Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Disekolahkan

Suprianto Annaf, Redaktur Bahasa Media Indonesia
01/4/2018 06:00
Disekolahkan
(ANTARA/Ari Bowo Sucipto)

Kata disekolahkan muncul lagi. Bahkan semakin intens ditemukan belakangan ini. Sampai-sampai lazim diucapkan oleh orang nomor satu di negeri ini. Ya, Presiden Jokowi mengumbar kata itu berkali-kali. Tentu saja tujuannya menyemangati.

Memang Presiden Jokowi seperti mengukir prestasi belakangan ini. Ke mana bersafari, ia memberi sertifikat untuk dibagi. Tak nyana kata disekolahkan terselip kala warga diamanati. Apa sebenarnya maksud kata disekolahkan ini?

Di dulu, kata disekolahkan kerap menjadi sensasi di kalangan pegawai negeri. SK PNS yang digadai di bank dilabeli 'disekolahkan'. Tentu saja secarik SK menjadi berarti. Mudah mendapat uang seperti benda bernilai tinggi. Seingat saya, dari situlah kata itu diakrabi dan dikenal sebagai diksi.

Secara bahasa, penukaran kata digadaikan dengan kata disekolahkan sebetulnya kreasi diksi. Hanya konotasi itu kerap pula sebagai penghalus arti karena kata digadaikan dipersepsi rendah. Tak berdaya. Kesan tidak lagi bisa menghindari dari desakan ekonomi menjadikan kata ini dihindari. Ada rasa malu bila banyak kerabat mengetahui.

Akhirnya, masyarakat menggunakan kata disekolahkan sebagai ganti. Kesan tak berdaya pun berganti gengsi. Label rendah ekonomi tidak ada lagi. Kata disekolahkan sebenarnya penghalusan arti. Itu tentu gejala eufemisme zaman kini. Yang muncul lagi walau tidak sebanyak di zaman Orde Baru.

Bukankah dulu berjubel kata sebagai penghalus makna dari kerasnya kebijakan. Sebagai pengingat, sebut saja kata diamankan. Kata ini sering ditemukan tatkala polisi menangkap orang terkait kriminal. Pun muncul di saat penangkapan mahasiswa yang 'iseng' berdemonstrasi. Tentu saja berbeda arti dan kondisi antara kesan ditangkap dan diamankan.

Kata lain, saat harga BBM naik, serentak koran nasional akan menuliskan 'harga BBM disesuaikan'. Tentu saja yang disesuaikan antara harga jual dan harga produksi. Kata ini dipakai untuk menghindari kata dinaikkan. Karena itu, kesan harga naik pun tersamarkan. Tujuannya menekan gejolak dan reaksi.

Ada lagi kata dirumahkan. Saban PHK terjadi, kata dirumahkan menjadi pemoles berita yang menyambangi, baik di koran maupun televisi. Secara arti, dirumahkan tidak sekadar menyuruh orang tinggal di rumah. Lebih dari itu, kata itu disematkan sebagai pengganti di-PHK, dipecat, atau diberhentikan dari pekerjaan.

Ada pula kata oknum. Kata ini sebagai penghalus makna bila anggota satu institusi melanggar hukum. Sampai sekarang, kata ini tidak lantas hilang. Entah karena alasan apa, pemakai bahasa tidak bisa menghindari kata oknum.

Kembali pada kata disekolahkan. Entah kenapa Presiden Jokowi seperti menganjurkan penerima menyekolahkan sertifikat yang ia diberikan. Bukankah penganjuran seperti ini akan pasti ikuti? Ini berarti pula hak pemilikan tanah akan berganti. Walaupun sekadar disekolahkan, tentu saja uang yang dipinjam dari bank akan sulit terganti.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik