Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Hari Gizi dan Defisit Pangan di Asmat

Posman Sibuea Guru Besar Ilmu Pangan di Progam Studi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
25/1/2018 00:17
Hari Gizi dan Defisit Pangan di Asmat
(ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Hari Gizi dan Defisit Pangan di Asmat. Berita duka dari Tanah Papua, 67 anak meninggal dunia karena menderita gizi buruk dan penyakit campak menjadi awan gelap pembangunan gizi nasional. Mereka mengalami kelaparan gizi karena defisit konsumsi sayuran dan buah, ikan, dan sumber protein lainnya. Konon, sekitar 40% kondisi kesehatan masih di bawah standar normal.

Situasi terkini di Agats, Kabupaten Asmat, bertolak belakang dengan tema HGN tahun ini yang menyuarakan Bersama membangun gizi menuju bangsa sehat berprestasi. Sebagai daerah otonomi khusus selama 15 tahun terakhir dana puluhan triliun rupiah dicairkan untuk peningkatan mutu pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, dana besar itu tidak tepat sasaran digunakan untuk mengatasi kemiskinan dan membangun ketahanan pangan keluarga.

Pelajaran baru
Tragedi gizi buruk di Asmat patut dijadikan pelajaran baru untuk melangkah lebih baik ke depan. Kelaparan dan gizi buruk bukan kali ini saja terjadi di Papua. Sekadar menyebut contoh, tahun 2015, sekitar 10 ribu warga di tiga kabupaten di Papua, yaitu Lanny Jaya, Puncak Jaya, dan Nduga, mengalami defisit pangan dan 11 warga dilaporkan meninggal dunia. Cuaca ekstrem dengan suhu udara minus 3 derajat celsius pada malam hari merusak tanaman umbi-umbian sebagai sumber pangan lokal. Ironis, di daerah yang memiliki potensi kekayaan pangan lokal, sebagian warganya harus meregang nyawa karena kelaparan.

Pertanyaannya, masihkah nurani para elite politik tersentuh oleh berita kelaparan dan gizi buruk ini ketika mereka berburu kekuasaan untuk menduduki kursi kekuasaan gubernur, bupati dan wali kota-–harus membeli rekomendasi parpol miliaran rupiah–-di Pilkada 2018? Kelaparan dan gizi buruk selain di Papua, juga ada di NTT, Jatim, Jabar, DIY, Sumut, Sumbar, dan di daerah lain. Jika kita rajin turun ke berbagai desa di sana, rakyat miskin, hampir miskin, dan setengah miskin tidak jarang dijumpai. Jumlahnya menurut Bank Dunia masih sekitar 120 juta jiwa. Fakta masih tingginya jumlah rakyat miskin memberi arti bahwa pemerintah belum hadir untuk mengatasi lewat penyediaan lapangan kerja baru.

Kelaparan muncul jika terjadi defisit pangan dalam waktu tertentu. Fenomena kelaparan dan gizi buruk merupakan dampak problem multisektor dan akar masalahnya adalah kemiskinan. Tumbuh kembang anak balita yang diukur lewat perbandingan berat badan menurut usia jauh di bawah standar.

Proses pemiskinan dan penurunan daya beli masyarakat terus terjadi meski usia kemerdekaan Republik ini sudah memasuki tahun ke-73. Kenaikan kebutuhan dasar termasuk beras telah memberi efek domino terhadap kenaikan jumlah angka kemiskinan. Artinya, mereka semakin sulit mengakses pangan bergizi lainnya seperti daging, susu, ikan, buah, dan sayur. Laju kenaikan harga pangan yang tinggi semakin membebani hidup dan kehidupan wong cilik.

Asumsi ini sejalan dengan tesis Armatya Sen, penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1998, yang menyebutkan terjadinya kelaparan bukan semata bahan pangan kurang di suatu negara, tetapi karena rendahnya akses pangan akibat minim daya beli. Ketersediaan pangan secara nasional tidak cukup sakti menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Fenomena ini kerap terjadi di negara yang menafikan demokrasi.

Pemerintahan yang kurang demokratis dan kerap diguncang persoalan politik di tengah kian membuihnya korupsi seperti Indonesia, energi para elite politiknya habis terkuras mengurusi persoalan politik dagang sapi yang pada gilirannya tak sempat memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Konsekuensi rendahnya akses pangan, berujung pada kematian prematur seseorang. Ini adalah awal fenomena hilangnya sebuah generasi akibat ketidakadilan di wilayah ekonomi.

Wabah kelaparan berhulu dari resultante ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan kerusakan lingkungan. Sumber daya pertanian pangan semakin menipis oleh perilaku manusia yang serakah menguras madu SDA dan akhirnya menjadi sumber kemiskinan.

Buka mata hati
Jika ini yang terjadi, negara telah melakukan tindak kekerasan kepada warganya. Pengabaian terhadap hak-hak hidup warga sama saja mereduksi kualitas SDM dan menghancurkan masa depan bangsa. Taruhannya, bangsa ini tak lama lagi akan menjadi bangsa idiot, bangsa yang mudah didikte dan diperalat bangsa asing.

Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang serupa tidak terulang di masa datang, pemerintah harus membuka telinga agar bisa mendengar derita rakyatnya. Penurunan daya beli seharusnya menjadi pembuka mata hati para perumus kebijakan untuk lebih serius melakukan perubahan mendasar dalam pembangunan ekonomi nasional. Minimnya peningkatan kesejahteraan warga ditunjukkan pada angka kemiskinan yang stagnan. Bank Dunia menyebutkan angka kemiskinan di RI separuh dari jumlah penduduk seiring kian mahalnya harga kebutuhan dasar.

Stagnasi kemiskinan ialah implikasi komitmen pemerintah yang setengah hati meningkatkan kesejahteraan rakyat dan dampak ketidakseriusan membangun sektor pertanian yang berdaya saing tinggi. Setelah 19 tahun usia reformasi, solusi mengatasi kemiskinan tetap jalan di tempat. Kebijakan ekonomi gagal membuka pintu selebar-lebarnya guna mendongkrak kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, berpotensi menutup pintu cita-cita pengurangan jumlah orang miskin, sebab pemerintah belum serius membangun infrastruktur pengembangan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Untuk mampu mengurangi setengah dari total jumlah orang miskin dan kelaparan, arah pembangunan nasional harus dikembalikan ke sektor pertanian. Jumlah warga yang menggantungkan hidup dengan mencari nafkah di sektor primer ini sekitar 65% dan 80% di antaranya ialah orang miskin.

Iklim yang kondusif dibutuhkan untuk mentransformasikan pembangunan pertanian yang konvensional ke pengembangan teknoagroindustri pangan berkelanjutan berdaya saing tinggi. Defisit pangan di Papua menunjukkan betapa lemahnya pembangunan teknoagroindustri pangan dan fasilitas pendukungnya yang dapat digunakan untuk memproduksi pangan darurat ketika ada bencana alam.

Gagal panen umbi-umbian yang kerap dialami warga di Puncak Jaya, Papua, misalnya, bukan hanya semata karena faktor cuaca ekstrem, tetapi juga kelalaian pemerintah yang lebih sibuk mengurusi agenda politik pilkada ketimbang mengurus politik agroindustri pangan lokal. Pertanian lahan kering dan dingin merupakan bagian dari sosial budaya masyarakat Papua, yang tidak dapat diubah dengan sistem pertanian modern dalam waktu singkat. Produksi pertanian di Papua, yakni umbi-umbian, dan hortikultura, tak dapat diubah dengan tanaman padi dalam jumlah besar dan waktu yang singkat. Kebijakan pemerintah mengeluarkan beras untuk rakyat miskin di Papua otomatis menabrak kearifan lokal.

Indonesia belum berhasil menciptakan produk pangan olahan yang memberi nilai tambah kepada petani lokal. Produk pangan nonberas seperti sagu dan umbi-umbian di Papua belum optimal pemanfaatannya. Bahkan untuk urusan pangan, seperti beras, jagung, kedelai, daging, dan gula, menggantungkan diri kepada pihak asing, meski Indonesia memiliki sumber daya pangan lokal yang beragam.

Pemerintah patut mengoreksi ulang kebijakan pangan dengan lebih berpihak pada pengembangan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Patut disadari parameter keberhasilan pembangunan ekonomi tak hanya diukur dari penguatan rupiah terhadap dolar AS, tetapi seberapa besar penurunan angka kemiskinan dan prevalensi warga yang masih mengalami kelaparan dan gizi buruk di berbagai daerah di Tanah Air.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya