Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Antisipasi Bahaya pada Gedung Tinggi

Admiral Musa Julius Pengamat Meteorologi dan Geofisika Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
17/1/2018 02:15
Antisipasi Bahaya pada Gedung Tinggi
(ANTARA FOTO/Elo)

KECELAKAAN akibat lantai gedung yang roboh kini hangat menjadi perhatian dan perbincangan. Masyarakat bertanya-tanya, adakah cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi gedung terkini? Bagaimana antisipasi bahayanya? Ahli seismologi kini sedang mengembangkan pendekatan baru dalam hal pemantauan struktur bangunan secara real-time melalui metode structural health monitoring/pemantauan kesehatan bangunan. Jakarta memiliki luas wilayah 650 km2 dan terus melakukan pembangunan di berbagai tempat. Bangunan tinggi menjadi pemandangan yang lumrah ditemui, khususnya wilayah Jakarta Pusat di antaranya perkantoran, rumah susun, apartemen, pusat perbelanjaan, dan bangunan bersejarah. Setiap bangunan dengan ketinggian tertentu memiliki risiko terhadap lokasi bangunan tersebut berdiri. Sejak 2009, jumlah gedung pencakar langit di Jakarta meningkat dua kali lipat setiap tiga tahun.

Dalam perspektif bahaya gempa bumi, peta distribusi episentrum wilayah Jakarta 1980-2015 (BMKG) menunjukkan tidak ada episentrum yang langsung berpusat di Kota Jakarta. Data tersebut wajar karena Jakarta tidak berhadapan langsung dengan jalur subduksi atau berdiri di atas sesar. Namun, Jakarta perlu waspada terhadap sumber gempa bumi di sekitarnya seperti sesar Cimandiri, sesar Baribis, sesar Lembang, zona subduksi selatan Jawa, dan aktivitas vulkanis Anak Krakatau di Selat Sunda yang sewaktu-waktu mampu melahirkan gempa bumi kuat sehingga berpotensi mengganggu aktivitas di Jakarta.

Berdasarkan sejarahnya, Jakarta pernah dua kali dilanda gempa bumi kuat dan merusak. Pakar gempa bumi dari Australia, Phil Cummins, mengumpulkan catatan gempa bumi kuat dan merusak di Pulau Jawa yang dua di antaranya melanda Jakarta serta membuat skenario untuk mengetahui sumber gempa yang cocok untuk kedua gempa bumi tersebut. Kedua gempa bumi tersebut terjadi pada 1699 yang berdasarkan skenario diduga bersumber dari Intraslab dengan intensitas MMI>7 dan pada 1780 diduga bersumber dari sesar Baribis dengan intensitas MMI>8.

Gempa bumi dirasakan di Jakarta kerap kali diberitakan. Umumnya penghuni yang berada pada lantai puncak bangunan tinggi dapat merasakan getaran gempa bumi bersumber sangat jauh dari Jakarta. Getaran tidak dirasakan di lantai dasar bangunan, tetapi dirasakan di lantai atas. Hal itu menunjukkan adanya perbedaan parameter getaran di setiap lantai yang perlu dikaji. Gempa bumi dengan kekuatan dan arah tertentu mampu mengubah performa suatu bangunan. Begitu juga setiap bangunan memiliki kerentanan yang bergantung pada lokasi bangunan tersebut berdiri.

Structural health monitoring
Pada satu dasawarsa terakhir, pemantauan kesehatan bangunan (structure health monitoring) telah berkembang sangat pesat di negara-negara maju. Penerapannya diharapkan mampu memenuhi permintaan lembaga terkait dalam menjawab kelayakan suatu bangunan di kota-kota dengan populasi yang sangat padat. DKI Jakarta yang diketahui merupakan provinsi dengan populasi terpadat dan pembangunan sangat pesat di Indonesia, penting untuk dikaji kondisi bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya. Prinsip dasar pembangunan aman gempa bumi dilihat dari sudut pandang seismologi, yaitu getaran alamiah bangunan tidak sama dengan getaran dominan tanah tempat bangunan itu berdiri dan terhindar dari resonansi dengan getaran gempa bumi.

Salah satu cara untuk mengetahui karakter bangunan, yakni dengan analisis struktur melalui data seismik. Seiring dengan waktu, karakter bangunan dapat berubah bila diberi guncangan besar dan terus-menerus. Secara teoretis, kondisi bangunan yang menurun pascagempa bumi memiliki frekuensi alamiah lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum gempa bumi. Pelemahan struktur bangunan menunjukkan berkurangnya daya ikat antarrangka dan atau deformasi pada beton.

Guncangan akibat resonansi menjadi penyebab salah satu penghuni bangunan tinggi dapat merasakan getaran gempa bumi yang sangat jauh dari Jakarta dan merusak bangunan itu sendiri. Resonansi terjadi sebab getaran gempa bumi beresonansi dengan objek yang memiliki periode sama. Dengan mempertimbangkan sumber gempa bumi di sekitar Jakarta yang pada umumnya ialah gempa bumi berjarak jauh, dapat diasumsikan bahwa bangunan di Jakarta yang terancam ialah bangunan-bangunan tinggi. Peristiwa destruktif pernah terjadi pada gempa bumi Meksiko 1985. Lokasi gempa bumi tersebut berjarak 250 mil dari pusat kota, tetapi gempa bumi tersebut menyebabkan bangunan bertingkat 20 rusak parah, sedangkan bangunan di bawah 6 tingkat tidak mengalami kerusakan. Penyebab kerusakan tersebut dibuktikan penelitian pascagempa bumi Meksiko yang menyebutkan kerusakan itu terjadi karena resonansi.

Belajar dari peristiwa robohnya bangunan, antisipasi bahaya pada bangunan tinggi, khususnya di Jakarta, perlu mempertimbangkan sumber gempa bumi, kondisi tanah setempat, desain bangunan dan uji kesehatan, terutama bangunan tua agar kekuatannya dapat diuji kembali. Kita berharap pemerintah mendukung structural health monitoring demi kenyamanan huni setiap pengguna bangunan tinggi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya