Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Urgensi Sektor Informal

Razali Ritonga Kepala Pusdiklat BPS RI. Alumnus Georgetown University, AS
16/1/2018 00:45
Urgensi Sektor Informal
(MI/Tiyok)

BERBEDA dengan kebijakan Gubernur DKI sebelumnya, yang kerap menertibkan pedagang kaki lima (PKL), Gubernur Anies Baswedan malah memfasilitasi PKL untuk berdagang, terutama di kawasan Tanah Abang. Keputusan mengizinkan pedagang mengokupasi sebagian jalan di Tanah Abang itu kini mengundang pro dari para PKL dan kontra dari baik pedagang lainnya maupun pengguna jalan.Dengan difasilitasinya PKL berjualan, terutama pada tempat yang bukan peruntukannya, hal itu menyiratkan nasib PKL mendapat perhatian dari Gubernur DKI Anies Baswedan. Meski demikian, perhatian terhadap PKL itu seyogianya tidak merugikan pihak lain, bahkan bila memungkinkan menguntungkan semua pihak (win-win solution). Diyakini, hal itu bisa dilakukan, antara lain, dengan merevitalisasi penataan kawasan Tanah Abang dan melibatkan semua pihak terkait.

Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa keputusan mengizinkan PKL berjualan di sebagian jalan di Tanah Abang diharapkan bukan merupakan keputusan final. Masih diperlukan upaya penyempurnaan agar tidak ada pihak yang dirugikan, khususnya PKL, pedagang lainnya, dan pengguna jalan.

Soal kontribusi
Khusus PKL sebagai bagian dari pelaku usaha di sektor informal memang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah mengingat sektor tersebut memberikan kontribusi besar terhadap nilai tambah ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Hasil studi Jacques Charms (ILO, 2002), misalnya, menunjukkan kontribusi sektor informal, khususnya di perdagangan terhadap nilai tambah ekonomi di Tanah Air sebesar 77%. Sementara itu, berdasarkan hasil survei angkatan kerja nasional (Sakernas) Agustus 2017 penduduk yang bekerja di sektor informal mencapai 69,02 juta jiwa, atau 57,03% dari total penduduk bekerja.

Di negara-negara maju, kontribusi sektor informal terhadap produk domestik bruto (PDB) memang tidak sebesar negara-negara berpendapatan rendah, yakni hanya 17%, sedangkan di negara berpendapatan rendah kontribusi sektor informal mencapai 40% terhadap PDB (Schneider, 2002). Bahkan, di Afrika sektor informal menjadi tulang punggung dalam perekonomian dan penciptaan kesempatan kerja, dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 50%-80%, dan kesempatan kerja sebesar 90% (Steel dan Snodgrass, 2008).
Lantas, dengan mencermati cukup besarnya kontribusi sektor informal terhadap ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, kenapa sektor informal tidak dikelola secara serius? Selama ini, sektor informal ditengarai belum mendapat perhatian serius, tecermin pada minimnya regulasi yang mengatur sektor informal, terutama dalam soal izin usaha, pengaturan pajak, proteksi sosial, dan upah pekerja.

Ditengarai, minimnya perhatian terhadap sektor informal karena sektor ini bukan menjadi target penggerak ekonomi, dan sasaran penerimaan pajak. Dalam soal produktivitas, misalnya, sektor informal kerap diasumsikan menghasilkan produktivitas rendah, yang menurut kalkulasi Mc Kinsey Global Institute 50% lebih rendah daripada sektor formal. Namun, akibat minimnya perhatian terhadap sektor informal, sektor ini sulit berkembang, berusaha pada tempat-tempat yang bukan peruntukannya, mudah berinteraksi pada kegiatan ilegal dan underground economy, seperti perdagangan miras, narkoba, dan obat terlarang, sehingga mengganggu ketertiban masyarakat, pengguna jalan, merusak keindahan kota, dan melanggar hukum.

Sejatinya, sektor informal perlu dikelola secara baik sehingga berkembang, bahkan naik kelas ke sektor formal, yang pada gilirannya kian meningkatkan kontribusi penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Diperkirakan, jika sektor informal dikelola secara baik, yaitu dengan mengurangi berbagai faktor penghambat, dan menjamin legalitas usaha, akan memungkinkan sekitar 25%-30% pelaku usaha sektor informal naik kelas ke sektor formal (laman Huffpost 10/1/2018, What Does the Informal Sector Mean for Global Economy).

Perlu pengelolaan
Karena itu, atas dasar itu, dengan mencermati besarnya kontribusi sektor informal terhadap kesempatan kerja dan kegiatan ekonomi, perlu komitmen dan perhatian serius pemerintah untuk segera mengelola sektor informal. Pengelolaan sektor informal perlu dilakukan karena sektor ini umumnya berskala kecil dengan modal minim, rekrutmen pekerjanya umumnya tidak berdasarkan kontrak kerja, kurang proteksi sosial, lokasi usaha kerap berpindah, tidak memiliki izin usaha, dan rawan pungutan liar. Menurut John Sullivan, Executive Director Center for International Private Interprises, banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengelola sektor informal agar berkembang dan naik kelas menjadi sektor formal, seperti regulasi, pelayanan, dan pengaturan pajak. Namun, hal terpenting menurut Sullivan ialah mendengarkan dan mengimplementasikan setiap masukan pelaku usaha sektor informal.

Kegiatan sektor informal memang patut dikelola secara serius mengingat kesempatan kerja di sektor formal kian terbatas. Khususnya di DKI Jakarta dengan pencari kerja yang terus meningkat akibat masuknya pendatang, Gubernur DKI perlu mencari cara untuk mengurangi angka pengangguran di Ibu Kota, yang pada gilirannya berpotensi menurunkan angka pengangguran nasional. Secara nasional, berdasarkan hasil Sakernas, diketahui, daya serap sektor formal turun dari rata-rata 1 juta jiwa per tahun selama 2011-2014, menjadi rata-rata 350 ribu jiwa per tahun pada 2015-2017. Sebaliknya, pekerja di sektor informal meningkat dari rata-rata 625 ribu jiwa per tahun pada 2011-2014 menjadi rata-rata 883 ribu jiwa per tahun selama 2015-2017.

Karena itu, untuk memperbesar kesempatan kerja di Tanah Air, pengelolaan sektor informal juga perlu dilakukan bersamaan dengan sektor formal. UNDP (2012) merekomendasikan sejumlah aspek yang perlu disempurnakan untuk pengelolaan sektor formal, yaitu soal regulasi, administrasi, waktu memulai usaha, biaya, sosial budaya, korupsi, dan kriminalitas. Khusus pada sektor informal, untuk pengelolaannya diharapkan tidak secara parsial, yakni hanya berpihak pada sektor tersebut, tetapi perlu dikaitkan dengan kepentingan pihak lain. Sangat diharapkan, Pemerintah Provinsi DKI terus bekerja untuk menyempurnakan penataan kawasan Tanah Abang, dan pada kawasan lainnya di Ibu Kota sehingga perhatian terhadap PKL tidak merugikan pihak lainnya, khususnya pengguna jalan dan pedagang lainnya, serta kehidupan masyarakat Jakarta.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya