Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
UNTUK kesekian kalinya kabar buruk datang dari provinsi paling timur Indonesia, Papua. Dalam beberapa hari terakhir santer diberitakan adanya kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat. Terhitung sejak September 2017, kejadian ini telah menewaskan sedikitnya 67 anak yang tersebar di beberapa distrik (kecamatan). Diperkirakan, angka itu akan terus bertambah mengingat masih banyak daerah yang belum termonitor.
Pemerintah pusat dan daerah pun langsung bergerak cepat menangani kasus ini. Tim medis yang dibantu TNI dan Polri melakukan penyisiran ke setiap kampung di Kabupaten Asmat. Medan yang berat dan minimnya alat transportasi membuat tim penanganan KLB campak dan gizi buruk mengalami kesulitan menjangkau masyarakat yang ada di pedalaman. Tak menutup kemungkinan jika kejadian ini akan terus membesar dan cakupannya semakin meluas.
KLB campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat sedikit banyak mirip dengan kejadian sembilan tahun silam di Kabupaten Yahukimo. KLB yang menewaskan lebih dari 100 korban jiwa itu diakibatkan bencana kelaparan akut yang melanda hampir di seluruh kecamatan di Yahokimo. Kedua kejadian itu memberi sinyal kepada Indonesia bahwa bencana kemanusiaan belum mau menjauh dari Bumi Cenderawasih.
Komitmen dunia internasional untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan telah tertuang dalam tujuan pertama dan kedua Sustainable Development Goals (SDGs). Ditargetkan, pada 2030 sudah tidak ada lagi kemiskinan dan kelaparan di muka bumi ini. Akan tetapi, realitas telah membukakan mata dunia bahwa perjalanan masih sangat panjang untuk mencapai kedua cita-cita itu. Kejadian KLB campak dan gizi buruk yang melanda Kabupaten Asmat seakan membuka wajah yang sebenarnya Bumi Papua. Kejadian ini pun sontak mendapat sorotan nasional dan dunia internasional.
Penanggulangan kemiskinan
Merebaknya fenomena campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat bukan semata-mata diakibatkan rendahnya cakupan imunisasi campak dan kurangnya asupan gizi bagi anak-anak. Ada hal lebih besar yang melatarbelakangi kejadian itu semua, yakni kemiskinan yang berkepanjangan. Kejadian tersebut seakan membukakan kedua mata dunia bahwa masih banyak masyarakat Papua yang terbelenggu dalam kemiskinan.
Kemiskinan masih menjadi momok bagi masyarakat Papua. Dalam publikasi angka kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik, per bulan September 2017 Provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia. Tercatat 910,42 ribu jiwa atau 27,76% penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Angka tersebut menempatkan papua menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia.
Berdasarkan konsep dan definisi, penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulannya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan sendiri terdiri atas garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan nonmakanan (GKNM). GKM diukur berdasarkan kebutuhan minimum kalori seseorang per hari yakni 2.100 kalori, sedangkan GKNM merupakan kebutuhan minimum yang dikeluarkan untuk perumahan, sandang, hiburan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar tersebutlah yang melatarbelakangi merebaknya wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat. Minimnya asupan makanan bergizi menjadikan anak-anak rentan terhadap berbagai penyakit. Tidak akan ada artinya sebuah imunisasi jika tak didukung dengan pemenuhan asupan makanan bergizi yang cukup karena sejatinya kelaparan akut yang berujung pada kasus gizi buruk menjadi gerbang masuknya berbagai penyakit.
Akses kesehatan
Selain karena aktor kemiskinan, faktor aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis yang minim di Papua juga pantas untuk menjadi sorotan. Dari total 29 kabupaten/kota di Papua, masih ada delapan kabupaten yang belum memiliki rumah sakit umum daerah (RSUD). Adapun untuk Puskesmas, hanya ada 394 dari total 541 distrik (kecamatan) yang ada di wilayah Papua. Sejatinya, setiap kecamatan harus memiliki sebuah puskesmas yang berguna untuk melayani masyarakat setempat.
Minimnya jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang ada membuat jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat menjadi sangat terbatas. Hal inilah yang menyebabkan penanganan dan monitoring terhadap kesehatan masyarakat masih belum berjalan maksimal. Kejadian di Asmat pun menjadi bukti nyata dari lambatnya monitoring dan penanganan kesehatan masyarakat.
Faktor kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan pola hidup sehat juga berperan besar terhadap beberapa kasus kematian anak dan gizi buruk. Kesadaran mereka berobat ke pusat pelayanan kesehatan ketika mereka sakit masih sangatlah minim. Hal itu dapat dilihat dari data publikasi BPS yang dimuat dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Tahun 2017.
Sebanyak 31,91% penduduk Papua yang mengalami keluhan kesehatan enggan memeriksakan kesehatan ke pelayanan kesehatan dengan alasan tidak perlu, sedangkan 58,72% tidak memeriksakan penyakitnya ke pusat pelayanan kesehatan dengan alasan cukup dengan diobati sendiri. Becermin dari data tersebut, masyarakat Papua masih membutuhkan edukasi mengenai pentingnya memeriksakan kesehatan ke pelayanan kesehatan masyarakat setempat.
Kejadian seperti di Asmat dan Yahukimo besar kemungkinan akan terus berulang jika keadaan sosial-ekonomi masyarakat Papua tak kunjung membaik. Percepatanan pembangunan sosial-ekonomi yang inklusif ialah salah satu cara untuk mengentaskan mereka dari jurang kemiskinan. Yang paling penting dari semua itu ialah perlu adanya sinkronisasi program-program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dari pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan yang diambil dapat saling mendukung dan menguntungkan masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved