendapatan. Kebijakan yang dimaksud terdiri dari:

Insentif pajak mulai April 2015 bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaan induk di negara asal.

Kebijakan ini harus dilaksanakan segera mengingat arus repratriasi keuntungan biasa meningkat pada triwulan kedua yang tahun ini bisa bersesuaian dengan risiko kenaikan bunga the Fed.

Insentif pajak bagi perusahaan Indonesia yang produknya minimal 30% untuk pasar ekspor.

Penyelesaian peraturan pemerintah untuk galangan kapal nasional yang nantinya tidak dipungut PPN.

Mendorong BUMN untuk melakukan reasuransi untuk memperbaiki neraca keuangan

Pengetatan produk impor dengan pengenaan bea antidumping dengan tindakan pengamanan sementara.

Meningkatkan kunjungan turis asing dengan membebaskan visa untuk negara yang berpotensi mengirim lebih banyak turis.

Menambah penggunaan biofuel sampai dengan 20% untuk menghemat devisa impor solar.

AS juga terkena dampak
Kami cermati ada indikasi bahwa penguatan dolar yang pesat mulai menggerogoti daya saing AS.

Walau kesempatan kerja di AS terus membaik seperti yang ditunjukkan menurunnya angka pengangguran, sejumlah indikator jangka pendek menunjukkan pelemahan.

Media Bloomberg pekan lalu melaporkan terjadi penurunan Bloomberg Surprise Index untuk Amerika Serikat (ECSURPUS) hingga mendekati kondisi 2009.

Pada dasarnya penurunan ECSURPUS itu menunjukkan realisasi penjualan barang eceran dan otomotif tidak sebesar yang diproyeksikan.

Peraga di bawah ini juga menunjukkan secara struktural bagaimana penguatan dolar (warna merah) pada akhirnya menekan surplus ekspor makanan AS.

Itu sebabnya investor kembali melirik T-bond dengan harapan the Fed yang pekan ini bersidang akan tetap bersikap akomodatif dengan tidak buru-buru menaikkan bunga.

Penurunan yield T-bond juga berdampak pada perbaikan yield SUN yang pekan lalu menurun menjadi 7,36%.

Pelemahan dolar memang paling membutuhkan penguatan euro.

Dengan mencermati kenaikan pesat indeks saham Eropa sepanjang tahun berjalan, ada harapan bahwa aksi QE ECB akan mencegah ekonomi Eropa dari jebakan deflasi.

Peluang penguatan rupiah terbuka mengingat Indonesia bersama India dianggap dua negara berkembang yang memiliki potensi pertumbuhan terbilang tinggi dan pengelolaan makroekonomi yang hati-hati.

Kedua negara ini diyakini menjadi tujuan relokasi investasi yang semula banyak ditempatkan di Rusia dan Brasil.

Semoga arus masuk modal asing ini akan meningkatkan permintaan terhadap rupiah, kemudian membantu meredakan gejolak pada nilai tukar rupiah sehingga kembali memacu optimisme di bursa saham dan obligasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya