Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
SEPEDA motor ialah moda transportasi pribadi yang sangat populer di Indonesia. Dalam keseharian, fungsinya beragam; dipakai untuk berangkat kerja, sekolah, mengangkut barang, ke sawah, dan lain-lain.
Kelebihannya sebagai kendaraan yang irit bahan bakar, antikemacetan, dan desain yang mudah dan nyaman digunakan, menjadikan sepeda motor dipakai berbagai lapisan usia, termasuk anak-anak. Pelajar bermotor sendiri sudah jamak kita lihat. Sampai awal 2000-an, modernisasi seperti berjalan dengan sedikit lambat, tetapi pasti. Kini tren usia mengendarai motor setiap tahun semakin menurun. Kita bisa memaklumi siswa SMA bermotor karena saat duduk di kelas XI-XII, usia mereka sudah cukup untuk mendapatkan SIM. Namun, bagi pelajar SMP bermotor ke sekolah, sangat sulit kita terima.
Di kota besar, murid SMP mengendarai sepeda motor dapat dikatakan cukup jarang. Biasanya, sekolah melarang keras murid SMP mengendarai motor ke sekolah. Bahkan, untuk tingkat SD/MI, anak-anak harus diantar-jemput. Selain karena faktor keselamatan, yang lalu lintas kota sangat ramai, ketersedian lahan parkir yang minim dan ada angkutan umum menjadi faktor tersendiri. Namun, di kota kecamatan dan pelosok desa, lazim tersua pelajar SMP mengendarai sepeda motor. Sewaktu pulang kampung, penulis sering menyaksikan pemandangan semakin banyaknya pelajar SMP yang bermotor ke sekolah dari tahun ke tahun.
Faktor penyebab
Pada era 1990-an, memiliki sepeda motor masih dianggap sebagai kemewahan di desa-desa. Namun, sekarang hampir setiap keluarga/rumah memiliki lebih dari dua sepeda motor. Orangtua mulai memikirkan membelikan motor untuk anaknya yang menginjak sekolah menengah. Mudahnya akses kredit motor turut mendorong menjamurnya kepemilikan sepeda motor.
Meningkatnya jumlah pelajar SMP bermotor ke sekolah setidaknya dipengaruhi enam faktor. Pertama, ‘budaya’ ikut-ikutan teman sebaya (peer group) yang lebih dulu bermotor. Rasa ingin setara dan ‘diakui’ dalam kelompoknya semakin kuat mendorong pelajar untuk bermotor ke sekolah. Kedua, aksesbilitas sekolah yang tidak terjangkau kendaraan umum. Sekolah-sekolah tingkat menengah di daerah pelosok banyak yang tidak terjangkau angkutan umum, akses jalan yang belum beraspal, menjadi favorit pelajar bermotor. Ketiga, karena letaknya di pelosok, sangat jarang ada razia dari aparat keamanan terkait kelengkapan surat kendaraan dan alat keselamatan (helm). Mereka bisa bebas berkendara di jalanan desa tanpa khawatir terjaring razia polisi. Keempat, orangtua yang ‘kalah’ dengan keinginan anak. Faktor gengsi menjadi kendala utama.
Daripada anak merasa malu di depan kawan-kawannya, atau orangtua dianggap pelit terhadap anak, ‘memaksa’ orang tua membelikan sepeda motor untuk anaknya. Pada suatu kesempatan, seorang wali murid mengatakan, saat ini jika anak sudah memasuki usia SMP, kebanyakan akan meminta sepeda motor untuk sekolah. Karena merasa risih atas rengekan anak setiap hari, pada akhirnya, orangtua menuruti permintaan si anak. Kelima, minimnya razia dari pihak sekolah. Sekolah belum memberikan tindakan tegas bagi pelajar bermotor. Sekolah tampaknya cukup ‘permisif’ karena anggapan bahwa pelajar SMP bermotor ialah keniscayaan.
Sekolah berada dalam posisi yang dilematis antara berusaha ‘mengingatkan’ dan ‘memaklumi’. Keenam, masyarakat yang permisif. Sekolah tidak mengizinkan siswa bermotor sehingga tidak menyediakan lahan parkir di dalam lingkungan sekolah. Masyarakat seringkali memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan keuntungan dengan menyediakan lahannya sebagai tempat penitipan sepeda motor.
Pendidikan kita sepertinya belum benar-benar siap merespons perubahan di masyarakat yang permisif dan mendorong anak-anak belajar sepeda motor sedini mungkin. Sepeda motor dapat menjadi sarana untuk kenakalan remaja, semisal membolos. Dengan sepeda motor, akses pelajar lebih mudah untuk menjangkau beberapa tempat dalam waktu yang lebih singkat. Di luar sekolah, anak-anak SMP ‘meneguhkan’ diri sebagai remaja yang wira-wira dengan motor
Pembiaran pelajar SMP bermotor bisa jadi merupakan embrio bagi munculnya geng-geng motor, bahkan kriminalitas. Di Bogor pada Oktober lalu terjadi kecelakan, sebuah mobil yang kebut-kebutan menabrak dua pengendara motor. Pengendara mobil itu ialah tiga pelajar SMP yang akan tawuran (Kompas.com, 27/10/2017). Setelah itu, di Jombang terjadi penangkapan komplotan pencuri sepeda motor dengan anggota pelajar kelas V SD, VI MI, IX SMP, dan X SMK (Detik.com, 29/11/2017). Kasus tersebut tentu membuat kita terhenyak karena para pelakunya masih berstatus pelajar.
Literasi berkendara
Seringkali kita dibuat khawatir saat berdekatan dengan pengendara anak-anak. Perilaku anak-anak usia ABG ini dalam mengendarai sepeda motor ternyata sungguh mencengangkan; sering ditemui mereka berboncengan tiga orang, tidak mengenakan helm, bercanda sambil berkendara, dan menyalip seenaknya. Mengendarai sepeda motor memerlukan prasyarat kedewasaan psikologis dan literasi berkendara; pemahaman rambu lalu lintas dan etika berkendara di jalan raya. Hal inilah yang belum dimiliki oleh anak usia SMP. Apalagi, usia SMP belum bisa mendapatkan SIM.
Mencegah anak-anak berseragam sekolah membawa sepeda motor memerlukan kerja sama antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat, dan aparat keamanan. Pertama, setiap tahun ajaran baru sekolah melakukan sosialisasi larangan siswa membawa motor ke sekolah. Program itu perlu diawasi dalam implementasinya. Petugas keamanan dioptimalkan untuk mengawasi siswa yang kedapatan bermotor. Kedua, meningkatkan kesadaran keluarga untuk membatasi anak-anaknya bermotor ke sekolah. Sekolah dapat memberikan penghargaan pada keluarga yang berhasil mendidik anaknya tidak bermotor ke sekolah. Ketiga, masyarakat sekitar sekolah diajak kerja sama untuk tidak menyediakan parkir motor dan melaporkan jika mendapati pelajar berkeliaran pada jam sekolah. Oleh karena itu, sekolah perlu menyediakan nomor kontak sekolah dan memajangnya di titik-titik strategis. Keempat, aparat keamanan melakukan patroli sampai ke sekolah di pelosok desa. Apresiasi dari Polresta Sidoarjo yang memberikan penghargaan pada sekolah yang menerapkan save our student (SOS) dapat dijadikan contoh (Jawa Pos, 17/4/2017).
Ke depan, kita berharap kementerian pendidikan dan kebudayaan, kementerian agama, PBNU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat yang menaungi pendidikan dasar dan menengah, dapat secara rutin memberi apresiasi bagi sekolah yang memperketat penggunaan motor ke sekolah oleh pelajar SMP.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved